Berita Borneotribun.com: Perancis Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Perancis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perancis. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 April 2022

Kampanye Pilpres Prancis Soroti Masalah Jilbab

Kampanye Pilpres Prancis Soroti Masalah Jilbab
Seorang perempuan bercadar, menutupi matanya saat dia berdiri di dekat polisi saat pemeriksaan identitas ketika dia tiba untuk berdemonstrasiuntuk memprotes video anti-Islam, di Lille 22 September , 2012. (Foto: REUTERS/Pascal Rossignol)


Borneo Tribun, Prancis -- Jilbab adalah masalah abadi di Prancis. Isu itu kini menjadi pusat perhatian dalam kampanye pemilihan presiden negara itu pada Jumat di tengah desakan kandidat sayap kanan Marine Le Pen untuk melarang penggunaan jilbab di negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa barat itu.


Dikutip VOA Indonesia, Selasa (19/4), Le Pen dan saingannya sang petahana Emmanuel Macron berjibaku dalam pertarungan yang ketat dalam putaran kedua yang berlangsung pada 24 April mendatang.


Mereka berdua dihadang oleh perempuan berjilbab yang menanyakan mengapa pilihan busana mereka harus terjebak dalam politik.


Macron tidak akan melarang pakaian keagamaan, tetapi dia telah mengawasi penutupan banyak masjid, sekolah, dan kelompok Islam, dengan bantuan dari tim khusus untuk membasmi dugaan tempat berkembang biaknya radikalisme.


Pemerintah Macron juga meloloskan undang-undang kontroversial tahun lalu untuk memerangi “separatisme,” kata yang digunakan untuk menggambarkan pencampuran politik dengan Islam, yang dianggap berbahaya bagi nilai sekularisme Prancis yang berharga.

Potret dua kandidat yang mencalonkan diri untuk putaran kedua dalam pemilihan presiden Prancis 2022, Marine Le Pen, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Foto: REUTERS/Sarah Meyssonnier)


Saat ini, beberapa Muslim merasa kampanye presiden sekali lagi menstigmatisasi kepercayaan mereka.


Di sebuah pasar petani di kota selatan Pertuis, seorang perempuan berjilbab biru-putih mendekati Le Pen saat kandidat itu melewati penjual ikan dan pedagang untuk menyambut para pendukung.


“Apa yang dilakukan jilbab dalam politik?” perempuan itu bertanya.


Le Pen membela pendapatnya, menyebut jilbab sebagai "seragam yang dikenakan dari waktu ke waktu oleh orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam."

Para pengunjuk rasa terlihat dalam protes menentang Islamofobia di Paris, Prancis, November 2019. (Foto: VOA/Lisa Bryant)


"Itu tidak benar," balas perempuan itu. “Saya mulai memakai cadar ketika saya sudah tua. Bagi saya jilbab adalah tanda menjadi seorang nenek.” Perempuan itu mencatat bahwa ayahnya telah bertugas di militer Prancis selama 15 tahun.


Platform politik Le Pen menyerukan pelarangan jilbab di jalan-jalan Prancis, sebuah langkah besar lebih jauh dari dua undang-undang yang sudah ada, larangan jilbab tahun 2004 di ruang kelas dan larangan niqab penutup wajah di jalan-jalan pada 2010.


Penentangannya terhadap jilbab telah merangkum apa yang dikatakan para pengkritiknya sebagi tindakan berbahaya bagi persatuan Prancis, dengan mengasingkan jutaan Muslim Prancis.


Le Pen juga akan memangkas imigrasi dan ingin melarang ritual penyembelihan, yang akan membatasi akses Muslim Prancis dan Yahudi terhadap kosher dan daging halal.

Para pengunjuk rasa membentangkan spanduk dan bendera Palestina dalam unjuk rasa menentang RUU "antiseparatisme" dan Islamofobia di Paris, Perancis, 21 Maret 2021. (Foto: Alain Jocard/AFP)


Macron juga mendebat seorang perempuan berjilbab pada Jumat. Dia berusaha menjauhkan diri dari Le Pen dengan mengatakan dia tidak akan mengubah hukum apa pun.


Perempuan itu, Sara El Attar, mengatakan dia merasa terhina oleh komentar Macron sebelumnya di mana dia mengatakan jilbab mengacaukan hubungan antara pria dan perempuan.


Perempuan Prancis “telah dihukum beberapa tahun terakhir ini karena syal sederhana, tanpa ada pemimpin yang berkenan mencela ketidakadilan ini,” katanya.


Dan dia mengulangi argumen yang dibuat oleh banyak perempuan bercadar di Prancis: bahwa orang salah mengira pria membuat mereka memakai jilbab, dan itu bukan pilihan pribadi.


“Bagi saya pribadi, pertanyaan tentang jilbab bukanlah obsesi,” kata Macron.


Le Pen berpendapat bahwa jilbab berfungsi sebagai "penanda" ideologi Islam, yang dilihatnya sebagai pintu gerbang ke arah ekstremisme.


Marwan Muhammad, mantan direktur kelompok yang berkampanye melawan Islamofobia – yang telah dilarang oleh pemerintah – mengatakan Macron dan Le Pen telah mengubah Islam di Prancis menjadi sepak bola elektoral, keduanya mencari dukungan di antara audiens mereka masing-masing.


Posisi Le Pen yang lebih radikal adalah “berkah bagi Macron,” katanya. [ah/rs]

Rabu, 30 Juni 2021

Kemiskinan, Tunawisma, dan Depresi Meningkat di Kalangan Muda Eropa Akibat Pandemi

Kemiskinan, Tunawisma, dan Depresi Meningkat di Kalangan Muda Eropa Akibat Pandemi
Anak-anak muda di Perancis banyak yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi (foto: ilustrasi).

BORNEOTRIBUN PERANCIS - Perekonomian dan perbatasan Eropa kembali dibuka musim panas ini berkat penurunan kasus COVID-19 dan meningkatnya angka vaksinasi. 

Akan tetapi, para pakar memperingatkan bahwa ‘bekas luka’ pandemi bisa bertahan lama dan mendalam – terutama bagi generasi muda yang sangat berharga bagi benua Eropa.

Keadaan semakin membaik bagi muda-mudi di Paris. Beberapa minggu terakhir sebelum liburan musim panas dimulai, bar-bar dan restoran kembali dibuka, begitu juga sekolah dan universitas.

Di salah satu aula bersama mahasiswa Universitas Sorbonne lainnya, Kataryzna Mac tengah belajar untuk menghadapi ujian akhir. Ia bersyukur masa karantina berbulan-bulan akibat COVID-19 telah berakhir.

Dengan karantina wilayah yang terus bergulir di Perancis, kata Mac, sendirian di depan komputer seharian rasanya sulit dan membuat stres. 

Seperti mahasiswa lain di Perancis, ia menjalani sebagian besar tahun ajaran dengan mengambil kelas-kelas daring dari rumah.

Para pakar menunjukkan bagaimana krisis telah dan terus melanda generasi muda Eropa dalam berbagai aspek, sehingga menyebabkan kesulitan ekonomi, sosial dan mental. 

Banyak anak muda lain, seperti Mac, yang sudah hidup dalam kesulitan.

Tutupnya berbagai bisnis, terutama di sektor perhotelan dan restoran, menghilangkan lapangan kerja yang diandalkan banyak orang. 

Statistik Uni Eropa memperkirakan lebih dari 17 persen warga berusia di bawah 25 tahun kehilangan pekerjaan– lebih dari dua kali lipat rata-rata di kawasan tersebut. 

Tingkat kemiskinan dan tunawisma di kalangan muda semakin meningkat, demikian pula tingkat depresi.

Sarah Coupechoux adalah kepala studi Eropa pada lembaga nirlaba Abbe Pierre Foundation di Perancis. 

Ia mengatakan, saat ini terdapat sekelompok warga Eropa, termasuk anak-anak muda, yang sulit sekali bertahan hidup. Akibat pandemi dan hilangnya pekerjaan, banyak anak muda yang kelaparan dan mencari makan. 

Laporan terbaru lembaga itu juga menunjukkan semakin sulitnya mereka mencari tempat tinggal.

Seperti warga muda Eropa lainnya, Mac juga terlalu miskin untuk meninggalkan rumah orang tuanya. 

Tapi belum lama ini ia menemukan apartemen subsidi di gedung yang menampung para mahasiswa dan karyawan di tepi kota Paris.

Unit apartemennya hanya cukup diisi tempat tidur, meja belajar dan dapur kecil. Piring-piring kotor menumpuk, sementara isi kulkasnya hampir kosong.

Ia menerima bantuan bagi mahasiswa dan sedikit tunjangan pemerintah. Namun itu saja tidak cukup untuk bertahan hidup, padahal orang tuanya tidak selalu punya cukup uang untuk membantunya.

Hari demi hari yang dijalani dengan belajar sendirian juga menggerogoti kondisi kejiwaannya.

Bahkan sejak sebelum COVID-19 merebak, ia mengaku punya masalah dengan stres dan pikiran untuk bunuh diri. 

Semua itu semakin parah dengan adanya pandemi, terutama karena ia tidak bisa berkuliah secara normal di kelas.

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Pandemi telah menambah kesulitan bagi kaum muda lainnya, terutama – berdasarkan penelitian – mereka yang berasal dari lingkungan yang kurang beruntung.

Di Bobigny, pinggiran kota Paris yang ditinggali warga kelas pekerja, aktivis muda Stanley Camille mengatakan mahasiswa kesulitan mengakses internet, padahal mereka membutuhkannya untuk mengikuti kelas daring selama lockdown. 

Kotanya ditinggali warga tidak mampu. Dalam satu rumah tangga, satu komputer seringkali digunakan oleh empat hingga lima anak.

Tahun lalu, Perancis meluncurkan program bernilai miliaran dolar untuk membantu generasi muda mendapatkan pekerjaan, pelatihan dan pendidikan yang dibutuhkan. 

Kantin sekolah pun menjual menu makan siang seharga satu dolar saja. Para pemimpin Eropa juga bertekad akan memerangi kemiskinan. 

Namun para pakar seperti Coupechoux menilai masih banyak yang perlu dilakukan.

Coupechoux mengatakan, pada tingkat nasional maupun lokal di Eropa, institusi-institusi harus diingatkan akan pentingnya mendukung generasi muda.

Mac setuju. Kini ia mendapatkan bantuan psikologis – meski, katanya, layanan dari pemerintah daerah kekurangan SDM, padahal jumlah permintaan tinggi. 

Ia dan para tetangganya membentuk grup solidaritas (support group) sendiri dan berbagi sembako, seperti susu, untuk bertahan hidup. Berjalan-jalan di taman pun dirasa bisa membantu.

Mac juga direkrut untuk melakukan kerja sosial selama musim panas. Ia berharap hidupnya bisa segera kembali normal. 

Namun dengan ancaman perebakan virus corona varian baru, tidak ada hal yang pasti. [rd/jm]

Oleh: VOA

Sabtu, 19 Juni 2021

Di Prancis, Komunitas Muslim Paling Terdampak COVID-19

Mamadou Diagouraga berdiri di dekat makam ayahnya, Boubou Diagouraga (71 tahun), yang meninggal akibat COVID-19 di pemakaman Muslim di Valenton, dekat Paris, Prancis (foto: dok).

BORNEOTRIBUN.COM - Sebuah studi menunjukkan, komunitas Muslim merupakan kelompok yang paling parah terdampak COVID-19 di Prancis. Mengapa? 

Setiap pekan, Mamadou Diagouraga datang ke sebuah pekuburan Muslim di dekat Paris untuk berdoa di makam ayahnya, salah satu dari banyak Muslim Prancis yang meninggal karena COVID-19.

"Ayah saya adalah yang pertama dimakamkan di barisan makam ini. Dulunya kosong, namun dalam setahun pekuburan itu penuh. Ini sulit dipercaya," ujarnya.

Diagouraga membandingkan situasi pekuburan Muslim itu pada awal pandemi dengan situasi pada saat ini.

Upacara pemakaman seorang warga Muslim yang meninggal karena COVID-19 di La Courneuve, dekat Paris, Prancis, 17 Mei 2021 (foto: dok).

Apa yang diungkapkan Diagouraga boleh jadi memang tidak mencerminkan seberapa parah komunitas Muslim Perancis terdampak pandemi. Undang-undang Prancis memang melarang pengumpulan data berdasarkan afiliasi etnis atau agama.

Tetapi bukti yang dikumpulkan oleh Reuters -- termasuk data statistik yang secara tidak langsung merekam dampak dan kesaksian dari para pemimpin masyarakat -- menunjukkan tingkat kematian COVID di kalangan Muslim Prancis jauh lebih tinggi daripada di populasi keseluruhan.

Sebagai informasi saja, Prancis diperkirakan memiliki populasi Muslim terbesar di Uni Eropa.

Menurut sebuah penelitian berdasarkan data resmi, kematian pada tahun 2020 di kalangan penduduk Prancis yang lahir di negara-negara Afrika Utara yang mayoritas penduduknya Muslim dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di kalangan mereka yang lahir di Prancis.

Alasannya, menurut para tokoh masyarakat dan peneliti, komunitas Muslim di negara itu cenderung memiliki status sosial ekonomi di bawah rata-rata.

Warga antre untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19 di kota Marseille, Prancis selatan (foto: dok).

M'Hammed Henniche, ketua Asosiasi Muslim Seine-Saint-Denis, sebuah wilayah dekat Paris dengan populasi imigran yang besar, mengatakan:, “Bukan karena mereka Muslim, itu karena mereka termasuk dalam kelas sosial yang paling tidak istimewa. Kelas sosial mereka menempatkan mereka di garis depan pandemi ini. Banyak warga kita yang menjadi pemulung, atau pembersih atau petugas kebersihan, kasir, mereka tidak bisa bekerja dari rumah. Orang-orang ini harus pergi keluar, menggunakan transportasi umum, mereka harus berhubungan dengan orang lain. Pekerjaan itu memaksa mereka berhubungan dengan orang-orang dan mereka telah membayar harga yang mahal. "

Sementara data resmi tentang dampak COVID-19 terhadap komunitas Muslim tidak tersedia, pekuburan-pekuburan di Prancis secara tidak langsung menyiratkan peningkatan kematian di kalangan umat Islam secara signifikan berdasarkan ciri khas makam mereka. Sebagaimana diketahui, orang-orang Muslim biasanya ditempatkan di bagian pemakaman yang dirancang khusus, di mana kuburan disejajarkan sehingga menghadap ke Mekah.

Pekuburan Valenton tempat ayah Diagouraga, Boubou, dimakamkan, berada di wilayah Val-de-Marne, di luar Paris. Menurut catatan Reuters yang dikumpulkan dari semua 14 kuburan di Val-de-Marne, pada 2020, ada 1.411 makam Muslim, naik dari 626 pada tahun sebelumnya, atau sebelum pandemi. Angka itu mewakili peningkatan 125% -- jauh di atas peningkatan penguburan semua agama lain yang hanya sekitar 34%.

Samad Akrach, ketua Lembaga Amab Tahara, yang mengurus penguburan Muslim merasakan peningkatan itu. “Komunitas Muslim sangat terpengaruh selama pandemi ini. Bulan lalu saja, kami mengurus lebih dari 200 kematian. Ini dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.

Tempat-tempat pemakaman Muslim di Prancis mengalami lonjakan jumlah kematian selama pandemi COVID-19 (foto: dok).

Michel Guillot, direktur penelitian di Institut Studi Demografi Prancis, sebuah lembaga riset yang didanai pemerintah, membenarkan analisa Reuters.

"Di Prancis kami jelas tidak memiliki data statistik kematian berdasarkan agama, tetapi kami secara tidak langsung dapat mengatakan bahwa komunitas Muslim paling terpengaruh. Berdasarkan penelitian kami, banyak korban meninggal akibat COVID berasal dari Afrika Utara dan negara-negara Afrika Sub-Sahara, dan sebagian besar negara-negara Afrika Barat seperti Mali dan Senegal, yang kami tahu sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Jadi secara tidak langsung kami dapat menyimpulkan bahwa, pada dasarnya, populasi Muslim di Prancis, para imigran Muslim, jauh lebih terpukul oleh epidemi COVID," jelasnya.

Yang tak kalah memprihatinkan, orang-orang Muslim di Prancis saat ini juga kesulitan mencari lahan kuburan bagi sanak keluarga mereka. Sebelum pandemi, sekitar tiga perempat jumlah Muslim Prancis yang meninggal biasanya dimakamkan di negara asal mereka. Namun, karena berbagai pembatasan di perbatasan terkait pandemi, mereka tidak boleh dikirim ke luar Prancis. Keadaan ini mendongkrak drastis permintaan akan lahan pemakaman.

Asosiasi-asosiasi Muslim dan organisasi-organisasi nonpemerintah yang terlibat dalam penguburan Muslim di Prancis mengatakan, tidak ada cukup lahan untuk memenuhi permintaan selama pandemi. Keadaan ini memaksa banyak keluarga Muslim mencari tempat-tempat alternatif untuk menguburkan sanak kerabat mereka. [ab/uh]

Oleh: VOA

Rabu, 09 Juni 2021

Presiden Perancis Macron Ditampar Saat Kunjungan di Perancis Selatan

Presiden Perancis Macron Ditampar Saat Kunjungan di Perancis Selatan
Seorang warga menampar Presiden Perancis Emmanuel Macron saat mengunjungi Tain-l'Hermitage, Perancis, Selasa, 8 Juni 2021. (Foto: BFMTV via Reuters TV)

BorneoTribun Internasional -- Presiden Perancis Emmanuel Macron, Selasa (8/6), ditampar ketika berjabat tangan lewat pagar penghalang di sebuah kota kecil di Perancis tenggara.

Video dari tempat kejadian menunjukkan Macron berjalan menuju kerumunan kecil warga yang menunggu di balik pagar penghalang. Menurut kantor berita Reuters, ketika Macron mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, seorang laki-laki di kerumunan itu meneriakkan "A Bas La Macronie" (Turunkan Macronia) dan menampar wajah Macron.

Presiden diamankan oleh petugas keamanan, dan laki-laki itu langsung ditangkap. Kantor berita Perancis AFP mengutip kantor kejaksaan setempat yang mengatakan dua laki-laki berusia 20-an diinterogasi. Belum diketahui motif tamparan itu.

Macron baru saja menyelesaikan kunjungannya ke sekolah menengah di desa Tain-l'Hermitage di wilayah Drome.

Tidak lama kemudian Macron kembali berjalan dan bertemu dengan penduduk setempat.

Setelah kejadian itu, ketika berbicara di depan Majelis Nasional di Paris, Perdana Menteri Perancis Jean Castex mengatakan kepada anggota Parlemen bahwa serangan terhadap Macron adalah serangan terhadap demokrasi.

“Demokrasi, seperti yang kita tunjukkan, adalah mengenai perdebatan, dialog, pertukaran ide, tentu saja ekspresi ketidaksepakatan. Namun, tidak boleh ada kasus kekerasan,” katanya kepada anggota parlemen.

Macron mendapat curahan dukungan dari seluruh kalangan politik Perancis. AFP melaporkan Jean-Luc Melenchon, seorang pemimpin sayap kiri di Parlemen, mengatakan ia membela presiden sebagai bentuk solidaritas, sementara politisi sayap kanan Marine Le Pen menyebut tamparan itu "tidak bisa diterima dan tindakan yang sangat tercela dalam demokrasi."

Kantor kepresidenan menggambarkan kunjungan Macron ke Perancis selatan sebagai "lawatan untuk mendengar pendapat" guna "merasakan situasi negara", sementara pandemi COVID-19 tampaknya memasuki tahap akhir. Macron bersiap untuk dipilih kembali tahun depan. [my/ka]

Oleh: VOA

Selasa, 25 Mei 2021

Konflik Timur Tengah Timbulkan Perpecahan dan Ketegangan di Eropa

Konflik Timur Tengah Timbulkan Perpecahan dan Ketegangan di Eropa
Demonstrasi pro-Palestina berlanjut di seluruh Eropa termasuk di Paris, Prancis (foto: dok).

BorneoTribun Internasional -- Demonstrasi pro-Palestina berlanjut di seluruh Eropa akhir pekan lalu meskipun ada gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas. Demonstrasi tersebut merupakan salah satu akibat dari kekerasan di Timur Tengah yang telah memecah belah negara-negara anggota Uni Eropa dan menimbulkan ketakutan akan kerusuhan di dalam negeri.

Ribuan warga, Sabtu ikut serta dalam aksi unjuk rasa di Paris dan kota-kota Prancis lainnya. Demonstrasi juga bergema di ibu kota Eropa lainnya sebagai solidaritas untuk perjuangan Palestina.

Di Place de la Republique, di ibu kota Prancis, pengunjuk rasa meneriakkan "Palestina akan menang", dan "Israel, pembunuh" yang menyuarakan kemarahan atas bentrokan baru-baru ini antara Israel dan Hamas, yang sebagian besar menewaskan warga Palestina.

Eric Conquerel, seorang anggota parlemen dari partai sayap kiri France Unbowed, yang ikut dalam demonstrasi di Paris, mengatakan ia malu pada pemerintahnya karena diduga bersikap lunak terhadap Israel. Pandangannya mencerminkan perpecahan politik yang lebih luas dengan banyak warga yang mendukung aliran kiri Prancis bersimpati kepada Palestina, sementara pendukung aliran kanan mendukung Israel.

Prancis, satu-satunya anggota tetap Uni Eropa di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, minggu lalu bekerja sama dengan Mesir dan Yordania untuk membantu mendorong gencatan senjata yang pada hari Jumat akhirnya tercapai antara Israel dan Hamas.

Namun secara keseluruhan, beberapa analis mengatakan, Uni Eropa tersisih dalam lonjakan terbaru kekerasan Timur Tengah ini, sebagian karena tanggapannya yang terpecah belah. Negara-negara seperti Jerman, Hongaria, dan Austria sangat mendukung Israel. Negara lain seperti Belgia, Luksemburg dan Swedia lebih kritis. Namun, beberapa analis mencatat kecenderungan jelas pro-Israel di seluruh Eropa dalam beberapa tahun terakhir.

Ketika diwawancarai media Prancis, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian, Minggu membantah dugaan kurangnya pengaruh Uni Eropa. Ia menyerukan kebijakan langkah-langkah kecil untuk mencegah serangan terbaru kekerasan Israel-Palestina kembali terjadi.

Dinamika internal juga membentuk respons Eropa yang terpecah. Negara-negara berpenduduk Muslim dan Yahudi yang besar takut ketegangan di Timur Tengah akan terjadi di dalam negeri. [my/lt]

Oleh: VOA

Minggu, 16 Mei 2021

Jangan Sentuh Hijab Saya! Perempuan Muslim Perancis Tolak Rencana Larangan Berhijab

Perempuan Muslim Perancis Tolak Rencana Larangan Berhijab
Perempuan Muslim yang mengenakan bendera Perancis berbaris di Paris saar protes undang-undang baru yang melarang simbol-simbol agama di sekolah-sekolah negeri Prancis, 14 Februari 2004. (Foto: Reuters)

BorneoTribun Internasional -- Amandemen RUU ‘anti-separatis’ di Perancis akan memaksa anak-anak perempuan di bawah usia 18 tahun untuk tidak mengenakan hijab di ruang publik. Merasa hak dan kebebasan dirampas, mereka menggelar unjuk rasa online dengan tagar #PasToucheAMonHijab alias #JanganSentuhHijabSaya.

Mariem Chourak, gadis Perancis berusia 16 tahun, adalah seorang muslimah taat yang mengenakan hijab sebagai bentuk ekspresi ketaatannya menjalankan agama Islam. Akan tetapi, para senator Perancis tengah mengajukan gagasan yang bisa dengan segera mencabut kebebasan Mariem untuk memakai hijab di ruang publik.

Amandemen rancangan undang-undang ‘anti-separatis’ yang dirancang untuk memperkuat nilai-nilai sekular Perancis itu menyasar anak-anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun. Hal itu memicu amarah dan unjuk rasa online dengan tagar #PasToucheAMonHijab alias #JanganSentuhHijabSaya yang kemudian viral ke seluruh dunia.

"Hal itu mengejutkan sekaligus membuat saya takut, karena itu artinya saya harus menunggu sampai berumur 18 tahun untuk memiliki akses atas kebebasan saya dalam beragama," kata Mariem.

Seorang gadis Muslim muda dengan dua bendera Prancis dan ikat kepala bertuliskan "Persaudaraan" menarik jilbabnya berbaris di antara sekitar 3.000 Sikh dari seluruh Eropa 31 Januari 2003. (Foto: Reuters)

Isu tentang agama dan pemakaian simbol keagamaan di tempat umum adalah kontroversi yang sejak lama terjadi di Perancis, sebuah negara sekuler yang menjadi rumah bagi minoritas Muslim terbesar di Eropa.

Perancis melarang pemakaian kerudung di sekolah negeri sejak 2004. Pada 2010, Perancis juga melarang pemakaian niqab alias kerudung bercadar di tempat umum seperti di jalan, taman, transportasi umum dan gedung-gedung pemerintahan.

Meski amandemen RUU anti-separatis itu ditujukan pada semua simbol agama, sebagian menilai langkah itu hanya menyasar umat Muslim. Dalam pernyataan kepada sesama anggota parlemen April lalu, Senator Christian Bilhac yakin amandemen itu akan melindungi anak-anak.

“Dalam ukuran seperti apa suatu republik sekuler bisa mentoleransi anak-anak yang tampil mengenakan simbol-simbol keagamaan di siang bolong? Orang tua tidak seharusnya memaksakan dogma pada anak-anak dan dengan demikian penting untuk adanya ruang aman bagi mereka dan memungkinkan mereka untuk beremansipasi," paparnya.

Sekelompok perempuan muda lantas meluncurkan kampanye dengan tagar #JanganSentuhHijabSaya dari rumah masing-masing. Awalnya, hanya ada segelintir perempuan yang bergabung. Dalam beberapa hari, lebih dari 200 orang terlibat mempersiapkan peluncuran kampanye itu melalui kanal WhatsApp.

Hiba Latreche, mahasiswi berusia 22 tahun, adalah salah satu perempuan muda pertama yang ikut serta.

“Alasan kami memutuskan untuk menerjemahkan (kampanye) ‘Jangan sentuh hijab saya’ ke dalam bahasa Perancisnya ‘Pas touche a mon hijab,’ karena penting agar pesan ini tersampaikan ke masyarakat, institusi dan media Perancis," katanya.

Bahkan, lanjut Hiba, jika kampanye ini terdengar hingga telinga internasional, penting agar kampanye ini disampaikan dalam tagar bahasa Perancisnya.

"Ini kenapa kami juga memberitahu masyarakat internasional: ‘Jika Anda ingin bergabung, menunjukkan solidaritas, dan meningkatkan kesadaran, lakukan dengan menggunakan tagar #PasToucheAMonHijab, karena ini masalah Perancis," tambahnya.

Hiba menjelaskan motivasinya mendukung kampanye tersebut.

“Saya, misalnya, selama 10 tahun harus melepas kerudung saya setiap hari di depan lapangan sekolah, yang secara pribadi terasa sangat sulit dijalani dan (bukan hanya) sangat memengaruhi kondisi mental saya, tapi juga pengalaman dan prestasi saya di sekolah," katanya.

Perempuan Perancis mengobrol pada 29 Juli 2011 di pasar distrik Bagatelle di Toulouse, Perancis barat daya. (Foto: AFP/Remy Gabalda)

"Tapi itu tidak berhenti sampai di situ. hal itu berlanjut saat saya kuliah, di mana ketika saya memilih jalan karir, saya terus-menerus menyensor diri saya sendiri: Apakah saya akan bisa mengenakan hijab? Apakah diperbolehkan? Bisakah saya menjadi hakim atau profesi lainnya? Hingga akhirnya itu mencapai titik di mana Islamofobia yang terinstitusi ini membentuk jalan pikiran saya," papar dia.

Upaya mereka menarik simpati dan dukungan berbagai pihak, dari influencers media sosial, anggota parlemen di Amerika Serikat, hingga Ibtihaj Muhammad, perempuan Amerika pertama yang mengenakan hijab saat bertanding di Olimpiade. Tagar itu pun telah dibagikan puluhan ribu kali di berbagai platform media sosial.

Di Perancis, tagar itu ikut didengungkan sosok-sosok terkemuka di komunitas Muslim, misalnya Myriam Sefraoui atau yang dikenal dengan nama ‘Myrabelleeee’ di media sosial, dengan jumlah followers mencapai 78.200. Unggahan foto yang memperlihatkan telapak tangannya bertuliskan #JanganSentuhHijabSaya dalam bahasa Inggris disukai 32.400 kali.

“Banyak gadis muda yang follow saya, mereka yang berusia antara 18 dan 24 tahun, begitu juga yang 13 sampai 18 tahun. Komunitas media sosial saya sebagain besar terdiri dari gadis-gadis Muslim dan umat Islam (secara umum). Penting bagi saya, terutama sejak saya mulai berhijab saat umur 17 tahun dan oleh karenanya bisa saja terkena imbas amandemen itu, untuk membagikan ini dan terutama membuat orang-orang tahu isu ini," tutur Myriam.

Presiden Perancis Emmanuel Macron berbicara dengan wartawan di Paris, 29 April 2021. (Foto: AP)

Presiden Emmanuel Macron memperingatkan bahwa Islamisme merusak persatuan Perancis.

RUU antiseparatisme yang diajukan pemerintahannya akan menindak praktik pernikahan paksa dan tes keperawanan, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan. Pada awalnya, tak ada pasal yang membahas larangan pemakaian hijab di ruang publik bagi anak-anak.

Senat yang didominasi kubu konservatif lah yang menambahkan amandemen tersebut, beserta dua pasal lain yang akan melarang para ibu mengenakan hijab saat menemani anak-anak mereka dalam perjalanan sekolah dan melarang pemakaian burkini, baju renang perempuan Muslim.

Jangan Sentuh Hijab Saya! Perempuan Muslim Perancis Tolak Rencana Larangan Berhijab
Perempuan Iran yang konservatif berdemonstrasi menentang undang-undang Prancis yang melarang pemakaian jilbab di sekolah umum, di luar Kedutaan Besar Perancis di Teheran 7 September 2004. (Foto: AFP/Henghameh Fahimi)

Komite gabungan Senat dan Majelis Nasional parlemen Perancis akan memperdebatkan amandemen itu.

Mariem berharap ia bisa mengekspresikan kebebasannya dalam beragama.

“Saya harap RUU ini tidak lolos, sehingga saya bisa terus mengenakan hijab saya di tempat umum. Saya juga berharap perdebatan seputar kami (yang mengenakan hijab) nantinya berhenti dan orang-orang juga berhenti mendikte keyakinan kami, mereka berhenti berusaha merampas hak kami dan mengatur keyakinan, pilihan dan tubuh kami," katanya. [rd/em]

Oleh: VOA

Rabu, 12 Mei 2021

Perangi Terorisme, Perancis Kerahkan Kapal Perang dan Jet Tempur ke Timur Tengah

Perangi Terorisme, Perancis Kerahkan Kapal Perang dan Jet Tempur ke Timur Tengah
Kapal induk Perancis, Charles de Gaulle, di Laut Tengah, 7 Maret 2019. (Foto: Jean-Paul Pelissier/REUTERS)

BorneoTribun Perancis -- Seorang perwira senior Angkatan Laut Perancis menyatakan telah mengerahkan kapal-kapal perang dan pesawat terbang ke Timur Tengah "untuk memperkuat tekad dan partisipasi Perancis dalam perang melawan terorisme."

Laksamana Muda Marc Aussedat, yang memimpin gugus tugas yang berpusat di sekitar kapal induk bertenaga nuklir Charles de Gaulle, menyatakan 18 pesawat tempur Rafale sedang melakukan penerbangan pengintaian di wilayah udara Suriah dan Irak "untuk memonitor" situasi kawasan, "dan jika perlu untuk bertindak, sambil sekaligus mengukur kekuatan."

Aussedat menjelaskan bahwa "kehadiran mereka di wilayah itu untuk mencegah dan mempertahankan stabilitas, kebebasan navigasi, kebebasan bertindak dan tentu saja untuk mengupayakan kepentingan Perancis termasuk juga mitra-mitra terkait. "

Mitra yang dimaksud itu mencakup kapal fregat Belgia dan Yunani, serta kapal penyerang Amerika yang sebelumnya bergabung dengan gugus tugas tersebut. Gugus tugas Perancis itu akan mengakhiri keberadaannya dengan latihan bersama di Laut Tengah dengan kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth.

Kementerian Pertahanan Siprus menyatakan rencana manuver bersama dengan gugus tugas Perancis merupakan bagian dari perjanjian kerjasama pertahanan bilateral. [mg/em]

Oleh: VOA

Kamis, 08 April 2021

Suhu Udara Turun Drastis, Petani Perancis Nyalakan Lilin untuk Selamatkan Tanaman Anggur

Suhu Udara Turun Drastis, Petani Perancis Nyalakan Lilin untuk Selamatkan Tanaman Anggur
Seorang pekerja di perkebunan anggur di Chablis, Perancis, menyalakan lilin-lilin untuk melindungi tanaman anggur dari suhu udara beku.

BORNEOTRIBUN CHABLIS, PERANCIS -- Para pembuat anggur di Perancis menyalakan lilin dan membakar jerami untuk untuk melindungi kebun anggur mereka dari suhu udara dingin membeku pada musim semi. Prakiraan cuaca meramalkan suhu udara yang lebih dingin pada minggu ini, meningkatkan kekhawatiran mereka akan kerusakan serius pada tanaman anggur dan kemungkinan hilangnya produksi.

Suhu udara anjlok hingga -5 ° C pada Kamis (7/4) malam di kawasan perkebunan anggur termasuk Chablis, di Burgundy, dan Bordeaux, yang dapat merusak tunas yang sudah tumbuh dengan baik karena cuaca cerah hari-hari sebelumnya.

Di luar Chablis, yang dikenal di seluruh dunia karena buahnya, anggur putih asam, tampak kilauan oranye dari cahaya puluhan ribu lilin yang digantungkan di atas kebun anggur pada dini hari.

Laurent Pinson, seorang pembuat anggur mengatakan dia telah meletakkan antara 300 dan 600 lilin besar - kaleng parafin yang menyala - di banyak lokasi dari 14 hektar kebun anggurnya.

"Panen kami dipertaruhkan selama beberapa malam mendatang (karena suhu udara yang beku), dan jika kami tidak panen, itu berarti tidak akan ada anggur untuk konsumen," katanya.

Meski masih terlalu dini untuk menilai kerusakan tanaman akibat suhu dingin, produsen mengatakan hal itu tidak bisa dihindari.

"Suhu udara juga akan dingin dalam semalam dari hari ini hingga besok sehingga ada banyak kekhawatiran," kata Christophe Chateau, dari grup produsen anggur Bordeaux CIVB. "Dengan dua malam (yang dingin) berturut-turut, maka ada risiko dua kali lebih besar kemungkinan kebun anggur akan rusak."

Pekerja menyemprotkan air ke tanaman anggur, agar embun beku tidak menjadi es, di Chablis, Perancis Kamis (7/4).

Para pembuat anggur juga memasang tumpukan jerami yang membara sebagai tabir asap untuk mencegah matahari pagi 'membakar' tunas beku; menyemprotkan air ke tanaman merambat dengan tujuan agar es yang terbentuk melindungi mereka dari pembekuan; dan memasang pemanas dan menara angin yang mencampurkan udara dingin di dekat tanah dengan udara hangat di atasnya.

Sebelumnya, musim dingin yang parah pada April 2017 telah merusak banyak kebun anggur, sehingga produksi tahunan anggur Perancis mengalami rekor terendah dalam sejarah. Suhu udara beku juga menyebabkan kerusakan kebun anggur pada 2016, dan juga pada 2019. [pp/ft]

Oleh: VOA

Senin, 01 Februari 2021

Para Aktivis Dukung Perempuan Perancis-Vietnam yang Ajukan Gugatan Terkait 'Agen Oranye'

Tran To Nga, mantan jurnalis berusia 78 tahun, melambai saat menyampaikan pidato dalam pertemuan untuk mendukung orang-orang yang terpapar Agen Oranye selama Perang Vietnam, di Paris, Sabtu, 30 Januari 2021. (Foto: AP)

BorneoTribun | Internasional - Para aktivis berkumpul di Paris untuk mendukung orang-orang yang pernah terpapar 'Agen Oranye' semasa Perang Vietnam. Aksi itu dilakukan setelah sebuah pengadilan Perancis memeriksa kasus seorang perempuan Perancis-Vietnam yang menuntut 14 perusahaan yang memproduksi dan menjual bahan kimia yang pernah digunakan tentara AS itu.

Sebuah aliansi beberapa LSM mengadakan aksi unjuk rasa itu Sabtu (30/1) setelah pengadilan menyidangkan gugatan hukum yang diajukan Tran To Nga, 78 tahun.

Tran, seorang mantan jurnalis berusia 78, menjelaskan dalam bukunya bagaimana dia terpapar 'Agen Oranye' pada 1966, ketika dia menjadi anggota Komunis Vietnam, atau Viet Cong, yang berperang melawan Vietnam Selatan dan AS.

"Karena peristiwa itu, saya kehilangan seorang anak karena gangguan jantung. Dua puteri saya yang lain terlahir dalam keadaan cacat. Dan cucu-cucu saya juga,” katanya kepada Associated Press.

Pada 2014 di Perancis, dia menuntut beberapa perusahaan yang memproduksi dan menjual 'Agen Oranye', termasuk perusahaan multinasional AS Dow Chemical dan Monsanto, yang kini dimiliki raksasa Jerman Bayer.

Tran menuntut ganti rugi atas berbagai masalah kesehatannya dan anak-anaknya dalam persidangan di Perancis. Apabila tuntutannya dikabulkan, maka itu akan menjadi yang pertama kalinya kompensasi diberikan kepada seorang warga sipil Vietnam.

Selama ini hanya veteran militer dari AS dan negara lain yang terlibat dalam perang, yang memenangkan kompensasi.

Pasukan AS menggunakan 'Agen Oranye' untuk menggugurkan dedaunan di hutan-hutan Vietnam dan untuk menghancurkan perkebunan Viet Cong semasa perang. [vm/ah]

Oleh: VOA Indonesia

Jumat, 18 Desember 2020

Presiden Perancis Positif Terjangkit Virus Corona

Presiden Perancis Positif Terjangkit Virus Corona
Presiden Perancis Emmanuel Macron saat bertemu dengan PM Portugis Antonio Costa di Paris, 16 Desember 2020.

Borneo Tribun - Pemerintah Perancis menyatakan Presiden Emmanuel Macron positif terjangkit virus corona. “Presiden dinyatakan positif terjangkit COVID-19 hari ini,” sebut pernyataan dari kantor presiden hari Kamis. Disebutkan bahwa Macron menjalani tes setelah menunjukkan “gejala-gejala awal terjangkit.”

Pemerintah menyatakan Macron akan melakukan isolasi mandiri selama tujuh hari, sesuai dengan peraturan nasional, dan akan terus bekerja serta melakukan aktivitasnya dari jarak jauh.

Presiden Perancis itu menambah panjang daftar kepala negara dan pemerintahan di seluruh dunia yang terjangkit COVID-19, yang mencakup juga PM Inggris Boris Johnson dan Presiden AS Donald Trump.

Sejumlah pemimpin Uni Eropa lainnya kini berupaya melakukan tes atau mencari tahu apakah mereka perlu mengisolasi diri. Macron melakukan kontak dengan sejumlah pemimpin Eropa dalam beberapa hari terakhir. Pada hari Rabu (16/12), pemimpin Perancis, usia 42 tahun, itu bertemu Perdana Menteri Portugal, António Costa di Paris.

Minggu ini Macron makan siang bersama Charles Michel, pemimpin Dewan Eropa, dan Ursula von der Leyen, presiden Komisi Eropa. Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez yang juga makan siang bersama Macron, mengemukakan dirinya menangguhkan semua aktivitas publik sebagai tindak pencegahan. Ia akan menjalani tes dan berencana mengisolasi diri hingga 24 Desember.

Perdana Menteri Perancis Jean Castex, Kamis (17/12) mengatakan, ia akan melakukan isolasi mandiri. Sebagian besar pemimpin partai politik di parlemen juga telah melakukan kontak dengan Macron. Mereka berencana menghentikan semua aktivitas publik dan membatalkan semua rapat.

Di Inggris, sementara itu, jutaan warga berada di bawah aturan pembatasan virus corona terberat menjelang Natal karena jumlah infeksi terus melonjak di wilayah tenggara dan selatan Inggris. "Ini saatnya kita bertindak dengan hati-hati," kata Matt Hancock, Menteri Kesehatan Inggris. Ia menyampaikan, infeksi di bagian tenggara naik 46 persen dan angka rawat inap rumah sakit naik sepertiga.

Menteri dalam negeri negara kerajaan itu, Priti Patel menjelaskan masyarakat sebaiknya membatalkan rencana perjalanan terkait Natal tahun ini, jika mengharuskan mereka bepergian antar sejumlah daerah dengan angka infeksi COVID-19 yang tinggi maupun rendah.

Permohonan itu menepiskan pedoman resmi yang ditetapkan Perdana Menteri Boris Johnson pada pertengahan minggu agar warga Inggris menikmati perayaan libur akhir tahun dalam lingkup terbatas. Johnson menambahkan, “Natal yang lebih kecil akan menjadi Natal yang lebih aman.”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kamis (17/12) menyatakan China akan menyambut baik tim internasional yang terdiri dari para pakar pada awal Januari mendatang, sebagai bagian dari penyelidikan mengenai asal usul virus corona yang telah menyebabkan pandemi global. Sejauh ini, virus tersebut telah menewaskan lebih dari 1,6 juta orang dari 74,2 juta orang yang terjangkit.

Dr Babatunde Olowokure, direktur darurat regional WHO untuk wilayah Pasifik Barat mengatakan, “WHO terus menghubungi China dan membahas hal ini, tim internasional dan tempat-tempat yang mereka kunjungi.”

Tim beranggotakan 10 orang itu akan mempelajari data medis dan menguji sampel untuk menentukan bagaimana virus penyebab COVID-19 itu berpindah dari hewan ke manusia, dan di mana asal mulanya. Sebagian besar peneliti meyakini virus yang pertama kali dideteksi pada akhir 2019 di Wuhan, China Tengah itu berasal dari kelelawar. Presiden Trump menuduh pemerintah China menutup-nutupi informasi mengenai pandemi ini.

Sementara itu, proses persetujuan resmi bagi vaksin COVID-19 kedua di AS dimulai pada hari Kamis (17/12).

Komite penasihat vaksin di Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) akan meninjau data mengenai vaksin yang dikembangkan bersama oleh perusahaan farmasi berbasis di Massachusetts, Moderna, dan Institut Kesehatan Nasional (NIH). Para regulator FDA awal pekan ini mengukuhkan klaim Moderna mengenai keamanan dan efektivitas vaksinnya.

Jika panel tersebut menyetujui vaksin Moderna, FDA dapat memberi izin bagi penggunaan darurat vaksin itu sedini Jumat, yang berarti hampir enam juta dosis vaksin itu dapat didistribusikan ke berbagai penjuru AS mulai pekan depan. Vaksin Moderna-NIH itu akan merupakan tambahan bagi 2,9 juta dosis vaksin buatan Pfizer-BioNTech yang didistribusikan pekan ini, yang mengawali upaya imunisasi di AS. Vaksin itu mulai diberikan kepada para petugas layanan kesehatan dan penghuni panti jompo.

Gedung Putih, Rabu (16/12) mengumumkan bahwa Wakil Presiden Mike Pence akan menjalani vaksinasi pada hari Jumat (18/12). Presiden terpilih Joe Biden akan divaksinasi sekitar pekan depan, sebut tim transisinya. Biden, yang berusia 78 tahun, berisiko tinggi tertular virus itu mengingat usianya.

FDA, Rabu (16/12) menyatakan bahwa apoteker dapat mengambil dosis ekstra dari vaksin Pfizer jika ada larutan yang tersisa dalam ampul vaksin. Ampul itu seharusnya memuat vaksin yang cukup untuk lima dosis, tetapi para apoteker mendapati cukup banyak larutan untuk dosis keenam atau bahkan ketujuh. Seorang juru bicara mengatakan dalam suatu pernyataan, FDA bekerja sama dengan Pfizer untuk menentukan “jalan terbaik ke depannya.”

Sedikitnya seorang petugas layanan kesehatan di Alaska mengalami reaksi alergi hanya beberapa menit setelah diimunisasi vaksin Pfizer pada hari Selasa. Ini adalah kasus pertama mengenai reaksi semacam itu di AS.

The New York Times melaporkan seorang petugas layanan kesehatan kedua di rumah sakit yang sama di Alaska, juga mengalami reaksi alergi dalam beberapa menit setelah diimunisasi. Dua petugas layanan kesehatan di Inggris juga mengalami hal serupa setelah menerima vaksin Pfizer-BioNTech.

Vaksin biasanya menghasilkan berbagai efek samping, seperti demam, kelelahan, sakit kepala atau nyeri di bagian yang disuntik, tetapi para pejabat menyatakan efek tersebut merupakan hal biasa dan hilang dalam satu atau dua hari.

Laporan mengenai vaksin Moderna-NIH yang diajukan ke FDA mengungkapkan bahwa empat sukarelawan dalam uji klinis tahap akhirnya mengalami Bell’s palsy, suatu kondisi yang antara lain menyebabkan kelumpuhan sementara atau kelemahan pada otot-otot wajah. Tiga partisipan menerima vaksin dua dosis itu sedangkan seorang lagi mendapat plasebo. [uh/ab, mg/ka​]

Oleh: VOA Indonesia

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno