Berita Borneotribun.com: ICW Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label ICW. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ICW. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Juni 2021

ICW Laporkan Ketua KPK Firli ke Bareskrim Polri

Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) dan Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) di gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (14/1). (VOA/Fathiyah)

BorneoTribun Jakarta -- LSM antikorupsi ICW melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan penerimaan gratifikasi dalam penyewaan helikopter.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menemukan dugaan gratifikasi dan konflik kepentingan antara Ketua KPK Firli Bahuri dan PT Air Pasific Utama (APU). Dugaan tersebut berdasar pada perbedaan harga sewa helikopter dari PT APU dengan penyedia jasa sewa helikopter lainnya.

Peneliti ICW Wana Alamsyah (Foto: Screenshot Youtube Sahabat ICW)

Kata Wana, saat diperiksa Dewan Pengawas dalam kasus etik, Firli mengatakan harga sewa berkisar Rp7 juta belum termasuk pajak atau sekitar Rp30,8 juta untuk sewa 4 jam helikopter PT APU. Harga sewa itu lebih murah dibandingkan harga sewa dari perusahaan lain, yaitu sekitar Rp39 juta per jam atau Rp172,3 juta untuk 4 jam.

"Jadi ketika kami hitung selisih harga sewa barangnya ada sekitar Rp 141 juta yang diduga itu merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima oleh Firli Bahuri," jelas Wana Alamsyah di Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Kamis (3/6/2021).

Wana juga menduga terdapat konflik kepentingan antara Firli dengan PT APU. Sebab menurut penelusuran ICW, salah satu komisaris PT APU pernah menjadi saksi dalam kasus dugaan suap terhadap mantan bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin terkait izin proyek Meikarta. Menurutnya, tindakan Firli ini telah memenuhi unsur gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pertengahan Juni 2020, Firli Bahuri menyewa helikopter dari Palembang ke Baturaja untuk berziarah ke makam orang tuanya. Firli kemudian dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) karena dianggap melanggar kode etik.

VOA sudah meminta klarifikasi kepada Ketua KPK Firli Bahuri dan pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri terkait laporan ini. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari mereka. [sm/ft]

Oleh: VOA

Senin, 19 April 2021

ICW Sebut Kinerja KPK Buruk Sepanjang 2020

ICW Sebut Kinerja KPK Buruk Sepanjang 2020
Spanduk yang menyerukan masyarakat untuk ikut memberantas korupsi terpampang di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, 11 Desember 2008. (Foto: Reuters/Supri)

BorneoTribun Jakarta -- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat KPK hanya melakukan penindakan kasus korupsi sekitar 13 persen dari target 120 kasus sepanjang 2020.

Peneliti Indonesian Corruptio Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan kinerja penindakan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam kategori sangat buruk.

Hal itu terlihat dari jumlah kasus penindakan kasus korupsi yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut yang berkisar 13 persen dari target 120 kasus sepanjang 2020. Jumlah tersebut jauh jika dibandingkan dengan penindakan pada 2018 yang mencapai 216 kasus.

Peneliti ICW Wana Alamsyah. (Foto: Coutesy/ICW)

"Sejak 2015 hingga 2020, kinerja KPK mengalami kemerosotan sangat signifikan. Tahun 2020 ini merupakan titik terendah sejak 2015 ketika KPK menyidik kasus korupsi," jelas Wana dalam konferensi pers daring, Minggu (18/4).

Wana menjelaskan terdapat beberapa kasus yang ditangani KPK prosesnya lambat dalam membongkar setiap aktor. Selain itu, sebagian besar penindakan kasus korupsi merupakan hasil operasi tangkap tangan sejumlah tujuh kasus dan pengembangan tujuh kasus. Kasus yang baru disidik pada 2020 baru satu kasus.

ICW menyebut dalam konteks profesionalisme, terdapat dugaan bahwa kasus tahun sebelumnya atau carry over akan dihentikan (SP3) karena sudah ada preseden atas kasus BLBI.

Diagram kinerja KPK. (Foto: ICW)

"Kebocoran surat perintah dalam beberapa kasus yang ditangani oleh KPK membuka ruang bagi pelaku untuk melarikan diri, menyembunyikan bukti, atau potensi intimidasi dan teror. Kebocoran berpotensi terjadi pada tingkat KPK ataupun Dewan Pengawas," tambah Wana.

Ia merekomendasikan presiden untuk mengevaluasi kinerja dari pimpinan institusi penegak hukum, serta mempertimbangkan alokasi anggaran yang diberikan kepada institusi berdasarkan kinerja. Di samping itu, ICW mendorong institusi penegak hukum untuk melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk kasus korupsi secara detail.

Menanggapi itu, Plt Juru bicara KPK bidang Penindakan, Ali Fikri, mengatakan tuntutan pidana antara perkara yang satu dengan yang lain berbeda. Ia beralasan masing-masing perkara memiliki karakteristik yang juga berbeda.

"Di samping itu, alasan meringankan dan memberatkan atas perbuatan terdakwa tentu juga ada perbedaan antara perkara tipikor yang satu dengan yang lainnya," jelas Ali Fikri kepada VOA, Senin (19/4/2021).

Ali Fikri menambahkan KPK telah berupaya mengurangi perbedaan penanganan antar perkara dengan menyusun pedoman tuntutan baik perkara tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pedoman tersebut saat ini dalam tahap finalisasi pedoman teknisnya.

Selain itu, kata Ali, kebijakan KPK tidak hanya menghukum para pelaku korupsi dengan hukuman penjara untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya. Namun, KPK juga berupaya melakukan penjatuhan hukuman denda, uang pengganti maupun perampasan aset hasil korupsi. Karena itu, KPK memandang penting untuk menuntaskan perkara yang berhubungan dengan pasal kerugian negara, gratifikasi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Oleh karena ukuran keberhasilan KPK khususnya bidang penindakan sesungguhnya juga bukan diukur melalui banyaknya tangkap tangan yang dilakukan dan berujung pada penerapan pasal-pasal penyuapan," tambah Ali Fikri. [sm/ft]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno