Berita Borneotribun.com: Australia Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Australia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Australia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Juni 2021

Australia Semakin Batasi Penggunaan Vaksin AstraZeneca

Australia Semakin Batasi Penggunaan Vaksin AstraZeneca
Kantor pusat AstraZeneca di Sydney, setelah Perdana Menteri Scott Morrison mengumumkan warga Australia akan menjadi yang pertama di dunia yang menerima vaksin COVID-19, (Foto: Reuters)

BorneoTribun Internasional - Australia telah menaikkan usia yang direkomendasikan bagi penggunaan vaksin AstraZeneca dari 50 menjadi 60 tahun setelah vaksin COVID-19 itu diketahui sebagai penyebab kematian seorang perempuan berusia 52 tahun pekan lalu akibat pembekuan darah di otak.

Menteri Kesehatan Greg Hunt menggambarkan keputusan itu, Kamis (17/6), sebagai tindakan konservatif meski risiko terkena virus corona di Australia relatif rendah. Hunt mengatakan Inggris merekomendasikan AstraZeneca untuk orang di atas 40 tahun, Korea Selatan merekomendasikannya untuk orang di atas 35 tahun dan Jerman tidak menetapkan batasan usia untuk orang dewasa yang menggunakan vaksin itu.

Warga Australia berusia antara 50 dan 59 tahun sekarang direkomendasikan untuk menggunakan satu-satunya vaksin lain yang disetujui di Australia, Pfizer.

Lebih dari 3 juta dosis AstraZeneca telah diberikan di negara tersebut, dengan dua kematian disebabkan oleh pembekuan darah langka yang terkait dengan vaksin tersebut.

Yang pertama adalah seorang perempuan berusia 48 tahun yang meninggal April lalu.

Kematian itu menyebabkan AstraZeneca yang diproduksi di Australia dibatasi untuk orang dewasa berusia di atas 50 tahun.

Orang-orang yang mendapat dosis pertama AstraZeneca tanpa mengalami pembekuan darah telah diberitahu bahwa mereka aman untuk mendapatkan dosis kedua tiga bulan kemudian.

Pemerintah berharap vaksin Moderna disetujui untuk digunakan segera di Australia dan untuk mempertahankan ketersediaan vaksin COVID-19 bagi setiap orang dewasa yang menginginkannya sebelum akhir tahun ini.

Sementara itu, negara bagian New South Wales dalam siaga tinggi setelah tiga kasus yang ditularkan secara lokal terdeteksi di Sydney.

Hingga Kamis (17/6), Australia hanya memiliki sekitar 30.000 kasus dengan 910 kematian. [ab/uh]

Oleh: VOA

Rabu, 09 Juni 2021

Australia ikut dalam Penggerebekan Global terhadap Kriminal Terorganisir

Australia ikut dalam Penggerebekan Global terhadap Kriminal Terorganisir
Polisi Federal Australia dalam Operasi Ironside melawan kejahatan terorganisir dalam foto selebaran tak bertanggal yang dirilis 8 Juni 2021. (Polisi Australia/Handout via REUTERS)

BorneoTribun Internasional -- Ratusan orang ditangkap dalam penggerebekan di seluruh dunia terhadap geng kriminal terorganisir. Tindakan itu buah penyelidikan tiga tahun dengan menggunakan aplikasi yang dirancang Biro Investigasi Federal Amerika. Di Australia, hasil penggerebekan yang disebut Operasi Ironside dibeberkan Selasa. Pada hari yang sama, FBI dan Europol, badan penegak hukum Uni Eropa, juga mempresentasikan temuan mereka.

Terduga anggota geng pengedar narkoba telah ditangkap di 18 negara di Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Timur Tengah.

Australia adalah salah satu negara pertama yang mengungkapkan penggerebekan itu. Komisaris Polisi Federal Australia Reece Kershaw, Selasa, memaparkan penggerebekan itu yang diberi nama sandi Operasi Ironside.

“Kami menuduh mereka adalah anggota geng motor liar, mafia Australia, sindikat kriminal Asia dan organisasi kriminal sadis dan terorganisir. Kami menduga mereka telah menyelundupkan obat-obat terlarang ke Australia dalam skala industri. Sayangnya, geng kriminal menarget Australia karena Australia adalah salah satu negara yang paling menguntungkan di dunia untuk menjual narkoba,” jelasnya.

Sejak 2018, pihak berwenang di Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat telah menggunakan aplikasi terenkripsi, yang dikenal sebagai ANOM, untuk melacak kriminal terorganisir. Teknologi itu dirancang Biro Investigasi Federal Amerika (FBI).

Agen yang menyamar mendistribusikan ponsel yang dilengkapi aplikasi ANOM itu ke kriminal, yang kemudian menyebarkannya ke kaki tangan mereka. Penyebaran itu memungkinkan penyelidik membaca jutaan pesan singkat yang membeberkan dugaan plot pembunuhan, rencana impor narkoba dalam jumlah yang sangat besar, dan skema kejahatan lainnya.

Pihak berwenang Australia mengatakan penggerebekan untuk memberantas kejahatan itu adalah operasi polisi terbesar di negara itu. Perdana Menteri Scott Morrison mengatakan operasi tersebut benar-benar sukses.

“Operasi Ironside kini telah mendakwa ratusan tersangka pelaku kejahatan, menyita jutaan dolar dari hasil kejahatan, menyita senjata dari geng-geng jalanan dan menyelamatkan nyawa, dan kami akan terus melakukan penggerebekan. Operasi ini akan berkelanjutan,” kata Morrison.

Menurut penyelidik Australia, walaupun penggerebekan berhasil, itu "baru permulaan." Upaya memerangi geng kriminal, kata mereka, akan berlanjut. Dan mereka tetap waspada. Walaupun individu dan sindikat yang terlibat dalam dugaan kejahatan telah ditangkap, akan selalu ada orang lain yang ingin menggantikan mereka dalam perdagangan narkoba. [ka/lt]

Oleh: VOA

Kamis, 27 Mei 2021

Australia akan Bangun Taman Laut Seluas Kalimantan di Samudra Hindia

Australia akan Bangun Taman Laut Seluas Kalimantan di Samudra Hindia
Karang mengelilingi dua pulau kecil di Great Barrier Reef di lepas pantai Queensland dekat Kota Rockhampton, Australia, 15 November 2018. (Foto: David Gray/Reuters)

BorneoTribun Internasional - Pemerintah Australia mengatakan bahwa mereka akan membangun dua taman laut baru seluas Kalimantan yang signifikan secara global, dan kedua taman tersebut akan mengambil tempat di Samudra Hindia.

Australia berencana untuk menambahkan sebuah wilayah yang berukuran lebih besar dari negara Perancis atau negara bagian Texas di tengah Samudra Hindia atau taman laut kurang lebih seluas wilayah Pulau Kalimantan, sebagai bagian dari jaringan taman laut milik pemerintah.

Koloni batu karang tampak di Great Barrier Reef di lepas pantai Cairns Australia, 25 Oktober 2019. (Foto: Lucas Jackson/Reuters)

Sebuah taman suaka akan didirikan di sekitar Kepulauan Natal, yang jaraknya kurang lebih 1.500 kilometer di sebelah barat daratan Australia. Di pulau tersebut berdiri sebuah pusat imigrasi lepas pantai Australia bagi para pencari suaka, pulau itu juga terkenal sebagai lokasi migrasi tahunan jutaan kepiting merah yang spektakuler.

Dua ikan badut berenang di Great Barrier Reed di lepas pantai Cairns, Australia, 26 Oktober 2019. (Foto: Lucas Jackson/Reuters)

Wilayah tersebut merupakan satu-satunya daerah yang dikenal sebagai tempat bertelur ikan tuna bersirip biru yang terancam punah.

Sementara cagar alam lainnya akan mencakup kepulauan Cocos Keeling. Kepulauan karang tersebut merupakan satu lagi wilayah bagian luar Australia yang berpenduduk kurang lebih 600 orang.

Kepulauan tersebut berada separuh jalan antara Kota Perth di Australia dan negara kepulauan Sri Lanka di Asia Selatan.

Pulau Natal dan Kepulauan Cocos Keeling dianggap oleh para ahli sebagai daerah pusat bagi keaneka-ragaman hayati di Samudera Hindia, yang berada di bawah tekanan industry perikanan dan dibebani oleh perubahan iklim dan polusi.

Taman laut yang diusulkan tersebut akan mencakup wilayah gabungan dengan luas lautan yang mencapai 740 ribu kilometer persegi. Rencana tersebut didukung oleh banyak kelompok pecinta lingkungan.

Christabel Mitchell adalah direktur nasional aliansi “Save Our Marine Life”, kepada Australian Broadcasting Corporation ia mengatakan bahwa kelompoknya menyambut baik rencana tersebut. Menurutnya ini merupakan sebuah kesempatan yang sangat menyenangkan dan komitmen oleh pemerintahan (Scott) Morrison ini memiliki arti global yang sangat signifikan.

Mitchell mengatakan bahwa ini merupakan taman laut besar dunia berikutnya dan yang akan datang. Ini dapat mencakup daerah dua kali lebih besar daripada taman laut ‘Great Barrier Reef’ dan dapat menjadi sebuah langkah besar ke depan untuk melindungi kekayaan laut nasional.

Otoritas Australia kini membuka jalur pembicaraan dengan masyarakat di kepulauan tersebut serta sektor perikanan komersial. Australia hinga kini telah mendirikan 60 taman laut di sekitar negara tersebut. Para pejabat yang bertanggung jawab mengatakan bahwa mereka membantu melestarikan habitat dan berbagai spesies yang bergantung taman-taman laut itu. [aa/lt]

Oleh: VOA

Selasa, 13 April 2021

Siklon Tropis Seroja Porak-porandakan Sejumlah Kota di Australia

Siklon Tropis Seroja Porak-porandakan Sejumlah Kota di Australia
Ombak besar menghantam bebatuan di garis pantai di Bronte Beach di pinggiran timur Sydney, Australia, Senin, 12 April 2021. (AP Photo / Mark Baker)

BorneoTribun Australia, Internasional -- Topan kuat memorak-porandakan beberapa kota di pantai barat Australia, menghancurkan jendela, mematahkan pohon, dan memutus aliran listrik.

Siklon Tropis Seroja, begitu nama topan tersebut, melintasi pantai negara bagian Australia Barat, dengan kecepatan angin hingga 170 kilometer per jam tak lama setelah kegelapan tiba pada Minggu malam, kata sejumlah pejabat setempat, Senin (12/4).

Kota wisata Kalbarri, yang berpenduduk 1.400 orang dan terletak sekitar 580 kilometer dari ibu kota negara bagian itu, Perth, mengalami kerusakan terparah.

Sekitar 70 persen bangunan di kota itu terimbas, dan kerusakan di antara 30 persen bangunan yang terimbas itu tergolong signifikan, kata Komisaris Departemen Kebakaran dan Layanan Darurat Darren Klemm. Kota-kota pesisir lainnya mengalami kerusakan yang lebih ringan.

Perusahaan listrik pemerintah, Western Power melaporkan sekitar 31.500 pelanggan terputus aliran listriknya. Belum ada laporan mengenai apakah ada korban yang mengalami cedera serius akibat hantaman topan itu. Topan kuat semacam itu jarang terjadi di kawasan subtropis Australia.

“Beberapa bangunan tua tidak bisa menahan hantaman topan itu. Beberapa bangunan modern juga tidak bisa menahannya, '' kata Steve Cable, manajer Dinas Layanan Penanggulangan Keadaan Darurat kepada Australian Broadcasting Corp. “Pohon-pohon besar dengan dahan-dahan yang cukup besar patah seperti wortel,'' tambahnya.

Debbie Major, seorang warga Kalbarri, berada di sebuah ruangan di taman mobil trailer yang dikelolanya, saat topan datang. Ia memegangi pintu untuk mencegahnya terbuka saat dahan pohon yang patah menghancurkan jendela. “Saya tidak pernah mengalami apa pun dalam hidup saya seperti yang saya alami tadi malam, '' kata Mayor. ''Itu menakutkan.''

Siklon Seroja melemah dan diturunkan ke tingkat tropis terendah sebelum bertiup ke laut dekat Esperance, Senin.

Topan yang sama menyebabkan banjir dan tanah longsor yang menewaskan sedikitnya 174 orang dan menyebabkan 48 orang hilang di Indonesia dan Timor Leste pekan lalu. [ab/uh]

Oleh: VOA

Senin, 05 April 2021

Terdampar di Luar Negeri Akibat Aturan COVID-19, Warga Australia Gugat Pemerintah

Terdampar di Luar Negeri Akibat Aturan COVID-19, Warga Australia Gugat Pemerintah
Seorang petugas memeriksa suhu tubuh seorang warga di Sydney, Australia (foto: ilustrasi). Puluhan ribu warga Australia terdampar di LN akibat ketatnya aturan pembatasan terkait COVID-19.

BorneoTribun Australia, Internasional -- Sekelompok warga Australia yang tidak dapat pulang ke negaranya akibat ketatnya kuota kedatangan di tengah pandemi COVID-19 telah melayangkan gugatan hukum terhadap pemerintah federal Australia.

Pengaduan tersebut diajukan kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) di Jenewa, Swiss, atas klaim bahwa warga Australia ditolak masuk ke negaranya sendiri.

Pihak berwenang di Canberra menutup perbatasan internasional pada Maret 2020 untuk menahan laju perebakan virus corona jenis baru.

Warga negara dan penduduk tetap Australia diizinkan kembali, tetapi dalam jumlah yang dibatasi akibat keterbatasan kapasitas penerbangan dari maskapai dan karantina hotel yang diwajibkan.

Sejak dimulainya pandemi, hampir 500.000 warga Australia telah kembali ke negeri kangguru, namun puluhan ribu lainnya masih menunggu dipulangkan.

Setelah sebagian besar kasus penularan COVID-19 di masyarakat berhasil diatasi, risiko terbesar yang dihadapi Australia saat ini adalah para pelaku perjalanan yang pulang dari luar negeri, yang membawa virus dan secara tidak sengaja menginfeksi staf rumah sakit dan hotel, menurut pejabat kesehatan.

Perdana Menteri negara bagian Queensland Annastacia Palaszczuk mengatakan itu merupakan kekhawatiran utama. “Jumlah (pasien) dari luar negeri di rumah sakit-rumah sakit kami saat ini yaitu 68 pelaku perjalanan yang baru pulang, dan seperti saya bilang, itu adalah risiko yang nyata bagi kita,” ujarnya.

Sekelompok warga Australia yang kecewa telah memilih langkah hukum akibat apa yang digambarkan sebagai “pembatasan ekstrem” pemerintah. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah “orang Australia biasa yang telah dibiarkan begitu saja oleh pemerintah yang tidak berperasaan.”

Di Canberra, para pejabat membenarkan bahwa mereka tidak bisa memperkirakan kapan warga yang terdampar di luar negeri dapat pulang ke Australia. Mereka menyatakan bahwa kuota bagi mereka yang diizinkan untuk kembali bersifat “sementara dan akan ditinjau lagi.”

Jane McAdam, direktur Kaldor Centre for International Refugee Law, pusat penelitian di Universitas New South Wales mengatakan, “Di bawah hukum HAM internasional, tidak ada hak mutlak bagi seseorang untuk memasuki negaranya sendiri, tetapi pada saat yang sama pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang mencabut hak itu dari Anda. Jadi, artinya jalan masuk orang-orang bisa dikenai pembatasan singkat dan sementara asalkan wajar, diperlukan dan didasarkan pada kriteria hukum yang jelas."

India menjadi negara dengan jumlah terbesar warga negara dan penduduk tetap Australia yang ingin pulang, diikuti Inggris, Amerika Serikat, Filipina dan Thailand.

Australia telah mengindikasikan bahwa perbatasan internasionalnya kemungkinan tidak akan dibuka kembali sepenuhnya hingga tahun 2022.

Australia telah mencatat jumlah kasus COVID-19 sebanyak 29.300 sejak pandemi dimulai. Departemen Kesehatan setempat mengatakan 909 orang telah meninggal dunia akibat COVID. [rd/jm]

Oleh: VOA

Jumat, 05 Maret 2021

iPhone X Tiba-Tiba Meledak di Saku Celana, Seorang pria Australia Alami Luka Bakar

iPhone X Tiba-Tiba Meledak di Saku Celana, Seorang pria Australia Alami Luka Bakar
iPhone X meledak di saku pengguna di Australia. (Foto: dok 7News)

BorneoTribun Tekno -- Seorang pria Australia dirawat di rumah sakit karena luka bakar setelah iPhone X-nya tiba-tiba meledak di saku celana. Ia pun menuntut kompensasi dari Apple.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 2019, korbannya adalah seorang ilmuwan bernama Robert De Rosse. Dia menderita luka bakar tingkat dua dari iPhone X-nya yang meledak saat dia bekerja.

Saya mendengar suara letusan samar diikuti dengan desisan dan kemudian saya merasakan sakit yang luar biasa di kaki kanan saya. Dan saya menyadari bahwa itu berasal dari ponsel saya, katanya.

Saya melihat abu terbakar di mana-mana, dan kulit saya mengelupas, lanjutnya.

De Rose mengaku telah menghubungi Apple untuk melaporkan kasus tersebut. Namun sayangnya mereka tidak pernah memberikan respon. Dia sekarang berencana untuk mengambil tindakan hukum dan mencari kompensasi.

Tony Carbone dari Carbone Lawyers yang menangani kasus De Rose mengaku mengalami nasib serupa. Pergelangan tangannya terbakar karena Apple Watch terlalu panas untuk digunakan.

Kedua gugatan tersebut telah diajukan ke pengadilan negeri.

Seorang juru bicara Apple mengatakan perusahaan memperhatikan keselamatan penggunanya dengan sangat serius dan sedang menyelidiki kedua keluhan tersebut.

Perlu diketahui bahwa semua smartphone berpotensi memiliki risiko terbakar akibat penggunaan baterai lithium-ion. Masalah seperti panas berlebih, kebocoran atau penetrasi sel baterai dapat menyebabkan kebakaran.

Menempatkan hp di saku juga bisa membengkokkan body smartphone saat diduduki sehingga meningkatkan resiko kerusakan baterai.

Oleh: Detik.com

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno