Gennaro Gattuso, Si Badak yang kini menjaga marwah Gli Azzurri | Borneotribun

Senin, 16 Juni 2025

Gennaro Gattuso, Si Badak yang kini menjaga marwah Gli Azzurri

Gennaro Gattuso, Si Badak yang kini menjaga marwah Gli Azzurri
Gennaro Gattuso, Si Badak yang kini menjaga marwah Gli Azzurri. (ANTARA)
Jakarta - Siapa yang bisa melupakan sosok Gennaro Gattuso? Gelandang bertubuh kekar dengan rambut gondrong, tatapan membara, dan kaki yang tak kenal lelah. Di lapangan, ia bukan hanya pemain, ia merupakan ledakan energi, badai kecil yang siap menyapu siapa saja yang menghalangi jalannya.

Julukan “Rhino” atau “Si Badak” bukan sekadar bualan. Ia memang seperti hewan liar itu, tangguh, gigih, dan tidak pernah setengah-setengah.

Kini, hampir dua dekade sejak ia mengangkat trofi Piala Dunia 2006 bersama Italia, Gattuso kembali ke panggung utama yang selalu memompa darahnya: timnas Italia. Namun kali ini, bukan sebagai jangkar di lini tengah, melainkan sebagai pelatih kepala yang memikul harapan satu bangsa.

Dari gelandang tangguh ke arsitek strategi

Gattuso bukan nama biasa. Ia adalah simbol determinasi, loyalitas, dan semangat tanpa kompromi. Bersama AC Milan, ia meraih dua trofi Liga Champions, dua gelar Liga Italia, dan menjadi bagian dari era emas Rossoneri yang ditakuti di Eropa.

Di tim nasional, ia merupakan bagian tak tergantikan dari skuad yang menaklukkan dunia pada Piala Dunia 2006, berduet dengan Andrea Pirlo, seperti yin dan yang: satu penuh seni, satu penuh bara.

Namun begitu gantung sepatu pada 2013, Gattuso tidak langsung menapaki jalan mulus sebagai pelatih. Ia memulai dari titik paling dasar, melatih klub Swiss Sion, lalu tim Yunani OFI Crete. Lalu ke Pisa, yang ia antar promosi ke Serie B dengan bujet minim dan segala keterbatasan fasilitas.

Baru saat kembali ke Milan, sebagai pelatih, namanya mulai kembali mengisi halaman depan. Meski tidak membawa trofi, ia dihormati karena menyelamatkan stabilitas ruang ganti.

Puncaknya datang saat menukangi Napoli dan membawa klub Italia Selatan itu menjuarai Piala Italia pada 2020, menunjukkan bahwa Gattuso tidak hanya bisa berteriak di pinggir lapangan, tapi juga membentuk tim yang kompak dan bermain efektif.

Hal yang menarik, gaya main yang diusung Gattuso ternyata berkembang jauh dari karakternya dulu sebagai pemain. Ia banyak mengadopsi prinsip sepak bola modern: penguasaan bola, tekanan tinggi, membangun serangan dari bawah, dan menekankan kerja kolektif daripada duel satu lawan satu.

Ia belajar dari banyak pelatih, terutama pelatih-pelatih yang pernah menanganinya, dan mengolahnya dalam versinya sendiri, versi yang tetap menyala, namun lebih matang.

Membangkitkan nyawa Azzurri yang pudar

Italia sedang terluka. Azzurri hanya menempati peringkat ketiga di Grup I kualifikasi. Keterpurukan itu datang setelah kegagalan serupa di Piala Dunia 2018, menciptakan luka mendalam bagi tifosi Azzurri.

Trofi Piala Eropa 2020 yang mereka menangi di Wembley terasa makin jauh, seperti oase yang sempat memunculkan harapan, tapi tak benar-benar menyembuhkan.

Hal yang kemudian membuat FIGC (Federasi Sepak Bola Italia) memutuskan untuk mengakhiri masa kerja pendahulunya Luciano Spalletti.

Di tengah kekosongan arah dan identitas itu, FIGC menunjuk Gattuso sebagai nahkoda baru pada Minggu (15/6). Tidak diumumkan berapa lama kontraknya, namun satu hal jelas: ia diberi mandat untuk membawa Italia lolos ke Piala Dunia dan memulihkan martabat sepak bola negeri para maestro.

Tugas itu bukan tugas ringan. Namun siapa yang lebih cocok memanggil kembali nyawa Italia yang pernah menyala karena hasrat dan kebanggaan, kalau bukan Gattuso?

Warisan, tantangan, dan harapan

Gattuso mewarisi skuad yang muda namun menjanjikan. Ada Gianluca Scamacca yang mulai tajam di lini depan. Ada Nicolo Fagioli dan Sandro Tonali, gelandang berbakat yang masih mencari konsistensi.

Ada juga bek-bek muda seperti Giorgio Scalvini dan Raoul Bellanova, serta kiper Gianluigi Donnarumma yang kini jadi tulang punggung tim.

Tapi warisan ini juga membawa tekanan besar. Italia bukan tim yang puas hanya lolos. Mereka adalah bangsa sepak bola yang hidup dari sejarah dan bayang-bayang kejayaan. Setiap pelatih Azzurri memikul beban para pendahulunya, dari Enzo Bearzot hingga Marcelo Lippi.

Gattuso tahu itu. Ia tahu bahwa sebagai pelatih, ia akan dinilai bukan hanya dari hasil, tapi dari bagaimana ia menyalakan kembali kebanggaan berseragam biru. Ia bukan tipe pelatih yang diam duduk di area teknis. Ia akan berteriak, memukul dada, memeluk pemain, menantang lawan, dan tetap berdiri saat badai datang. Seperti dulu saat ia meluncur untuk merebut bola, kini ia meluncur untuk merebut kembali hati Italia.

Dari emosi ke taktik

Di dunia modern yang dipenuhi data, algoritma, dan statistik, kehadiran Gattuso mungkin sedikit terasa seperti anomali. Tapi justru di situlah kekuatannya.

Ia adalah pelatih yang membawa taktik dengan nyawa, strategi dengan rasa, dan skema permainan dengan darah yang masih mendidih. Untuknya, sepak bola bukan hanya sistem, tapi pertempuran emosi dan harga diri.

Dan mungkin, itulah yang dibutuhkan Italia saat ini. Bukan sekadar pembaruan taktik, tapi kebangkitan semangat. Bukan sekadar lolos ke turnamen, tapi kembali merasa layak untuk memenangkannya.

Gattuso kini bukan lagi badak yang menghantam di lini tengah. Ia adalah arsitek dari puing-puing. Ia bukan lagi bara, tapi api yang menjaga nyala. Bagi Azzurri, harapan baru telah datang, dan ia datang dengan raungan yang sudah lama tak terdengar di lapangan latihan timnas di Coverciano.

Karena bagi Gattuso, sepak bola selalu lebih dari sekadar permainan. Itu adalah hidup. Itu adalah identitas. Dan kini, itu adalah misinya.

Oleh A Rauf Andar Adipati/ANTARA

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.