Satya Bumi dorong Indonesia bersiap hadapi regulasi Uni Eropa | Borneotribun

Rabu, 21 Mei 2025

Satya Bumi dorong Indonesia bersiap hadapi regulasi Uni Eropa

Satya Bumi dorong Indonesia bersiap hadapi regulasi Uni Eropa
Satya Bumi dorong Indonesia bersiap hadapi regulasi Uni Eropa. (ANTARA)
Pontianak - Organisasi lingkungan Satya Bumi dan Link-Ar Borneo mendorong kolaborasi multipihak untuk menghadapi implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang akan diberlakukan pada Desember 2025.

"Regulasi tersebut berpotensi memberikan tantangan besar bagi negara produsen seperti Indonesia, khususnya bagi petani kecil dan pelaku usaha perkebunan," kata Rizki yang mewakili Satya Bumi dalam diskusi yang digelar di Pontianak, Rabu.

Dia menjelaskan bahwa Uni Eropa telah memperkenalkan kebijakan baru untuk menekan laju deforestasi global yang berdampak signifikan terhadap perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.

"Antara tahun 1990 hingga 2020, dunia telah kehilangan sekitar 420 juta hektare hutan. Sekitar 90 persen penyebab deforestasi berasal dari perluasan lahan pertanian untuk komoditas seperti kelapa sawit, kayu, kedelai, daging sapi, kakao, kopi, dan karet," tuturnya.

Sebagai konsumen utama produk-produk tersebut, Uni Eropa merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa komoditas yang masuk ke pasar mereka bebas dari jejak deforestasi.

EUDR mulai diberlakukan pada Juni 2023 untuk perusahaan besar di dalam Uni Eropa, dan dijadwalkan berlaku bagi eksportir dari negara ketiga, termasuk Indonesia, pada Desember 2024.

Namun, Komisi Eropa telah mengusulkan penundaan hingga Desember 2025 untuk perusahaan besar, dan hingga Juni 2026 untuk petani kecil.

Regulasi ini mewajibkan setiap produk yang masuk ke pasar Eropa harus bebas dari deforestasi sejak 31 Desember 2020 (cut-off date), diproduksi sesuai hukum negara asal dan dilengkapi dokumen due diligence yang mencakup ketertelusuran produk hingga ke lokasi lahan melalui koordinat geolokasi.

"Perusahaan yang mengekspor ke Uni Eropa wajib mengunggah pernyataan uji tuntas ke otoritas nasional melalui sistem informasi khusus Uni Eropa. Ini bukan sekadar administrasi, tetapi bentuk tanggung jawab penuh atas kepatuhan terhadap regulasi EUDR," jelas Rizki.

EUDR juga memperkenalkan sistem pemeringkatan risiko (benchmarking) terhadap negara-negara produsen, berdasarkan tingkat deforestasi, perluasan perkebunan, hingga kepatuhan hukum dan keterbukaan informasi.

Indonesia menjadi sorotan karena posisinya sebagai produsen utama kelapa sawit dan kayu, dua komoditas yang sangat terkait dengan deforestasi.

Data menunjukkan bahwa dalam 75 tahun terakhir, sekitar 70 persen hutan di Sumatera dan 50 persen hutan Kalimantan telah hilang, sementara hutan hujan tropis di Papua juga mengalami kerusakan parah.

Dalam tiga tahun terakhir, tren deforestasi di Indonesia kembali meningkat. "Jika tidak dilakukan upaya korektif dan kolaboratif, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara berisiko tinggi dalam sistem pemeringkatan EUDR," kata Rizki.

Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri menyoroti tantangan yang dihadapi petani kecil atau smallholders dalam memenuhi standar EUDR, terutama terkait legalitas lahan dan penggunaan teknologi geospasial.

"Mayoritas dari 2,6 juta petani kecil di Indonesia belum memiliki dokumen kepemilikan tanah yang sah, apalagi kemampuan untuk menyediakan data geolokasi kebun. Ini bisa membuat mereka terpinggirkan dari rantai pasok ekspor," tegasnya.

Menurutnya, inklusivitas menjadi isu utama dalam transisi menuju sistem yang lebih berkelanjutan, sehingga perlu ada dukungan teknis dan kebijakan afirmatif bagi petani kecil.

Satya Bumi dan Link-Ar Borneo berkomitmen memfasilitasi diskusi lintas sektor guna memperkuat kesiapan Indonesia menghadapi EUDR.

Diskusi yang digelar hari ini melibatkan pemerintah daerah, pelaku usaha, petani swadaya, dan organisasi masyarakat sipil.

Adapun tujuan kegiatan diskusi ini di harapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang isi dan implikasi EUDR, mengidentifikasi tantangan yang dihadapi petani swadaya, mendorong dialog multipihak dalam menyusun strategi inklusif dan merumuskan rekomendasi kebijakan dan kebutuhan dukungan teknis bagi petani kecil.

Dari diskusi ini diharapkan muncul komitmen awal dan rencana tindak lanjut untuk mendampingi petani kecil menghadapi transisi regulasi ekspor berbasis keberlanjutan tersebut.

"Langkah ke depan sangat bergantung pada keterlibatan semua pihak, baik pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat sipil, untuk memastikan keberlanjutan tanpa mengorbankan petani kecil," kata Syukr.

Pewarta : Rendra Oxtora/ANTARA

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar