Jakarta - Dulu, saat meliput acara ekonomi, seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), atau pengenalan direksi baru, teman-teman pewarta foto sering bertanya, "Siapa sih pencetus ide foto bincang-bincang?"
Mengapa teman-teman pewarta foto bertanya?
Karena setelah liputan RUPS atau pengenalan direksi baru, maka hasil fotonya, selalu pimpinan RUPS atau direksi baru berfoto bersama sambil berbincang-bincang dengan tangan yang tertangkap kamera tengah aktif bergerak.
Keesokan hari, foto-foto tersebut terpampang pada hampir semua koran. Ada yang dimuat di halaman depan sebagai foto utama (head line), atau di halaman dalam rubrik ekonomi bisnis. Foto-foto tersebut kemudian dikenal dengan istilah "foto bincang-bincang."
Mengapa teman-teman pewarta foto membuat “foto bincang-bincang”, dan mengapa banyak koran yang memuat foto semacam itu?
Jawabannya, karena foto bincang-bincang dianggap yang paling memenuhi syarat untuk dibuat maupun dimuat di koran-koran, dengan subyek foto lebih dari satu sehingga komposisi foto tampak penuh dan seimbang. Pembuatan fotonya pun cukup mudah, yakni satu kamera, plus lensa wide (lebar), fixed maupun zoom, ditambah lampu flash kalau kurang cahaya. Nara sumber foto bincang-bincang juga lengkap, sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Foto Berita Tunggal (Single News Photo), atau foto ilustrasi berita atau tulisan.
Foto bincang-bincang biasanya dibuat dengan cara pewarta foto mendekati nara sumber. Lalu nara sumber diarahkan untuk foto bersama.
Biasanya, saat acara RUPS atau pengenalan direksi baru, di antara para pewarta foto akan saling tunjuk untuk menentukan siapa yang akan mengarahkan nara sumber. Pewarta foto yang ditunjuk kemudian akan maju mendekati si nara sumber dan berkata, "Mohon izin bapak-bapak dan ibu-ibu..foto bersama dulu. "
Maka mulailah "seting foto" (photo setting), istilah yang digunakan pewarta foto untuk kegiatan mengarahkan nara sumber dalam pembuatan foto bincang-bincang, sedikit mirip dengan aksi pengarah gaya foto model. Setelah pewarta foto yang ditunjuk mengarahkan nara sumber, lalu pewarta foto yang lain pun ikut maju untuk memotret bersama-sama. Maka jadilah foto bincang-bincang dari acara RUPS atau pengenalan direksi baru.
Foto bincang-bincang sesungguhnya tidak hanya ada pada liputan ekonomi saja, melainkan juga pada liputan sosial, politik, budaya, bahkan olahraga. Kembali pada pertanyaan semula, 'Siapakah pencetus ide foto bincang-bincang?'
Jawabannya adalah wartawan foto Istana.
Mengapa? Karena wartawan foto yang bertugas di Istana lah yang mulai memotret acara seremonial di Istana, terutama pada zaman Presiden Soeharto. Acara-acara seremonial itu termasuk acara ekonomi, sosial, politik, budaya, dan acara lainnya yang diselenggarakan di Istana Negara.
Para undangan yang hadir pada acara di Istana umumnya ingin sekali diabadikan bersama Presiden Soeharto, baik untuk dokumentasi pribadi, bahkan untuk dimuat di media massa. Permintaan berfoto bersama Presiden itu sangatlah banyak. Saking banyaknya, sehingga protokol Istana maupun fotografer resmi Istana, seperti almarhum Saidi dan Bek Tohir menjadwalkan sesi foto khusus untuk para undangan pada setiap acara Presiden Soeharto.
Pada sesi foto itu, para undangan bisa bersalaman dan berfoto bersama Presiden Soeharto. Bahkan juga bisa berbincang-bincang. Dalam sesi ini tentu saja perlu ada "pengarah" agar hasil foto sesuai seperti yang diinginkan. Untuk itu, para undangan diarahkan untuk berdiri berdekatan dengan Presiden. Lalu Presiden akan mengajak berbincang-bincang sambil tangan digerak-gerakkan.
Maka sejak saat itulah "foto bincang-bincang" selalu ada pada setiap acara Presiden Soeharto, di Istana maupun di luar Istana.
Para undangan yang diabadikan bersama Presiden Soeharto, setelah itu akan membeli hasil foto tersebut pada para fotografer resmi Istana, atau para wartawan foto yang meliput. Mereka juga memberi sejumlah imbalan kepada wartawan foto yang memuat foto dirinya di media massa pada keesokan harinya.
Sejak saat itu, para wartawan foto Istana seperti mempunyai pelanggan dari setiap acara Presiden Soeharto. Tentu saja, tidak semua wartawan foto memperjualbelikan foto hasil jepretannya kepada “pelanggan”. Saya dan seorang senior di ANTARA, Ali Anwar, termasuk yang tidak melakukan hal tersebut.
Saya bertugas di Istana Presiden dan Wakil Presiden pada 1993 - 2006. Tugas meliput Presiden Soeharto baru dijalankan saat menjelang ia lengser. Sebelum itu, lebih banyak meliput aktivitas Ibu Negara Tien Soeharto dan istri Wakil Presiden Try Sutrisno.
Wartawan foto senior ANTARA, Ali Anwar sangat paham dengan situasi saat itu. "Iya kan dulu setiap acara raker (rapat kerja) atau seminar yang buka Pak Harto. Saat itu pengaruh Pak Harto kuat sekali, sehingga orang ingin berfoto bersamanya," kenang Ali Anwar.
Meskipun tergolong wartawan foto senior, Ali Anwar mengaku tidak pernah menjual foto kepada para undangan saat acara Presiden Soeharto. "Saya motret hanya untuk disiarkan di ANTARA saja. Karena ANTARA pelanggannya tidak hanya satu media, tetapi banyak, " tambah Ali Anwar yang bergabung di Kantor Berita ANTARA sejak 1972, dan meliput di Istana sejak 1980.
*) Penulis adalah mantan Wartawan Foto ANTARA
Oleh Audy Mirza Alwi *)/ANTARA