Berita Borneotribun.com: Iran Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Iran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iran. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Februari 2023

Iran Klaim telah Kembangkan Rudal Jelajah Jarak Jauh

Iran Klaim telah Kembangkan Rudal Jelajah Jarak Jauh
Rudal jarak jauh Ghadr Iran yang bertuliskan "Ganyang Israel" dalam bahasa Ibrani di Kota Isfahan, Iran, 8 Februari 2023. (Foto: AFP)
DUBAI - Seorang komandan Garda Revolusi Iran, Jumat (24/2), mengatakan Teheran telah mengembangkan rudal jelajah dengan jangkauan 1.650 km. Klaim tersebut dapat memicu kekhawatiran pihak Barat setelah Rusia menggunakan drone Iran dalam perang di Ukraina.

Secara terpisah, Amirali Hajizadeh, Kepala Pasukan Kedirgantaraan Garda Revolusi, juga mengulang ancaman Teheran untuk membalas pembunuhan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap seorang komandan Iran. Ia mengatakan "Kami ingin membunuh (mantan presiden AS Donald) Trump."

“Rudal jelajah kami dengan jangkauan 1.650 km sudah ditempatkan di gudang rudal Republik Islam Iran,” kata Hajizadeh kepada TV pemerintah.
Iran Klaim telah Kembangkan Rudal Jelajah Jarak Jauh
Sebuah drone terlihat dipamerkan di samping rudal Iran pada peringatan 44 tahun Revolusi Islam di Teheran, Iran, 11 Februari 2023. (Foto: Majid Asgaripour/WANA via REUTERS)
Televisi tersebut menyiarkan apa yang dikatakannya sebagai rekaman pertama yang menunjukkan rudal jelajah Paveh yang baru.

Hajizadeh mengatakan Iran tidak berniat untuk membunuh "tentara lemah" ketika melancarkan serangan rudal balistik terhadap pasukan pimpinan AS di Irak beberapa hari setelah komandan militer Iran Qassem Soleimani terbunuh. Tokoh militer Iran tersebut tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS di Baghdad pada 2020.

"Insya Allah, kami ingin membunuh Trump. (Mantan menteri luar negeri Mike) Pompeo ... dan komandan militer yang mengeluarkan perintah (untuk membunuh Soleimani) harus dibunuh," kata Hajizadeh dalam wawancara televisi.

Para pemimpin Iran sering bersumpah untuk membalas dendam Soleimani dengan tindakan tegas. Iran telah memperluas program misilnya, khususnya misil balistiknya, yang bertentangan dengan AS, dan menimbulkan keprihatinan dari negara-negara Eropa. Teheran mengatakan program itu murni defensif dan bersifat pencegahan.

Iran mengatakan telah memasok Moskow dengan drone sebelum perang Ukraina berkecamuk. Rusia menggunakan drone untuk menargetkan pembangkit listrik dan infrastruktur sipil.

Pentagon pada November 2022 mengatakan Washington skeptis terhadap laporan yang mengutip Hajizadeh yang mengatakan Iran telah mengembangkan rudal balistik hipersonik. [ah]

Oleh: VOA Indonesia
Editor: Yakop

Sabtu, 10 Juli 2021

Iran Jadi Tuan Rumah Pembicaraan Afghanistan-Taliban

Iran Jadi Tuan Rumah Pembicaraan Afghanistan-Taliban
Pasukan Afghan berjaga di sebuah pos saat berpatroli untuk menghadapi militan Taliban di wilayah Tange Farkhar, Provinsi Takhar, Selasa, 6 Juli 2021. (Foto: Naseer Sadeq/AFP)

BORNEOTRIBUN - Wakil-wakil Afghanistan dan Taliban, Kamis (8/7), melangsungkan pembicaraan tentang kemajuan menuju perdamaian, dan berjanji akan melanjutkan pembicaraan setelah dialog selama dua hari di Teheran.

Pembicaraan itu berlangsung antara delegasi senior Taliban dan wakil dari pemerintahan di Kabul. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menyebut pembicaraan itu sebagai hal yang “substantif.” 

Ia mencuit “ketika pasukan asing meninggalkan Afghanistan, tidak ada hambatan lagi untuk rakyat Afghanistan dari semua aliran politik untuk mementaskan sebuah masa depan yang damai dan makmur untuk generasi berikutnya.” 

Dalam sebuah pernyataan bersama yang terdiri dari enam poin penting dan disampaikan oleh juru bicara Taliban Mohammad Naeem, kedua pihak sepakat bahwa melanjutkan perang merupakan hal berbahaya untuk negara itu, dan bahwa semua upaya harus dilakukan untuk mencari solusi damai.

Mereka juga mengecam serangan terhadap tempat tinggal penduduk sipil, sekolah, masjid, dan rumah sakit, serta “penghancuran fasilitas publik.”

Mereka sepakat menuntut pelakunya dihukum. Kedua pihak juga mengumumkan mereka akan menyelenggarakan pertemuan berikutnya untuk membahas isu-isu lain, seperti “membentuk mekanisme bagi transisi dari perang ke perdamaian abadi, atau sistem Islamis yang disetujui dan bagaimana pencapaiannya.”

Waktu dan tempat bagi pertemuan berikutnya tidak diumumkan. Kementerian Luar Negeri Afghanistan menyambut gembira pertemuan ini dan mengatakan, pihaknya berharap hal ini akan “mengarah pada berakhirnya kekerasan dan awal berlangsungnya perundingan serius guna memastikan perdamaian yang langgeng di seluruh negara.” 

Delegasi Tabilan dipimpin oleh Sher Mohammad Abbas Stanekzai, deputi pemimpin dari tim perunding Taliban yang berbasis di Doha, Qatar.

Delegasi Afghanistan dipimpin oleh mantan wakil presiden Yunus Qanuni dan beberapa orang dekat Presiden Ashraf Ghani, mantan presiden Hamad Karzai, Marsekal Abdul Rashid Dostum, dan lain-lain.

Michael O’Hanlon dari Brookings Institution di Washington mengatakan, Iran sebagai negara tetangga, ingin menciptakan “stabilitas pada tingkat tertentu” di Afghanistan, khususnya kalau kekacauan mengakibatkan jutaan pengungsi menyebrang ke perbatasannya. 

Namun, ia ragu pembicaraan ini akan berhasil. “Saya tidak melihat Taliban berniat untuk berunding, terlepas dari dimana pembicaraan ini diselenggarakan, terlepas dari siapa yang menjadi tuan rumah,” katanya. 

Ditambahkannya, Taliban kecil kemungkinan akan membuat persetujuan pembagian kekuatan pada sebuah momen dimana mereka akan menang di medan pertempuran.

“Saya rasa Taliban ingin dilihat seakan-akan mereka memberi perdamaian sebuah peluang, tetapi mereka sesungguhnya akan lebih mengandalkan perang,” katanya. [jm/em]

VOA

Senin, 21 Juni 2021

Ebrahim Raisi Menang Pilpres Iran

Ebrahim Raisi Menang Pilpres Iran
Para pendukung president-terpilih Iran Ebrahim Raisi setelah menang dalam pemilihan presiden di Teheran, Iran, Sabtu, 19 Juni 2021.

BORNEOTRIBUN.COM - Kandidat presiden moderat Iran telah menyatakan kekalahannya dari kandidat ultrakonservatif, Ebrahim Raisi.

"Saya harap pemerintahan Anda, di bawah kepemimpinan Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei, akan membawa kenyamanan dan kesejahteraan bagi bangsa kita," kata mantan kepala bank sentral Abdolnasser Hemmati dalam sebuah surat, menurut berbagai laporan media.

Rakyat Iran pada Jumat (18/6) memilih dalam pemilihan presiden yang sepi pemilih dan kurangnya persaingan terhadap Raisi.

Belum ada perkiraan resmi jumlah pemilih dari Kementerian Dalam Negeri Iran karena tempat-tempat pemungutan suara (TPS) baru tutup pada Sabtu (19/6) pukul 02.00 waktu setempat. Pihak berwenang telah memperpanjang pemilu Jumat (18/6) selama dua jam setelah tenggat tengah malam agar lebih banyak pemilih datang ke TPS.

Sabtu (19/6) siang, Menteri Dalam Negeri Iran Abdolreza Rahmani Fazli mengatakan Raisi meraih lebih dari 17,9 juta suara, hampir 62 persen dari hampir 29 juta suara yang terkumpul.

“Dari total pemilih yang terdaftar, yaitu 59.310.307, jumlah suara yang diberikan adalah 28.933.004, yang memperlihatkan pemilih yang hadir sebanyak 48.8 persen," kata Rahmani Fazli kepada para wartawan.

Mantan Komandan Garda Revolusioner garis keras Mohsen Rezaei berakhir di peringkat kedua dengan 11,8 persen suara, disusul oleh mantan kepala bank sentral, Abdoinasser Hemmati, yang berhaluan moderat dengan 8,4 persen. Kandidat ultrakonservatif Amirhossein Ghazizadeh-Hashemi di peringkat terakhir dengan 3,5 persen. [vm/ft]

Oleh: VOA

Minggu, 13 Juni 2021

Uni Eropa Catat Kemajuan dalam Pertemuan Nuklir Iran

Uni Eropa Catat Kemajuan dalam Pertemuan Nuklir Iran
Uni Eropa Catat Kemajuan dalam Pertemuan Nuklir Iran.

BorneoTribun Internasional - Para juru runding Uni Eropa mengatakan perundingan internasional yang dimulai lagi Sabtu (12/6) mengenai perjanjian nuklir Iran, diperkirakan akan bisa menghidupkan lagi perjanjian itu. Perjanjian tersebut sebelumnya gagal setelah AS mundur pada 2018.

Para diplomat senior dari China, Jerman, Perancis, Rusia dan Inggris mengakhiri pertemuan 90 menit dengan wakil-wakil dari Iran di sebuah hotel di ibu kota Austria.

"Kami mencapai kemajuan, tapi perundingan berlangsung intensif dan beberapa isu masih belum terpecahkan, termasuk bagaimana langkah-langkah akan diimplementasikan," kata perwakilan Uni Eropa, Alain Matton, kepada para wartawan di Wina.

AS bukan bagian resmi dari pertemuan-pertemuan yang diluncurkan di Wina awal tahun ini. Namun, pemerintahan Presiden Joe Biden telah mengisyaratkan kesediaan untuk bergabung lagi berdasarkan aturan yang akan memungkinkan AS meringankan sanksi-sanksi terhadap Teheran, dan Iran kembali mematuhi pembatasan aktivitas nuklir yang terkandung dalam perjanjian 2015 itu.

"Uni Eropa akan terus berunding dengan semua peserta ... dan secara terpisah dengan AS untuk menemukan cara untuk meraih perjanjian akhir dalam beberapa hari mendatang," kata Matton.

Para diplomat mengatakan faktor-faktor yang ikut memperumit perundingan termasuk menangani peningkatan kapabilitas pemrosesan nuklir Iran sejak AS mundur, serta pilpres di Iran pekan depan. [vm/ft]

Oleh: VOA

Jumat, 04 Juni 2021

Kebakaran Besar Kilang Minyak di Iran Masih Belum Padam

Kebakaran Besar Kilang Minyak di Iran Masih Belum Padam
Api berkobar di sebuah kilang minyak di ibu kota Iran, Teheran, 2 Juni 2021. (Foto: Vahid AHMADI / TASNIM NEWS / AFP)

BorneoTribun Internasional - Kebakaran besar di sebuah kilang minyak di dekat ibu kota Iran masih belum padam, Kamis (3/6). Para petugas pemadam kebakaran terus berjuang memadamkan api.

Kebakaran di kilang milik perusahaan pemerintah ini, Tondgooyan Petrochemical Co., mulai terjadi Rabu malam. Gumpalan besar asap hitam yang diakibatkannya mewarnai langit ibu kota.

Kantor berita SHANA mengatakan, kebakaran terjadi karena kebocoran di dua tangki limbah di fasilitas tersebut. Pihak berwenang secara tersirat awalnya mengungkapkan bahwa kebakaran itu mempengaruhi pipa gas minyak cair di kilang itu.

Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh mengunjungi lokasi kebakaran semalam. Meski ia berusaha meyakinkan publik bahwa api tidak akan mempengaruhi produksi, banyak warga Iran mengantre untuk mendapatkan bensin pada Kamis pagi, awal akhir pekan di Republik Islam tersebut.

SHANA juga mengutip juru bicara kilang Shaker Khafaei yang mengatakan pihak berwenang berharap api akan padam dengan sendirinya setelah bahan bakar habis dilalap si jago merah dalam beberapa jam mendatang.

Belum jelas apa yang memicu kebakaran itu. Suhu di Teheran mencapai hampir 40 derajat Celsius pada Rabu. Suhu tinggi pada musim panas di Iran pernah menyebabkan kebakaran di masa lalu.

Kebakaran itu terjadi pada hari yang sama kebakaran melanda kapal perang terbesar di Angkatan Laut Iran, yang kemudian tenggelam di Teluk Oman. [ab/uh]

Oleh: VOA

Rabu, 26 Mei 2021

Iran dan Negara-negara Adidaya Mulai Putaran Kelima Perundingan Nuklir

Iran dan Negara-negara Adidaya Mulai Putaran Kelima Perundingan Nuklir
Wakil Menlu Iran Abbas Araghchi meninggalkan lokasi perundingan nuklir yang tertutup untuk media di Wina, Austria, Selasa (25/5).

BorneoTribun Internasional - Negara-negara adidaya hari Selasa (25/5) membuka perundingan putaran kelima dengan Iran untuk mengajak Amerika kembali ke perjanjian nuklir tahun 2015 guna mencegah Iran memproduksi bom nuklir.

Perundingan di Wina itu berlangsung ketika Badan Energi Atom Internasional (IAEA) berhasil mencapai kesepakatan pada menit-menit terakhir, di mana Iran setuju memperpanjang perjanjian tentang keberadaan kamera-kamera pengawas di situs nuklir Iran selama satu bulan lagi.

Masalah itu tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan tentang perjanjian nuklir yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama JCPOA, tetapi jika Iran tidak setuju maka hal itu akan memperumit pembicaraan secara serius.

Amerika tidak terlibat secara langsung dalam pembicaraan itu, tetapi delegasi Amerika yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Joe Biden untuk Iran, Rob Malley, juga berada di ibu kota Austria itu.

Perwakilan dari negara-negara lain yang terlibat – yaitu Inggris, Perancis, Rusia, Tiongkok dan Jerman – telah bolak-balik antara Amerika dan Iran untuk memfasilitasi pembicaraan tidak langsung itu.

Juru bicara Uni Eropa, Alain Matton, mengatakan “kami akan melipatgandakan upaya sehingga tujuan pembicaraan yang sedang berlangsung ini dapat tercapai.” [em/lt]

Oleh: VOA

Kamis, 13 Mei 2021

Mantan Presiden Iran Ahmadinejad Daftarkan Diri untuk Pilpres Mendatang

Mantan Presiden Iran Ahmadinejad Daftarkan Diri untuk Pilpres Mendatang
Mantan Presiden Mahmoud Ahmadinejad berbicara dengan media setelah mendaftarkan namanya sebagai calon pada pemilihan presiden 18 Juni di markas pemilihan Kementerian Dalam Negeri di Teheran, Iran, Rabu, 12 Mei 2021. (Foto: AP)

BorneoTribun Internasional -- Mantan presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad akan mencalonkan diri kembali untuk jabatan itu dalam pemilihan Juni mendatang.

Ahmadinejad berjalan bersama para pendukungnya menuju pusat pendaftaran di Kementerian Dalam Negeri di mana ia mengisi formulir pendaftaran.

Dalam beberapa tahun ini, Ahmadinejad berupaya untuk memoles citra garis kerasnya menjadi calon yang lebih berhaluan tengah, dengan mengkritik pemerintah yang disebutnya salah kelola.

Ia sebelumnya dilarang mencalonkan diri sebagai presiden oleh pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei pada tahun 2017, meskipun ketika itu ia tetap saja mendaftar. Dewan Penjaga, sebuah badan pengawas konstitusi, akhirnya mendiskualifikasinya.

Khamenei mengatakan ia tidak akan menentang pencalonan kandidat manapun, meskipun dewan pemilih mungkin masih menghalangi pencalonan Ahmadinejad.

Namun kembalinya tokoh populis itu ke panggung politik mungkin menghidupkan kembali ketidakpuasan di kalangan garis keras yang menginginkan sikap lebih keras terhadap Barat, khususnya Israel dan AS.

Ahmadinejad mendorong negaranya ke dalam konfrontasi terbuka dengan Barat terkait program nuklirnya dan dengan rakyatnya sendiri setelah pemilihannya kembali pada tahun 2009 memicu protes massa terbesar sejak Revolusi Islam 1979.

Di luar negeri, ia menjadi karikatur dari persepsi Barat mengenai sikap terburuk Republik Islam itu, seperti menyangkal Holokos, menegaskan bahwa Iran tidak memiliki warga yang gay atau lesbian dan mengisyaratkan bahwa Irak dapat membuat senjata nuklir jika menginginkannya.

Namun di dalam negeri, mantan wali kota Teheran ini mendapat dukungan dari kawasan pedesaan karena program populisnya berupa pembagian uang tunai dan pembangunan perumahan. Sewaktu masa jabatan keduanya hampir berakhir, ia melanggar teokrasi Syiah Iran, dengan menantang langsung Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, yang memegang keputusan akhir dalam semua masalah kenegaraan.

Ahmadinejad mulai menjabat presiden pada tahun 2005 dan mengakhirinya tahun 2013, setelah terpilihnya Presiden Hassan Rouhani, yang melakukan perjanjian nuklir dengan negara-negara berpengaruh di dunia. Meskipun tidak lagi menjabat, Ahmadinejad berupaya menghidupkan kembali peluang politiknya di hadapan publik maupun melalui media sosial.

Pendaftaran calon presiden Iran mulai dibuka hari Selasa (11/5). [uh/ab]

Oleh: VOA

Selasa, 04 Mei 2021

Rekaman Pernyataan Bocor, Pemimpin Tertinggi Iran Kecam Menlu

Rekaman Pernyataan Bocor, Pemimpin Tertinggi Iran Kecam Menlu
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei (kanan) dan Menlu Mohammad Javad Zarif (foto: dok).

BorneoTribun Iran -- Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei hari Minggu (2/5) mengatakan pernyataan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif yang bocor, tentang penilaian blak-blakan soal pertarungan kekuasaan di negara itu, sebagai hal yang “disesalkan” dan “mengejutkan.”

Rekaman pernyataan yang bocor itu mencakup pernyataan terang-terangan Javad Zarif soal mendiang Jendral Qassem Soleimani yang berpengaruh dan tewas dalam serangan pesawat nirawak Amerika di Irak tahun lalu, juga kecaman terhadap kebijakan Iran di Suriah dan hubungannya dengan Rusia.

Dalam pidato yang disiarkan di stasiun televisi pemerintah, Ayatollah Ali Khamenei mengecam Javad Zarif karena menyampaikan pernyataan yang menyimpang dari sikap resmi Iran, meskipun ia tidak menyebut nama.

“Itu suatu kesalahan besar yang seharusnya tidak dibuat oleh seorang pejabat Republik Islam Iran,” tegas Khamenei.

Javad Zarif telah minta maaf atas pernyataan yang memicu kecaman politik di Iran kurang dari dua bulan sebelum pemilu presiden.

Beberapa minggu ini memuncak spekulasi bahwa Javad Zarif, yang mungkin merupakan pejabat Iran yang paling dapat dikaitkan dengan perjanjian nuklir yang berantakan itu, akan menantang tokoh-tokoh garis keras dalam pemilu presiden mendatang.

Kecaman keras Khamenei terhadap Javad Zarif memicu keraguan tentang kemungkinan adanya ambisi politik menjelang pemilu presiden, sementara Dewan Wali - sebuah badan yang beranggotakan ulama-ulama senior dan pakar hukum yang menjabat di bawah kepemimpinan Khamenei – mengkaji kandidat-kandidat yang mencalonkan diri.

Javad Zarif sendiri telah bersikeras bahwa ia tidak akan bertarung dalam pemilu presiden Juli nanti. [em/lt]

Oleh: VOA

Minggu, 02 Mei 2021

Perundingan Nuklir Iran di Wina Capai Kemajuan

Perundingan Nuklir Iran di Wina Capai Kemajuan
Seorang pekerja mengendarai sepeda melintas di depan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr di Kota Busher, Iran, 26 Oktober 2010.

BorneoTribun Amerika -- Perunding utama Iran kepada media resmi Iran mengatakan, Sabtu (1/5), bahwa sanksi-sanksi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap minyak dan bank Iran akan dicabut berdasarkan perjanjian yang dibuat dalam perundingan di Wina.

Reuters melaporkan sebagian mitra Iran dalam perundingan itu, Perancis, Inggris, Jerman dan Rusia, mengatakan perundingan yang difokuskan untuk membawa AS kembali ke perjanjian nuklir Iran itu telah mencapai kemajuan.

Iran dan lima negara lainnya memulai kembali perundingan di Wina yang dimulai bulan lalu untuk menghidupkan lagi perjanjian nuklir 2015 yang ditinggalkan AS tiga tahun lalu.

"Sanksi-sanksi ... terhadap sektor energi Iran, yang termasuk minyak dan gas, atau sanksi-sanksi dalam industri otomotif, keuangan, perbankan dan pelabuhan, semua harus dicabut berdasarkan perjanjian yang disepakati sejauh ini," kata Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi, menurut media pemerintah Iran, setelah perundingan putaran terbaru di Wina yang ditunda selama enam hari.

Araqchi tidak menjelaskan bagaimana atau kapan sanksi-sanksi itu akan dicabut.

Menurut Reuters, Departemen Luar Negeri AS belum segera mengomentari pernyataan Araqchi. [vm/ft]

Oleh: VOA

Selasa, 13 April 2021

Buntut Insiden Natanz, Iran Diduga akan Lancarkan Aksi Balasan

Buntut Insiden Natanz, Iran Diduga akan Lancarkan Aksi Balasan
Presiden Iran Hassan Rouhani, kedua dari kanan, mendengarkan penjelasan kepala Badan Energi Atom Iran Ali Akbar Salehi saat mengunjungi fasilitas nuklir baru Iran di Teheran (10/4).

BorneoTribun Jakarta -- Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin berada di Israel pada Senin (12/4), bertemu dengan para pejabat Israel dan membahas tentang Iran. Pertemuan itu dilakukan ketika padamnya listrik di fasilitas nuklir Iran, Natanz, dilaporkan menyebabkan kerusakan besar pada mesin sentrifugal Iran. Para pejabat Iran menyalahkan Israel dan mengancam akan membalas serangan itu.

Israel biasanya jarang mengklaim tanggung jawab atas berbagai serangan seperti di fasilitas Natanz. Sejumlah laporan berita Israel pada Senin (12/4) mengatakan insiden itu bisa memundurkan program nuklir Iran hingga sembilan bulan.

Namun, Kepala Staf Angkatan Darat Israel, Aviv Kochavi, mengisyaratkan bahwa Israel mungkin terlibat. Dia mengatakan, "aktivitas militer Israel di Timur Tengah tidak disembunyikan dari mata musuh, bahwa mereka menyaksikan kita, mereka lihat kemampuan kita."

Menhan Austin - pejabat pertama pemerintahan Joe Biden yang mengunjungi Israel - tidak menyinggung Iran secara langsung. Dia hanya mengatakan bahwa dia dan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz membahas tantangan keamanan regional.

Kunjungan Austin itu dilakukan ketika AS berencana memulai perundingan dengan Iran mengenai upaya menghidupkan lagi perjanjian nuklir Iran, JCPOA, setelah mantan Presiden Donald Trump mundur dari perjanjian itu pada 2015.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengecam keras perjanjian itu. Dia mengatakan perjanjian itu memberi Iran jalan yang legal untuk memiliki senjata nuklir.

Pengamat Iran Eldad Shavit mengatakan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran mungkin mendorong pemerintahan Biden lebih cepat menyepakati perjanjian baru dengan Iran. "Ada alasan untuk menduga atau meyakini bahwa pemerintahan Biden kini mendapat lebih banyak tekanan untuk mencapai perjanjian dengan Iran karena tujuan strategis mereka adalah kembali ke JCPOA, karena mereka tidak punya kebijakan alternatif dengan Iran."

Dalam beberapa pekan belakangan, ada sejumlah laporan mengenai beberapa serangan Israel terhadap target-target Iran, termasuk sebuah pangkalan Garda Revolusioner di atas kapal.

Sima Shein dari Institut bagi Studi Keamanan Nasional mengatakan Iran akan berusaha membalasnya, terutama karena serangan Natanz.

"Apabila saya harus menyusun daftar apa saja aksi balasan yang mungkin dilakukan Iran, mereka akan berusaha melakukannya di beberapa tempat, di beberapa bidang apabila mereka memiliki kemampuan. 

"Mereka pernah melakukannya di masa lalu dan saya yakin mereka akan mencobanya lagi dalam bidang siber, apabila mereka punya kemampuan."

"Satu cara dramatis adalah mempenetrasi infrastruktur sipil Israel. Mereka pernah berusaha melakukan ini di dalam bidang air dan lainnya. Mereka akan berusaha melakukannya di masa depan apabila memungkinkan," tukasnya.

Sementara, Menteri Luar Negeri Iran mengatakan fasilitas Natanz akan dibangun lagi dengan mesin sentrifugal yang lebih canggih dan bisa memperkaya uranium dengan lebih cepat. [vm/jm]

Oleh: VOA

Kamis, 08 April 2021

Amerika Siap Cabut Sanski yang Tak Sesuai Kesepakatan Nuklir Iran

Dua anggota delegasi Iran sedang berjalan di Kota Wina, Austria, untuk persiapan pembicaraan mengenai kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara Barat, Senin, 5 April 2021. (Foto: VOA Persian/Guita Aryan)

BorneoTribun Amerika, Internasional -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Rabu (7/4), mengatakan AS siap mencabut sanksi terhadap Iran untuk melanjutkan kepatuhan terhadap kesepakatan nuklir Iran, termasuk yang tidak sesuai pakta 2015 itu.

Deplu AS tidak memberikan perincian.

"Kami siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk kembali mematuhi JCPOA, termasuk mencabut sanksi yang tidak sesuai JCPOA," kata juru bicara Deplu AS, Ned Price, kepada wartawan.

Ia mengacu pada pakta yang secara resmi disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA).

Seorang pejabat AS mengatakan para diplomat dari negara-negara kuat dan Uni Eropa bertemu secara terpisah dengan Iran dan Amerika pada Rabu (7/4) untuk membahas sanksi apa yang mungkin dicabut Amerika dan pembatasan nuklir apa yang mungkin dilakukan Iran dalam upaya mengembalikan kedua negara agar sesuai kesepakatan nuklir 2015.

Lama bermusuhan, Amerika dan Iran mengatakan mereka tidak memperkirakan terobosan cepat dalam pembicaraan yang dimulai di Wina pada Selasa (6/4). Diplomat Eropa dan negara lain menjadi perantara karena Iran menolak pembicaraan tatap muka.

Mantan presiden Donald Trump menarik AS keluar dari pakta 2015 itu, yang intinya adalah mencabut sanksi ekonomi terhadap Iran setelah negara itu membatasi program nuklirnya. Trump lalu menerapkan kembali sanksi sehingga memaksa Iran melanggar batasan dalam perjanjian nuklir itu.

Pihak-pihak yang tersisa dalam pakta itu: Iran, Inggris, China, Prancis, Jerman dan Rusia, Selasa, sepakat membentuk dua kelompok tingkat ahli yang bertugas memadukan daftar sanksi yang bisa dicabut Amerika dengan kewajiban nuklir yang harus dipenuhi Iran.

Para diplomat mengatakan kelompok kerja itu, yang diketuai Uni Eropa dan mengecualikan Amerika, bertemu Rabu (7/4). Seorang pejabat AS yang tidak mau disebut namanya mengatakan delegasi AS di Wina telah diberi pengarahan tentang diskusi tersebut.[ka/jm]

Oleh: VOA

Kamis, 04 Maret 2021

Negara Turki Perluas Operasi di Irak, Ketegangan dengan Iran Meningkat

Pasukan Turki beraksi melawan militan Kurdi di Irak utara, 17 Juni 2020. (Foto: Kementerian Pertahanan Turki via AP)

BorneoTribun Turki, Internasional -- Ketegangan Turki-Iran meningkat terkait operasi militer Turki yang sedang berlangsung terhadap militan Kurdi di bagian utara Irak. Dua negara di kawasan yang saling bersaing itu terlibat dalam saingan pertikaian diplomatik yang semakin sengit ketika Ankara mengancam akan memperluas operasinya di Irak ke wilayah strategis penting yang dikuasai milisi yang didukung Iran.

"Kita sama sekali tidak bisa menerima campur tangan itu, baik yang dilakukan oleh Turki atau negara lain, untuk melakukan campur tangan secara militer atau menunjukkan kehadiran secara militer di Irak,” ujar Duta Besar Iran Untuk irak Iraj Masjedi sebagai dikutip dalam wawancara yang disiarkan hari Sabtu (27/2).

Utusan Turki Untuk Irak, Fatih Yildiz, membalas dalam sebuah cuitan, "(Masjedi adalah) orang yang tidak pantas menceramahi Turki" tentang sikap menghormati perbatasan Irak.

Menurut laporan media Turki, Kementerian Luar Negeri Turki memanggil Duta Besar Iran Mohammad Farazmand untuk memberitahunya bahwa Turki berharap Iran mendukung Turki dalam "perang melawan terorisme".

Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu memprovokasi kemarahan Teheran ketika pada hari Minggu (28/2) mengklaim bahwa Iran menyembunyikan "525 teroris."

Kementerian Luar Negeri Iran memanggil Duta Besar Turki Untuk Iran, Derya Ors, untuk menyampaikan protes resmi dan bantahan bahwa Iran menawarkan dukungan kepada kelompok teroris dan Iran serius dalam memerangi terorisme.

Operasi militer Turki yang sedang berlangsung di Irak melawan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) menjadi pusat pertikaian diplomatik yang semakin getir antara Teheran dan Ankara. PKK melancarkan pemberontakan selama puluhan tahun melawan Turki dari pangkalan di seberang perbatasan di Irak utara. Amerika dan Uni Eropa menetapkan PKK sebagai organisasi teroris. [my/em]

Oleh: VOA Indonesia

Senin, 14 Desember 2020

Iran: Perjanjian Maroko-Israel 'Pengkhianatan Islam'

Pemimpin Tertinggi Iran, pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei berpidato di depan bangsa dalam pidato yang disiarkan televisi yang menandai liburan Iduladha, di Teheran, Iran, Jumat, 31 Juli 2020. (Foto: AP)

Borneo Tribun | Internasional - Seorang penasihat pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, telah mengecam normalisasi hubungan Maroko dengan Israel, musuh republik Islam itu. Iran menyebut perjanjian itu "pengkhianatan Islam."

AFP melaporkan, kerajaan itu pada Kamis (10/12) menjadi negara Arab keempat tahun ini yang menormalisasi hubungan dengan Israel, dalam sebuah perjanjian yang diumumkan oleh Presiden Donald Trum.

Sebagai imbal balik, AS mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat yang disengketakan, sesuatu yang telah menjadi keinginan Rabat selama puluhan tahun.

"Perjanjian antara segitiga Amerika, Maroko dan rezim Zionis itu dilakukan dengan meminta pengkhianatan Maroko atas Islam (dan) Palestina, menjual kehormatan Muslim kepada Zionisme internasional," kata penasihat kebijakan luar negeri Ali Akbar Velayati di situs resminya Jumat (11/12).

Dia menambahkan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel "bukan hal baru" karena kerajaan itu pernah mempertahankan kantor perwakilan di Israel di masa lalu.

Maroko mengikuti langkah Uni Emirat Arab, Bahrain dan Sudan dalam apa yang disebut oleh pemerintahan Trump sebagai Perjanjian Abraham.

Mengecam keempatnya, Velayati mengatakan mereka akan "menyaksikan pergolakan populer di dalam waktu dekat" sementara para pemimpin mereka yang "ketergantungan, tunduk dan otoriter," terbongkar.

Pengakuan AS atas kedaulatan Maroko di Sahara Barat memicu kemarahan Front Polisario, yang menguasai sekitar seperlima wilayah yang luas itu.

Maroko, yang memiliki hubungan dekat dengan saingan regional Iran, Arab Saudi, memutus hubungan diplomatik dengan Teheran pada 2018, menuduhnya mendukung Polisario. Iran telah membantah tuduhan itu. [vm/ft]

Oleh: VOA Indonesia

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno