Berita Borneotribun.com: Muslim Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muslim. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Juni 2021

Di Prancis, Komunitas Muslim Paling Terdampak COVID-19

Mamadou Diagouraga berdiri di dekat makam ayahnya, Boubou Diagouraga (71 tahun), yang meninggal akibat COVID-19 di pemakaman Muslim di Valenton, dekat Paris, Prancis (foto: dok).

BORNEOTRIBUN.COM - Sebuah studi menunjukkan, komunitas Muslim merupakan kelompok yang paling parah terdampak COVID-19 di Prancis. Mengapa? 

Setiap pekan, Mamadou Diagouraga datang ke sebuah pekuburan Muslim di dekat Paris untuk berdoa di makam ayahnya, salah satu dari banyak Muslim Prancis yang meninggal karena COVID-19.

"Ayah saya adalah yang pertama dimakamkan di barisan makam ini. Dulunya kosong, namun dalam setahun pekuburan itu penuh. Ini sulit dipercaya," ujarnya.

Diagouraga membandingkan situasi pekuburan Muslim itu pada awal pandemi dengan situasi pada saat ini.

Upacara pemakaman seorang warga Muslim yang meninggal karena COVID-19 di La Courneuve, dekat Paris, Prancis, 17 Mei 2021 (foto: dok).

Apa yang diungkapkan Diagouraga boleh jadi memang tidak mencerminkan seberapa parah komunitas Muslim Perancis terdampak pandemi. Undang-undang Prancis memang melarang pengumpulan data berdasarkan afiliasi etnis atau agama.

Tetapi bukti yang dikumpulkan oleh Reuters -- termasuk data statistik yang secara tidak langsung merekam dampak dan kesaksian dari para pemimpin masyarakat -- menunjukkan tingkat kematian COVID di kalangan Muslim Prancis jauh lebih tinggi daripada di populasi keseluruhan.

Sebagai informasi saja, Prancis diperkirakan memiliki populasi Muslim terbesar di Uni Eropa.

Menurut sebuah penelitian berdasarkan data resmi, kematian pada tahun 2020 di kalangan penduduk Prancis yang lahir di negara-negara Afrika Utara yang mayoritas penduduknya Muslim dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di kalangan mereka yang lahir di Prancis.

Alasannya, menurut para tokoh masyarakat dan peneliti, komunitas Muslim di negara itu cenderung memiliki status sosial ekonomi di bawah rata-rata.

Warga antre untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19 di kota Marseille, Prancis selatan (foto: dok).

M'Hammed Henniche, ketua Asosiasi Muslim Seine-Saint-Denis, sebuah wilayah dekat Paris dengan populasi imigran yang besar, mengatakan:, “Bukan karena mereka Muslim, itu karena mereka termasuk dalam kelas sosial yang paling tidak istimewa. Kelas sosial mereka menempatkan mereka di garis depan pandemi ini. Banyak warga kita yang menjadi pemulung, atau pembersih atau petugas kebersihan, kasir, mereka tidak bisa bekerja dari rumah. Orang-orang ini harus pergi keluar, menggunakan transportasi umum, mereka harus berhubungan dengan orang lain. Pekerjaan itu memaksa mereka berhubungan dengan orang-orang dan mereka telah membayar harga yang mahal. "

Sementara data resmi tentang dampak COVID-19 terhadap komunitas Muslim tidak tersedia, pekuburan-pekuburan di Prancis secara tidak langsung menyiratkan peningkatan kematian di kalangan umat Islam secara signifikan berdasarkan ciri khas makam mereka. Sebagaimana diketahui, orang-orang Muslim biasanya ditempatkan di bagian pemakaman yang dirancang khusus, di mana kuburan disejajarkan sehingga menghadap ke Mekah.

Pekuburan Valenton tempat ayah Diagouraga, Boubou, dimakamkan, berada di wilayah Val-de-Marne, di luar Paris. Menurut catatan Reuters yang dikumpulkan dari semua 14 kuburan di Val-de-Marne, pada 2020, ada 1.411 makam Muslim, naik dari 626 pada tahun sebelumnya, atau sebelum pandemi. Angka itu mewakili peningkatan 125% -- jauh di atas peningkatan penguburan semua agama lain yang hanya sekitar 34%.

Samad Akrach, ketua Lembaga Amab Tahara, yang mengurus penguburan Muslim merasakan peningkatan itu. “Komunitas Muslim sangat terpengaruh selama pandemi ini. Bulan lalu saja, kami mengurus lebih dari 200 kematian. Ini dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.

Tempat-tempat pemakaman Muslim di Prancis mengalami lonjakan jumlah kematian selama pandemi COVID-19 (foto: dok).

Michel Guillot, direktur penelitian di Institut Studi Demografi Prancis, sebuah lembaga riset yang didanai pemerintah, membenarkan analisa Reuters.

"Di Prancis kami jelas tidak memiliki data statistik kematian berdasarkan agama, tetapi kami secara tidak langsung dapat mengatakan bahwa komunitas Muslim paling terpengaruh. Berdasarkan penelitian kami, banyak korban meninggal akibat COVID berasal dari Afrika Utara dan negara-negara Afrika Sub-Sahara, dan sebagian besar negara-negara Afrika Barat seperti Mali dan Senegal, yang kami tahu sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Jadi secara tidak langsung kami dapat menyimpulkan bahwa, pada dasarnya, populasi Muslim di Prancis, para imigran Muslim, jauh lebih terpukul oleh epidemi COVID," jelasnya.

Yang tak kalah memprihatinkan, orang-orang Muslim di Prancis saat ini juga kesulitan mencari lahan kuburan bagi sanak keluarga mereka. Sebelum pandemi, sekitar tiga perempat jumlah Muslim Prancis yang meninggal biasanya dimakamkan di negara asal mereka. Namun, karena berbagai pembatasan di perbatasan terkait pandemi, mereka tidak boleh dikirim ke luar Prancis. Keadaan ini mendongkrak drastis permintaan akan lahan pemakaman.

Asosiasi-asosiasi Muslim dan organisasi-organisasi nonpemerintah yang terlibat dalam penguburan Muslim di Prancis mengatakan, tidak ada cukup lahan untuk memenuhi permintaan selama pandemi. Keadaan ini memaksa banyak keluarga Muslim mencari tempat-tempat alternatif untuk menguburkan sanak kerabat mereka. [ab/uh]

Oleh: VOA

Rabu, 14 April 2021

Muslim Sambut Ramadan dengan Optimistis

Acara berbuka puasa di Masjid Islamic Society of Greater Chattanooga, TN sebelum terjadi pandemi COVID-19 (foto: courtesy).

BorneoTribun Amerika, Internasional -- Muslim di Amerika, seperti umumnya di berbagai bagian dunia, menyambut Ramadan yang tiba pada 12 April. Walaupun masih didera pandemi, yang memaksa masjid menerapkan banyak pembatasan, Muslim optimistis dan siap memakmurkan masjid.

Umat Islam di banyak bagian dunia, termasuk di Amerika dan Indonesia, memasuki Ramadan 1442 Hijriah Senin sore (12/4). Walaupun masih pandemi, yang memaksa semua masjid ditutup pada Ramadan tahun lalu, Muslim bersyukur masjid-masjid kini sudah bisa beroperasi kembali dan siap menggelar salat tarawih.

Nur Siswo Rahardjo adalah Muslim Indonesia yang aktif dalam kegiatan Ramadan di Islamic Society of Greater Chattanooga (ISGC), Tennessee. Ia mengatakan, “Dengan tetap mengikuti petunjuk CDC (Pusat Pengendalian Penyakit), social distancing, dan lain-lain. Kita buka masjid. Jadi, operasi seperti biasa dengan limited capacity (kapasitas terbatas). Highly reduced capacity.”

Suasana salat di masjid komunitas Indonesia, IMAAM Center, Maryland (dok: VOA)

Sekitar 60 persen masjid dan organisasi Muslim di Amerika merujuk pada keputusan Fiqh Council of North America (FCNA) atau Dewan Fikih Amerika Utara, yang mendasarkan keputusan, menetapkan awal dan akhir Ramadan, pada metode hisab atau kalkulasi. Sebagian lainnya mengikuti keputusan Arab Saudi, yang membuat ketetapan berlandaskan hasil pengamatan posisi bulan.

ISGC mengikuti keputusan Arab Saudi dalam menentukan awal Ramadan. Sedangkan Komunitas Muslim Indonesia di kawasan Washington, DC, yang tergabung dalam IMAAM (Indonesian Muslim Association in America) adalah salah satu yang mengikuti keputusan FCNA.

Ramadan tahun ini datang sementara dunia masih bergulat dengan pandemi virus corona. Namun, dengan semakin banyak orang yang sudah divaksinasi dan mengerti cara meminimalisir penularan, masjid-masjid tahun ini percaya diri untuk membuka pintunya.

Masjid Imaam Center bahkan membuka tempat berwudu yang selama ini ditutup. Sedangkan ISGC tidak merasa perlu memeriksa suhu tubuh jemaah. Namun, keduanya sama-sama membatasi jumlah jemaah untuk tarawih maksimal 200, kurang dari 50 persen kapasitas normal.

Pemeriksaan suhu tubuh sebelum masuk masjid komunitas Indonesia, IMAAM Center, Maryland.

Selain mematuhi petunjuk CDC, Imaam Center dan ISGC meminta jemaah mematuhi prokol Kesehatan dan membawa sajadah sendiri demi mencegah bersentuhan langsung dengan karpet masjid. Imaam Center menyediakan kertas sebagai pengganti sajadah bagi yang tidak membawa. Sedangkan ISGC menutupi karpet dengan plastik, seperti disampaikan Nur, yang tahun ini kembali menjadi panitia kegiatan program Ramadan.

“Ditutup plastik yang tebal. Jadi, secara periodik ada volunteer, brother yang mengepelnya dengan disinfektan. Setiap hari itu. Mungkin sebelum Subuh. Jadi, mudah-mudahan tetap amanlah,” tambah Nur.

Tetapi, baik Imaam Center maupun ISGC tahun ini sama-sama belum siap mengadakan acara berbuka puasa bersama. Mereka hanya menyediakan kurma dan minum. Itupun tidak untuk dikonsumsi di dalam, melainkan di luar masjid.

“Iftar tidak ada. Potluck juga tidak ada. Buka puasa di masjid tidak ada. Masih kita agak strict di situ. Walaupun masjid dibuka, kita tidak mengadakan buka puasa bersama.”

Acara berbuka puasa di Masjid Islamic Society of Greater Chattanooga, TN sebelum terjadi pandemi COVID-19 (foto: courtesy).

Nur mengaku merasa kehilangan dengan tidak adanya buka puasa bersama karena di situ ada kemeriahan dan kebersamaan. Namun, ia mengajak Muslim tetap memakmurkan masjid dengan salat lima waktu, tarawih, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dan, yang penting, katanya, bersyukur karena masjid kini dibuka kembali.

“We need to get the best out of it. Dari segala keterbatasan ini, kita nikmati sajalah. Kita syukuri,” pungkasnya. [ka/uh]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno