Berita Borneotribun.com: Larangan Berhijab Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Larangan Berhijab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Larangan Berhijab. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 April 2022

Kampanye Pilpres Prancis Soroti Masalah Jilbab

Kampanye Pilpres Prancis Soroti Masalah Jilbab
Seorang perempuan bercadar, menutupi matanya saat dia berdiri di dekat polisi saat pemeriksaan identitas ketika dia tiba untuk berdemonstrasiuntuk memprotes video anti-Islam, di Lille 22 September , 2012. (Foto: REUTERS/Pascal Rossignol)


Borneo Tribun, Prancis -- Jilbab adalah masalah abadi di Prancis. Isu itu kini menjadi pusat perhatian dalam kampanye pemilihan presiden negara itu pada Jumat di tengah desakan kandidat sayap kanan Marine Le Pen untuk melarang penggunaan jilbab di negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa barat itu.


Dikutip VOA Indonesia, Selasa (19/4), Le Pen dan saingannya sang petahana Emmanuel Macron berjibaku dalam pertarungan yang ketat dalam putaran kedua yang berlangsung pada 24 April mendatang.


Mereka berdua dihadang oleh perempuan berjilbab yang menanyakan mengapa pilihan busana mereka harus terjebak dalam politik.


Macron tidak akan melarang pakaian keagamaan, tetapi dia telah mengawasi penutupan banyak masjid, sekolah, dan kelompok Islam, dengan bantuan dari tim khusus untuk membasmi dugaan tempat berkembang biaknya radikalisme.


Pemerintah Macron juga meloloskan undang-undang kontroversial tahun lalu untuk memerangi “separatisme,” kata yang digunakan untuk menggambarkan pencampuran politik dengan Islam, yang dianggap berbahaya bagi nilai sekularisme Prancis yang berharga.

Potret dua kandidat yang mencalonkan diri untuk putaran kedua dalam pemilihan presiden Prancis 2022, Marine Le Pen, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Foto: REUTERS/Sarah Meyssonnier)


Saat ini, beberapa Muslim merasa kampanye presiden sekali lagi menstigmatisasi kepercayaan mereka.


Di sebuah pasar petani di kota selatan Pertuis, seorang perempuan berjilbab biru-putih mendekati Le Pen saat kandidat itu melewati penjual ikan dan pedagang untuk menyambut para pendukung.


“Apa yang dilakukan jilbab dalam politik?” perempuan itu bertanya.


Le Pen membela pendapatnya, menyebut jilbab sebagai "seragam yang dikenakan dari waktu ke waktu oleh orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam."

Para pengunjuk rasa terlihat dalam protes menentang Islamofobia di Paris, Prancis, November 2019. (Foto: VOA/Lisa Bryant)


"Itu tidak benar," balas perempuan itu. “Saya mulai memakai cadar ketika saya sudah tua. Bagi saya jilbab adalah tanda menjadi seorang nenek.” Perempuan itu mencatat bahwa ayahnya telah bertugas di militer Prancis selama 15 tahun.


Platform politik Le Pen menyerukan pelarangan jilbab di jalan-jalan Prancis, sebuah langkah besar lebih jauh dari dua undang-undang yang sudah ada, larangan jilbab tahun 2004 di ruang kelas dan larangan niqab penutup wajah di jalan-jalan pada 2010.


Penentangannya terhadap jilbab telah merangkum apa yang dikatakan para pengkritiknya sebagi tindakan berbahaya bagi persatuan Prancis, dengan mengasingkan jutaan Muslim Prancis.


Le Pen juga akan memangkas imigrasi dan ingin melarang ritual penyembelihan, yang akan membatasi akses Muslim Prancis dan Yahudi terhadap kosher dan daging halal.

Para pengunjuk rasa membentangkan spanduk dan bendera Palestina dalam unjuk rasa menentang RUU "antiseparatisme" dan Islamofobia di Paris, Perancis, 21 Maret 2021. (Foto: Alain Jocard/AFP)


Macron juga mendebat seorang perempuan berjilbab pada Jumat. Dia berusaha menjauhkan diri dari Le Pen dengan mengatakan dia tidak akan mengubah hukum apa pun.


Perempuan itu, Sara El Attar, mengatakan dia merasa terhina oleh komentar Macron sebelumnya di mana dia mengatakan jilbab mengacaukan hubungan antara pria dan perempuan.


Perempuan Prancis “telah dihukum beberapa tahun terakhir ini karena syal sederhana, tanpa ada pemimpin yang berkenan mencela ketidakadilan ini,” katanya.


Dan dia mengulangi argumen yang dibuat oleh banyak perempuan bercadar di Prancis: bahwa orang salah mengira pria membuat mereka memakai jilbab, dan itu bukan pilihan pribadi.


“Bagi saya pribadi, pertanyaan tentang jilbab bukanlah obsesi,” kata Macron.


Le Pen berpendapat bahwa jilbab berfungsi sebagai "penanda" ideologi Islam, yang dilihatnya sebagai pintu gerbang ke arah ekstremisme.


Marwan Muhammad, mantan direktur kelompok yang berkampanye melawan Islamofobia – yang telah dilarang oleh pemerintah – mengatakan Macron dan Le Pen telah mengubah Islam di Prancis menjadi sepak bola elektoral, keduanya mencari dukungan di antara audiens mereka masing-masing.


Posisi Le Pen yang lebih radikal adalah “berkah bagi Macron,” katanya. [ah/rs]

Minggu, 22 Agustus 2021

Desainer Somalia-Amerika Debutkan Jilbab di Nordstrom

Desainer Somalia-Amerika Debutkan Jilbab di Nordstrom
Desainer Somalia-Amerika Debutkan Jilbab di Nordstrom. 

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Muslimah di Amerika kini bisa datang ke toko busana ternama untuk membeli busana Muslim, lengkap dengan hijab atau jilbab. Luasnya jaringan toko itu memungkinkan Muslimah di mana saja di Amerika lebih banyak pilihan dan membuat Muslimah merasa terwakili dalam bisnis ritel

Muslimah yang datang ke toko serba ada Nordstrom kini melihat jenis barang baru yang dijual di toko besar berjaringan itu. Busana Muslim lengkap dengan jilbab, kerudung, atau hijab. Busana Muslimah itu karya perusahaan lokal: Henna and Hijabs.


Bekerja sama dengan peritel besar tersebut, CEO Henna and Hijabs, Hilal Ibrahim, meluncurkan aneka busana Muslimah dan jilbab hasil karyanya sendiri. Hilal adalah perancang busana Somalia-Amerika di Minneapolis, negara bagian Minnesota.

Hilal Ibrahim mengatakan perempuan Muslim selama ini kurang terwakili dalam pasar ritel Amerika. Ia senang bisa bekerja sama dengan Nordstrom untuk menawarkan busana Muslim. 

“Kemitraan ini benar-benar istimewa. Kami bekerja sama untuk membuat semua item dalam koleksi ini yang akan dijual di toko-toko ini di seluruh Amerika Serikat dan Kanada. Harapan saya adalah bahwa perempuan dan gadis-gadis Muslimah kini akan bisa datang ke toko ini untuk membeli busana Muslimah, berikut jilbab sebagai padanannya," paparnya.


Hilal Ibrahim memulai bisnisnya, menjual jilbab, bukan di toko busana melainkan di toko suvenir di rumah sakit setempat. Ketika itu, ia melihat beberapa pasien, Muslimah, harus menutupi kepala mereka dengan selimut. Usaha kecil-kecilan dan terbatas itu berkembang. Semakin banyak Muslimah yang membeli hasil produksi Hilal. Sampai akhirnya, Hilal memutuskan bermitra dengan Nordstrom supaya pelanggan lebih mudah mendapatkan hasil kreasinya.

Direktur Senior Nordstrom untuk Diversity atau keragaman, Mohammed Omar, mengatakan bermitra dengan perusahaan yang memproduksi koleksi hijab sutra, katun, dan sifon ini adalah peluang yang dicari perusahaan tersebut.

“Apa yang dihasilkan Henna and Hijabs dan Hilal Ibrahim benar-benar merupakan contoh kreasi yang selama ini kami cari-cari. Kreasi ini membantu menawarkan produksi busana Muslimah ke berbagai segmen pasar yang belum pernah disentuh," kata Mohammed Omar.

Hilal Ibrahim melihat kerja sama bisnis tersebut dari sudut pandang berbeda. Menurutnya, bermitra dengan Nordstrom membantu membuat jilbab menjadi bagian yang lebih umum dalam budaya Amerika.

"Sebagai perempuan Muslim Amerika-Somalia, keberadaan baju Muslim dan jilbab di toko menunjukkan bahwa adalah Oke untuk memakai busana-busana itu di negara ini. Tidak masalah. Hijab itu sesuatu yang normal. Itu adalah bagian dari budaya Amerika, dan saya ingin menjadikannya sebagai sesuatu yang biasa atau normal," katanya.

"Saya ingin orang-orang datang ke toko dan melihat jilbab sebagai sesuatu yang biasa yang bagi mereka tidak ada bedanya dengan orang Amerika lainnya yang memilih memakai t-shirt," lanjut ia.

Nordstrom mengatakan koleksi hijab Hilal Ibrahim bisa didapat di toko itu secara online atau langsung di 16 toko di seluruh Amerika Utara. [ka/jm]

VOA

Minggu, 16 Mei 2021

Jangan Sentuh Hijab Saya! Perempuan Muslim Perancis Tolak Rencana Larangan Berhijab

Perempuan Muslim Perancis Tolak Rencana Larangan Berhijab
Perempuan Muslim yang mengenakan bendera Perancis berbaris di Paris saar protes undang-undang baru yang melarang simbol-simbol agama di sekolah-sekolah negeri Prancis, 14 Februari 2004. (Foto: Reuters)

BorneoTribun Internasional -- Amandemen RUU ‘anti-separatis’ di Perancis akan memaksa anak-anak perempuan di bawah usia 18 tahun untuk tidak mengenakan hijab di ruang publik. Merasa hak dan kebebasan dirampas, mereka menggelar unjuk rasa online dengan tagar #PasToucheAMonHijab alias #JanganSentuhHijabSaya.

Mariem Chourak, gadis Perancis berusia 16 tahun, adalah seorang muslimah taat yang mengenakan hijab sebagai bentuk ekspresi ketaatannya menjalankan agama Islam. Akan tetapi, para senator Perancis tengah mengajukan gagasan yang bisa dengan segera mencabut kebebasan Mariem untuk memakai hijab di ruang publik.

Amandemen rancangan undang-undang ‘anti-separatis’ yang dirancang untuk memperkuat nilai-nilai sekular Perancis itu menyasar anak-anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun. Hal itu memicu amarah dan unjuk rasa online dengan tagar #PasToucheAMonHijab alias #JanganSentuhHijabSaya yang kemudian viral ke seluruh dunia.

"Hal itu mengejutkan sekaligus membuat saya takut, karena itu artinya saya harus menunggu sampai berumur 18 tahun untuk memiliki akses atas kebebasan saya dalam beragama," kata Mariem.

Seorang gadis Muslim muda dengan dua bendera Prancis dan ikat kepala bertuliskan "Persaudaraan" menarik jilbabnya berbaris di antara sekitar 3.000 Sikh dari seluruh Eropa 31 Januari 2003. (Foto: Reuters)

Isu tentang agama dan pemakaian simbol keagamaan di tempat umum adalah kontroversi yang sejak lama terjadi di Perancis, sebuah negara sekuler yang menjadi rumah bagi minoritas Muslim terbesar di Eropa.

Perancis melarang pemakaian kerudung di sekolah negeri sejak 2004. Pada 2010, Perancis juga melarang pemakaian niqab alias kerudung bercadar di tempat umum seperti di jalan, taman, transportasi umum dan gedung-gedung pemerintahan.

Meski amandemen RUU anti-separatis itu ditujukan pada semua simbol agama, sebagian menilai langkah itu hanya menyasar umat Muslim. Dalam pernyataan kepada sesama anggota parlemen April lalu, Senator Christian Bilhac yakin amandemen itu akan melindungi anak-anak.

“Dalam ukuran seperti apa suatu republik sekuler bisa mentoleransi anak-anak yang tampil mengenakan simbol-simbol keagamaan di siang bolong? Orang tua tidak seharusnya memaksakan dogma pada anak-anak dan dengan demikian penting untuk adanya ruang aman bagi mereka dan memungkinkan mereka untuk beremansipasi," paparnya.

Sekelompok perempuan muda lantas meluncurkan kampanye dengan tagar #JanganSentuhHijabSaya dari rumah masing-masing. Awalnya, hanya ada segelintir perempuan yang bergabung. Dalam beberapa hari, lebih dari 200 orang terlibat mempersiapkan peluncuran kampanye itu melalui kanal WhatsApp.

Hiba Latreche, mahasiswi berusia 22 tahun, adalah salah satu perempuan muda pertama yang ikut serta.

“Alasan kami memutuskan untuk menerjemahkan (kampanye) ‘Jangan sentuh hijab saya’ ke dalam bahasa Perancisnya ‘Pas touche a mon hijab,’ karena penting agar pesan ini tersampaikan ke masyarakat, institusi dan media Perancis," katanya.

Bahkan, lanjut Hiba, jika kampanye ini terdengar hingga telinga internasional, penting agar kampanye ini disampaikan dalam tagar bahasa Perancisnya.

"Ini kenapa kami juga memberitahu masyarakat internasional: ‘Jika Anda ingin bergabung, menunjukkan solidaritas, dan meningkatkan kesadaran, lakukan dengan menggunakan tagar #PasToucheAMonHijab, karena ini masalah Perancis," tambahnya.

Hiba menjelaskan motivasinya mendukung kampanye tersebut.

“Saya, misalnya, selama 10 tahun harus melepas kerudung saya setiap hari di depan lapangan sekolah, yang secara pribadi terasa sangat sulit dijalani dan (bukan hanya) sangat memengaruhi kondisi mental saya, tapi juga pengalaman dan prestasi saya di sekolah," katanya.

Perempuan Perancis mengobrol pada 29 Juli 2011 di pasar distrik Bagatelle di Toulouse, Perancis barat daya. (Foto: AFP/Remy Gabalda)

"Tapi itu tidak berhenti sampai di situ. hal itu berlanjut saat saya kuliah, di mana ketika saya memilih jalan karir, saya terus-menerus menyensor diri saya sendiri: Apakah saya akan bisa mengenakan hijab? Apakah diperbolehkan? Bisakah saya menjadi hakim atau profesi lainnya? Hingga akhirnya itu mencapai titik di mana Islamofobia yang terinstitusi ini membentuk jalan pikiran saya," papar dia.

Upaya mereka menarik simpati dan dukungan berbagai pihak, dari influencers media sosial, anggota parlemen di Amerika Serikat, hingga Ibtihaj Muhammad, perempuan Amerika pertama yang mengenakan hijab saat bertanding di Olimpiade. Tagar itu pun telah dibagikan puluhan ribu kali di berbagai platform media sosial.

Di Perancis, tagar itu ikut didengungkan sosok-sosok terkemuka di komunitas Muslim, misalnya Myriam Sefraoui atau yang dikenal dengan nama ‘Myrabelleeee’ di media sosial, dengan jumlah followers mencapai 78.200. Unggahan foto yang memperlihatkan telapak tangannya bertuliskan #JanganSentuhHijabSaya dalam bahasa Inggris disukai 32.400 kali.

“Banyak gadis muda yang follow saya, mereka yang berusia antara 18 dan 24 tahun, begitu juga yang 13 sampai 18 tahun. Komunitas media sosial saya sebagain besar terdiri dari gadis-gadis Muslim dan umat Islam (secara umum). Penting bagi saya, terutama sejak saya mulai berhijab saat umur 17 tahun dan oleh karenanya bisa saja terkena imbas amandemen itu, untuk membagikan ini dan terutama membuat orang-orang tahu isu ini," tutur Myriam.

Presiden Perancis Emmanuel Macron berbicara dengan wartawan di Paris, 29 April 2021. (Foto: AP)

Presiden Emmanuel Macron memperingatkan bahwa Islamisme merusak persatuan Perancis.

RUU antiseparatisme yang diajukan pemerintahannya akan menindak praktik pernikahan paksa dan tes keperawanan, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan. Pada awalnya, tak ada pasal yang membahas larangan pemakaian hijab di ruang publik bagi anak-anak.

Senat yang didominasi kubu konservatif lah yang menambahkan amandemen tersebut, beserta dua pasal lain yang akan melarang para ibu mengenakan hijab saat menemani anak-anak mereka dalam perjalanan sekolah dan melarang pemakaian burkini, baju renang perempuan Muslim.

Jangan Sentuh Hijab Saya! Perempuan Muslim Perancis Tolak Rencana Larangan Berhijab
Perempuan Iran yang konservatif berdemonstrasi menentang undang-undang Prancis yang melarang pemakaian jilbab di sekolah umum, di luar Kedutaan Besar Perancis di Teheran 7 September 2004. (Foto: AFP/Henghameh Fahimi)

Komite gabungan Senat dan Majelis Nasional parlemen Perancis akan memperdebatkan amandemen itu.

Mariem berharap ia bisa mengekspresikan kebebasannya dalam beragama.

“Saya harap RUU ini tidak lolos, sehingga saya bisa terus mengenakan hijab saya di tempat umum. Saya juga berharap perdebatan seputar kami (yang mengenakan hijab) nantinya berhenti dan orang-orang juga berhenti mendikte keyakinan kami, mereka berhenti berusaha merampas hak kami dan mengatur keyakinan, pilihan dan tubuh kami," katanya. [rd/em]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno