Berita Borneotribun.com: Myanmar Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Myanmar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Myanmar. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Februari 2022

Dewan Militer Myanmar Mendukung Invasi Rusia ke Ukraina

Dewan Militer Myanmar Mendukung Invasi Rusia ke Ukraina
Pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin parade militer pada perayaan Hari Angkatan Bersenjata di Myanmar di Naypyitaw, Myanmar, pada 27 Maret 2021. (Foto: Reuters/Stringer)


BorneoTribun.com - Junta militer Myanmar, Kamis (24/2), menyatakan dukungannya atas serangan yang dilancarkan Rusia terhadap Ukraina. Dukungan itu membuat junta berselisih dengan sebagian besar masyarakat dunia yang mengutuk aksi militer tersebut dan telah menjatuhkan sanksi keras kepada Rusia.


Dalam wawancara dengan VOA Burma, Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara dewan militer Myanmar, menyebutkan alasan pemerintah militer mendukung tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin.


"Yang pertama adalah bahwa Rusia telah berusaha untuk menyatukan kedaulatannya," katanya. "Saya pikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Kedua, Rusia menunjukkan kepada dunia bahwa Rusia adalah kekuatan dunia."


Pemimpin kudeta Myanmar, Min Aung Hlaing, mengunjungi Rusia pada Juni tahun lalu dan ada hubungan kuat antara militer Burma dan Rusia. Rusia adalah salah satu dari sedikit negara yang membela dewan militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari 2021 di Myanmar yang menggulingkan pemerintah sipil dan menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan pejabat tinggi lainnya.


Sejak itu, PBB dan para pakar masalah Myanmar telah berulang kali menyerukan larangan penjualan senjata ke dewan militer, tetapi Rusia mengabaikan seruan itu.


Sebagai pembenaran atas pengambilalihan kekuasaan Myanmar pada Februari tahun lalu, para pejabat militer mengklaim kecurangan yang meluas dalam pemilihan umum November 2020, yang dimenangkan dengan suara bulat oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi.


Pemantau pemilu lokal dan internasional membuktikan bahwa pemungutan suara itu bebas dan adil. [ps/rs]


Oleh: VOA Indonesia

Jumat, 04 Februari 2022

Pasukan Junta Myanmar Hancurkan Ratusan Rumah di Kawasan Sagaing

Pasukan Junta Myanmar Hancurkan Ratusan Rumah di Kawasan Sagaing
Protes pemerintah anti-militer sedang dibubarkan dengan gas air mata oleh pasukan keamanan di kotapraja Sanchaung di Yangon, Myanmar pada 3 Maret 2021. (Foto: AP)

BorneoTribun.com - Tentara di kawasan Sagaing, Myanmar, menghancurkan lebih dari 400 rumah di dua desa yang mereka tuduh memberi perlindungan bagi kekuatan antijunta, memaksa sekitar 10 ribu warga sipil mengungsi, kata warga pada Rabu (3/2).

Serangan itu terjadi pada 31 Januari malam, sewaktu sekitar 100 tentara dari kota Myaing di kawasan tetangganya, Magwe, memasuki desa Mwe Tone dan Pan di kota Pale, Sagaing, dan mulai membakar bangunan-bangunan, kata berbagai sumber kepada RFA.

“Tentara muncul tiba-tiba malam itu,” kata seorang warga Mwe Tone yang kehilangan rumahnya. “Mereka bertindak seperti akan berlalu, tetapi kemudian mereka mulai membakar rumah-rumah. Seluruh desa lenyap. Hanya satu atau dua rumah yang tertinggal. Setelah itu, mereka pergi ke arah barat dan membakar rumah-rumah di desa Pan,” lanjutnya.

Warga itu, yang minta namanya tidak disebutkan karena takut akan pembalasan, mengatakan, tentara menghancurkan sekitar 220 dari 265 rumah di Mwe Tone dan hampir seperempat dari 800 rumah di Pan.

“Saya tidak dapat kembali ke desa,” ujarnya. “Saya tinggal di biara. Mereka menghancurkan rumah kami meskipun kami tidak menyerang mereka.”

Sebuah kendaraan polisi di Okkalapa Selatan, Yangon, Myanmar
Sebuah kendaraan polisi di Okkalapa Selatan, Yangon, Myanmar, Jumat, 9 April 2021. Tentara di kawasan Sagaing, Myanmar, menghancurkan lebih dari 400 rumah di dua desa yang mereka tuduh  memberi perlindungan bagi kekuatan antijunta. (Foto: AP)

Menurut warga itu, orang-orang melarikan diri ketika tentara memasuki desa, tetapi mereka tidak dapat mengambil harta benda mereka dan kehilangan ternak mereka dalam kebakaran itu.

Rincian mengenai serangan di desa Pan, sekitar 3 kilometer dari sana, belum tersedia.

Sebelum kebakaran, para anggota milisi antijunta Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) setempat telah menyerang sebuah pos di desa Inn Ma Htee, di mana pasukan pemerintah dilaporkan melakukan pelatihan untuk kelompok milisi Pyusawhtee yang promiliter.

Warga desa mengatakan kepada RFA bahwa pembakaran dua desa itu merupakan bentuk pembalasan dendam atas korban yang diderita militer dalam serangan di desa Inn Ma Htee.

Upaya RFA menghubungi juru bicara junta Mayjen Zaw Min Tun untuk menanggapi tuduhan bahwa pasukan militer membakar rumah-rumah di dua desa itu tidak dijawab pada hari Rabu.

Pe Ee, anggota PDF di kota Pale, mendesak warga sipil untuk mengungsi begitu melihat kehadiran militer.

“Junta telah melancarkan ofensif terhadap kami dengan menggunakan kekuatan berlebihan. Anggota PDF lokal berusaha melawan tetapi ini tidak seimbang,” lanjutnya. “Militer tetap saja belum menguasai kawasan itu.”

Menurut Data for Myanmar, kelompok riset yang berfokus pada dampak konflik bersenjata, aksi pembakaran telah menghancurkan bangunan di 90 desa di sembilan negara bagian dan kawasan di mana militer berjuang melawan kekuatan antijunta sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari 2021. [uh/ab]

Oleh: VOA Indonesia

Sabtu, 10 Juli 2021

Jadi Wartawan di Myanmar Pasti Ditangkap?

Jadi Wartawan di Myanmar Pasti Ditangkap?
Penangkapan lima jurnalis Myanmar, termasuk tiga dari Suara Demokratis Burma, di rumah warga di Chiang Mai, Thailand, 9 Mei 2021.

BORNEO TRIBUN - Selama sekitar 20 tahun, the Democratic Voice of Burma (DVB), atau Suara Demokratik Birma – nama lain Myanmar – melakukan siaran tanpa sensor dari pengasingan ke negeri gajah putih itu.

Ketika pemerintahan sipil mulai berkuasa pada 2011, media independen itu akhirnya bisa membuka kantor di Yangon, kota terbesar di Myanmar.

Namun, langkah maju untuk kebebasan media itu mengalami kemunduran lagi pada Februari ketika militer mengambil alih kekuasaan dan segera mengarahkan perhatiannya pada pers di negara itu. 

Internet dibatasi, puluhan jurnalis dipenjarakan, dan lebih dari 10 media, termasuk DVB, izinnya dicabut.

“Kami menjadi ilegal di negara ini. Militer mencabut izin kami, tidak hanya itu, tetapi juga menjadikannya ilegal untuk membuat produk media apapun, termasuk Facebook, YouTube, dan media sosial,” kata redaktur DVB, Aye Chan Naing, kepada VOA dari sebuah lokasi tersembunyi.

“Langsung setelah kudeta, satu jam setelah kudeta, mereka mencabut izin kami,” katanya.

Lebih dari lima bulan sudah berlalu sejak kudeta militer Myanmar memicu pemberontakan besar ketiga dalam tiga dekade.

Setelah ratusan pemrotes pro-demokrasi tewas dan ribuan ditahan, negara itu berada dalam krisis.

Di tengah-tengah penumpasan oposisi ini, junta yang berkuasa memfokuskan perhatian pada pemberangusan media independen Myanmar.

Sejak 1 Februari lalu sedikitnya 89 wartawan telah ditangkap, sementara 36 lainnya masih berada dalam tahanan, demikian menurut kelompok Facebook, “Detained Journalist Information dan Reporting ASEAN,” sebuah organisasi yagn mendokumentasi penumpasan dan berita-berita yang tidak dilaporkan dari Asia.

Sepuluh wartawan dibebaskan minggu lalu sebagai bagian dari pembebasan sekitar 2.300 orang.

Kantor berita Associated Press mengutip Deputi Urusan Media Mayjen.

Zaw Min Tun mengatakan mereka yang dibebaskan ikut serta dalam protes tetapi tidak dalam kekerasan.

Kementerian Informasi Myanmar juga merilis pernyataan yang menyatakan, Dewan Administratif Negara memegang kendali karena keadaan darurat. [jm/em]

VOA

SAC Menangkap Anggota Keluarga Pembangkang

SAC Menangkap Anggota Keluarga Pembangkang
SAC Menangkap Anggota Keluarga Pembangkang.

BORNEOTRIBUN -- Dewan Administrasi Negara (SAC) yang berkuasa pascakudeta di Myanmar sejak pekan terakhir Februari telah menangkapi anggota keluarga para pembangkang, dalam upaya menekan para pembangkang itu untuk menyerahkan diri. 

Hal tersebut dikemukakan oleh para pembangkang, pengacara yang membantu mereka yang dikenai dakwaan, dan seorang pejabat dari Pemerintah Persatuan Nasional yang beroposisi. 

Mereka mengatakan, anggota keluarga para aktivis, politisi dan pejabat yang terlibat dalam Gerakan Pembangkangan Sipil, telah ditangkap dan dipenjarakan oleh SAC.

Sebagian dipukuli dan dianiaya oleh aparat keamanan karena tidak memberikan informasi mengenai pembangkang yang telah menghindari penangkapan, jelas mereka.

“Menangkap anggota keluarga yang tidak bersalah merupakan tindakan pemaksaan. Kami mengecam keras ini,” kata Aung Myo Min, Menteri Hak Asasi Manusia dari Pemerintah Persatuan Nasional, yang telah berjuang membela HAM selama tiga dekade, kepada VOA pada 30 Juni.

VOA telah berulang kali berupaya mendapatkan komentar dari SAC atas laporan ini namun tidak berhasil.

Menurut Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik (AAPP) yang berbasis di Thailand, pasukan keamanan SAC mulai menangkapi anggota keluarga pembangkang pada pekan terakhir Februari.

Meskipun hanya ada beberapa kasus pada bulan Februari dan Maret, lebih dari 30 anggota keluarga telah ditangkap pada bulan April.

AAPP menyatakan bahwa hingga 22 Juni, sedikitnya 85 anggota keluarga pembangkang telah ditangkap sejak kudeta 1 Februari di Myanmar, dengan 29 telah dibebaskan dan 53 masih ditahan. 

Keseluruhannya mencakup 41 perempuan dewasa dan anak-anak berusia dua hingga 75 tahun. [uh/ab]

VOA

Minggu, 20 Juni 2021

PBB Serukan Setop Penjualan Senjata kepada Myanmar

PBB Serukan Setop Penjualan Senjata kepada Myanmar
Tentara Myanmar berjalan di sepanjang jalan selama protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 28 Februari 2021. (Foto: Reuters)

BorneoTribun Internasional - Sidang Umum PBB pada Jumat (18/6) menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar dan mendesak militer di sana agar menghormati hasil pemilihan November. Reuters melaporkan, Sidang Umum PBB juga menyerukan membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Myanmar Aung Suu Kyi.

Sidang Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi dengan dukungan dari 119 negara, beberapa bulan setelah militer menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih. Belarus adalah satu-satunya negara yang menentang resolusi itu sementara 36 negara lain abstain, termasuk China dan Rusia.

“Risiko perang saudara dalam skala besar nyata,” kata utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener kepada Sidang Umum setelah pemungutan suara. “Waktu sangat sedikit dan peluang untuk membalikkan kudeta militer ini semakin kecil.”

Dubes Uni Eropa untuk PBB Olof Skoog mengatakan, resolusi PBB ini mengirim pesan kuat: “Resolusi mendelegitimasi junta militer, mengecam pelecehan serta kekerasan yang dilakukannya terhadap rakyatnya sendiri, dan memeragakan isolasinya negara itu dimata dunia.”

Sekjen PBB Antonio Guterres sebelumnya pada Jumat (18/6) mendesak Sidang Umum agar bertindak. “Kita tidak bisa hidup di sebuah dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Hal ini sama sekali tidak bisa diterima," katanya.

ASEAN memimpin usaha diplomatik untuk mencari jalan keluar dari krisis ini tetapi terpecah pada Jumat (18/6) sehubungan langkah PBB ini.

Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, serta juga dubes Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang mewakili pemerintah sipil di sana, memberi suara dukungan, sementara Brunei, Kamboja, Laos, dan Thailand abstain. [jm/pp]

Oleh: VOA

Sabtu, 22 Mei 2021

Kepala Komisi Pemilu Myanmar Pertimbangkan Bubarkan Partai Suu Kyi

Para demonstran anti kudeta melakukan aksi unjuk rasa menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi di Yangon, Myanmar (foto: dok).

BorneoTribun Internasional -- Kepala Komisi Pemilu – yang ditunjuk militer – hari Jumat (21/5) mengatakan badannya sedang mempertimbangkan untuk membubarkan bekas partai berkuasa pimpinan Aung San Suu Kyi karena sedang menghadapi tuduhan terlibat dalam kecurangan pemilu dan pemimpinnya dituduh melakukan pengkhianatan.

Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi memegang tampuk kekuasaan setelah menang telak dalam pemilu 2015 dan bahkan memenangkan suara mayoritas yang lebih besar dalam pemilu November 2020 lalu. NLD sedang bersiap memimpin untuk masa jabatan kedua Februari lalu ketika militer melancarkan kudeta, menangkap Suu Kyi dan puluhan pejabat tinggi pemerintah serta anggota partai NLD.

Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Pemimpin junta militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing merujuk kecurangan pemilu sebagai alasan pengambilalihan oleh militer, dengan mengatakan “ada kecurangan yang sangat buruk dalam daftar pemilih.” Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung tentara dan menderita kekalahan dalam pemilu itu, menyampaikan tudingan serupa.

Para pengamat independen membantah pernyataan tentang ketidakberesan yang meluas itu.

Partai-partai politik telah dipanggil untuk membahas rencana perubahan dalam sistem elektoral dalam pertemuan hari Jumat (21/5).

Ketua Komisi Serikat Pemilu Thein Soe mengatakan penyelidikan terhadap pemilu tahun lalu yang akan segera rampung, menunjukkan bahwa partai Liga Nasional Untuk Demokrasi telah secara tidak sah bekerjasama dengan pemerintah untuk memberikan keuntungan di TPS-TPS.

“Kami akan menyelidiki dan mempertimbangkan apakah partai ini seharusnya dibubarkan atau tidak, dan apakah para pelaku seharusnya dihukum sebagai pengkhianat,” ujarnya.

Juru bicara Sekjen PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric – yang ditemui wartawan dan ditanya tentang reaksinya terhadap kabar itu – mengatakan “jika hal itu terjadi, maka jelas merupakan langkah menuju ke arah yang salah.” Ditambahkannya, “apa yang telah kita lakukan selama ini, yang telah dilakukan Dewan Keamanan PBB, yang telah dilakukan masyarakat internasional, adalah memulihkan demokrasi dan suara rakyat Myanmar,” tegasnya.

Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi, yang mendukung gerakan massa menentang kudeta militer 1 Februari lalu, telah secara terus menerus menghadapi pelecehan sejak kudeta itu. Banyak anggotanya ditangkap, sementara kantornya digeledah dan ditutup.

Junta militer awalnya mengumumkan bahwa pihaknya akan melangsungkan pemilu dalam waktu satu tahun setelah berkuasa, tetapi kemudian mengubah posisinya dan mengatakan penundaan pemilu mungkin mencapai dua tahun.

Sebelum dimulainya reformasi demokrasi di Myanmar sepuluh tahun lalu, Myanmar dipimpin oleh militer selama 50 tahun. [em/pp]

Oleh: VOA

Rabu, 19 Mei 2021

Aktivis Myanmar: Sejak Kudeta, Lebih dari 800 Tewas oleh Pasukan Keamanan

Demonstran terlihat sebelum bentrokan dengan pasukan keamanan di Taze, Wilayah Sagaing, Myanmar 7 April 2021. (Foto: REUTERS)

BorneoTribun Internasional -- Kelompok aktivis Myanmar mengatakan lebih dari 800 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar sejak gelombang protes meletus di seluruh negara tersebut, setelah militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada Februari.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi. Pemenang Nobel Perdamaian itu beserta pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi ditahan.

Militer merespons protes para pendukung pro-demokrasi di kota-kota besar dan kecil dengan kekuatan penuh. Bentrok antara tentara dan pemberontak etnis di daerah perbatasan dan pasukan milisi yang baru dibentuk juga meningkat.

Aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan hingga Senin (17/5), sebanyak 802 orang telah tewas akibat tindakan keras junta dalam menghadapi lawan-lawannya.

Aksi unjuk rasa di Mandalay, Myanmar, 16 Mei 2021. (Foto: REUTERS)

"Ini adalah jumlah yang diverifikasi oleh AAPP, jumlah kematian sebenarnya kemungkinan besar jauh lebih tinggi," kata kelompok itu dalam penjelasannya.

Reuters tidak dapat secara independen memverifikasi korban dan juru bicara militer tidak menjawab panggilan telepon untuk meminta komentar.

Para saksi mata mengatakan ribuan penduduk di kota perbukitan di barat laut Myanmar bersembunyi di hutan, desa dan lembah pada Senin (17/5) karena melarikan diri dari serangan militer.

Mindat pada minggu lalu mengumumkan darurat militer sebelum tentara melancarkan serangannya dengan menggunakan artileri dan helikopter melawan Pasukan Pertahanan Chinland yang baru dibentuk. Milisi, yang sebagian besar bersenjatakan senapan berburu, mengatakan mereka memilih mundur untuk menyelamatkan warga sipil dari baku tembak.

Beberapa penduduk yang dihubungi oleh Reuters mengatakan persediaan makanan menipis. Diperkirakan sebanyak 5.000 hingga 8.000 orang telah meninggalkan kota. Jalan-jalan diblokir dan kehadiran pasukan di jalan-jalan menghalangi mereka untuk kembali. [ah/au]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno