Berita Borneotribun.com: Laut China Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Laut China. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laut China. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Maret 2021

Siaga Perang, Taiwan Bentengi Pulau Terbesar di Laut Cina Selatan

Sebuah kapal Penjaga Pantai Taiwan (kiri) dan kapal kargo ikut serta dalam latihan pencarian dan penyelamatan di lepas pantai pulau Taiping di Laut Cina Selatan, 29 November 2016. (AP Photo/Johnson Lai)

BorneoTribun Internasional -- Militer Taiwan meningkatkan latihan pasukan dan menambah persenjataan pertahanan di pulau terbesar di Laut Cina Selatan yang disengketakan. Analis percaya bahwa mereka mempersiapkan kemungkinan serangan oleh China.

Menteri Pertahanan Chiu Kuo-cheng mengatakan kepada parlemen pada 17 Maret bahwa China "mampu" menyerang dan bahwa dia ingin Pulau Taiping "selalu siap setiap saat," kata laporan media lokal. Ia mengacu pada pulau yang berpenduduk jarang di kepulauan Spratly, 1.500 kilometer barat daya Taiwan dan disengketakan oleh lima pemerintah lain, termasuk China.

"Itu jelas menandakan bahwa Taipei prihatin dan menanggapi ambisi, pernyataan, dan tindakan China - menegaskan kembali bahwa Beijing sungguh-sungguh bermaksud (merebut) pulau itu," kata Fabrizio Bozzato, peneliti senior di Ocean Policy Research Institute, Sasakawa Peace Foundation, yang berbasis di Tokyo.

China membuat Taiwan khawatir sejak pertengahan 2020 karena mengerahkan pesawat militer hampir setiap hari ke sudut zona identifikasi pertahanan udara Taiwan. Pada Jumat, kementerian pertahanan melihat 20 pesawat, jumlah yang sangat tinggi. China telah menambah hanggar dan sistem radar di tujuh pulau kecil miliknya di rantai kepulauan Spratly dalam dekade terakhir.

Pulau Taiping, pos terdepan yang juga dikenal sebagai Itu Aba, akan lebih mudah diambil China dibandingkan dengan Taiwan karena luasnya hanya 46 hektar, menurut beberapa analis. Bentuk lahan tropis itu mendukung jalur udara, dermaga dan rumah sakit kecil.

Pulau Itu Aba, (disebut Taiping oleh Taiwan), di Laut Cina Selatan, 29 November 2016. (REUTERS)

Untuk "membuat tegang dan menguras awak udara dan pelaut Taiwan" dan "memperburuk" warga Taiwan, China dapat "menunjukkan kekuatannya dengan menyerang satu atau beberapa pulau lepas pantai yang dikuasai Taiwan" termasuk Taiping, kata organisasi penelitian Council on Foreign Affairs dalam laporan khusus bulan lalu.

Pemerintah China mengklaim Taiwan yang berpemerintahan sendiri sebagai bagian wilayahnya, masalah sisa dari perang saudara tahun 1940-an, dan tidak mengesampingkan penggunaan militer untuk menyatukan kedua pihak. [ka/ab]

Oleh: VOA Indonesia

Senin, 01 Februari 2021

Indonesia Bisa Jadi Penengah AS - China di Laut China Selatan

Indonesia Bisa Jadi Penengah AS - China di Laut China Selatan
Formasi angkatan laut China selama latihan militer di Laut China Selatan. Pada 27 Januari 2021, China memulai tiga hari latihan militer di perairan yang disengketakan. (Foto: AFP)

Pengamat menyatakan Indonesia dapat menjadi penengah antara Amerika Serikat dan China dalam kasus Laut China Selatan.


BorneoTribun | Jakarta - Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Profesor Ary Bainus menjelaskan Indonesia bisa berperan menjadi penengah antara Amerika Serikat dan China dalam konflik di Laut China Selatan.

Ary menambahkan kedua negara sudah sama-sama menempatkan kekuatan militer di Laut China Selatan. Karena itu, dia menekankan Indonesia pantas merasa sangat khawatir kalau ketegangan situasi di Laut China Selatan terus meningkat dan berpotensi menjadi perang terbuka.

Dalam foto ini disediakan oleh US Navy, USS Ronald Reagan (CVN 76, depan) dan USS Nimitz (CVN 68, belakang) Carrier Strike Group berlayar bersama dalam formasi, di Laut Cina Selatan, Senin, 6 Juli 2020. (Foto : AP)

"Indonesia mempunyai peluang dalam rangka memediasi permusuhan antara Amerika Serikat dengan China. Kita bisa mengambil peran di situ, terutama berkaitan dengan Laut China Selatan," kata Ary dalam diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Presiden Amerika Joe Biden terhadap Indonesia dan Dunia,” Sabtu (30/1).

Peluang tersebut, lanjut Ary, cukup besar, karena Indonesia bukan termasuk negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan. Namun, Ary mengingatkan dengan tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif.

Berkaitan dengan konflik di Laut China Selatan, menurut mantan diplomat Amerika, Stanley Harsha, Amerika Serikat tidak akan meminta Indonesia atau negara mana pun untuk memilih antara Amerika atau China.

Stanley mengungkapkan kebijakan AS di bawah Biden dalam isu Laut China Selatan tidak akan berbeda dengan pemerintahan Presiden Donald Trump.

“Amerika akan sangat tegas, sangat tegas, mungkin tidak banyak berbeda dengan Trump," ujar Stanley.

Menurut Stanley, untuk mencegah meluasnya pengaruh China di Asia Tenggara, Amerika akan meningkat investasinya di kawasan tersebut.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi terpilih sebagai ketua bersama COVAX AMC Engagement Group yang diprakarsai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Vaccine Alliance (GAVI). (Foto: Kemenlu RI)

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.

Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar $3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.

Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional. Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan. [fw/ft]

Oleh: VOA Indonesia

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno