Berita Borneotribun.com: BPS Hari ini
Tampilkan postingan dengan label BPS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BPS. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Agustus 2025

Ekspor RI Tumbuh 9,56% di Kuartal II-2025, Jadi Angin Segar Ekonomi Nasional

Grafik pertumbuhan ekspor Indonesia kuartal II-2025 berdasarkan data BPS
Grafik pertumbuhan ekspor Indonesia kuartal II-2025 berdasarkan data BPS. (Gambar ilustrasi)

JAKARTA - Nilai ekspor Indonesia menunjukkan kinerja positif pada kuartal II-2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total ekspor mencapai US$68,69 miliar selama periode April–Juni 2025, naik 9,56% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini menjadi salah satu titik terang di tengah tekanan pertumbuhan ekonomi yang masih lesu.

Peningkatan ekspor ini sebagian besar didorong oleh lonjakan permintaan global terhadap komoditas unggulan Indonesia seperti batu bara, CPO (Crude Palm Oil), dan logam dasar. Selain itu, pelaku usaha juga mempercepat pengiriman barang atau melakukan front-loading sebelum rencana kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat diberlakukan, terutama untuk sektor produk olahan industri dan manufaktur.

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan bahwa strategi percepatan ekspor oleh eksportir cukup berhasil mengangkat nilai ekspor dalam jangka pendek. “Kita melihat adanya kecenderungan pengusaha untuk mempercepat pengiriman, terutama ke pasar-pasar besar seperti AS dan Tiongkok. Ini memberi dampak langsung terhadap nilai ekspor kuartal ini,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (4/8/2025).

Kementerian Perdagangan juga menyebut bahwa perbaikan permintaan dari negara mitra dagang utama turut menjadi faktor pendorong. "Permintaan dari India, Jepang, dan kawasan ASEAN juga mulai pulih, sehingga menopang ekspor non-migas," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Budi Santoso. Ia menambahkan, pemerintah terus mendorong diversifikasi pasar dan komoditas agar ekspor tetap resilien.

Kenaikan ekspor ini diharapkan mampu menyeimbangkan pelemahan di sektor konsumsi domestik dan investasi. Namun, analis ekonomi mengingatkan bahwa efek front-loading bersifat sementara dan ekspor pada kuartal III bisa kembali menurun jika situasi global memburuk atau tarif AS resmi diberlakukan. Pemerintah pun diminta segera merespons dengan langkah jangka panjang untuk menjaga momentum positif ini.

Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II 2025 Diprediksi Melambat ke Bawah 5%

Grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 kuartal I dan II
Grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 kuartal I dan II. (Gambar ilustrasi)

JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mengalami perlambatan pada kuartal II 2025 dan diproyeksikan berada di bawah 5% secara tahunan (year-on-year/yoy). 

Prediksi ini muncul menjelang rilis resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dijadwalkan pada Selasa, 5 Agustus 2025. 

Pelemahan konsumsi rumah tangga disebut-sebut menjadi penyebab utama melambatnya laju pertumbuhan.

Dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia terhadap 13 institusi keuangan dan riset, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 diperkirakan hanya mencapai 4,78% (yoy). 

Jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq), ekonomi nasional diprediksi tumbuh 3,69%. 

Ini menunjukkan tren melambat dibanding kuartal I 2025 yang tercatat tumbuh 4,87% (yoy), namun justru terkontraksi 0,98% (qtq).

"Tekanan terbesar datang dari sisi konsumsi domestik yang belum sepenuhnya pulih, terutama dari kelompok menengah ke bawah," ungkap Ekonom Bank Mandiri, Andri Rachman, Senin (4/8/2025). 

Ia menambahkan, pertumbuhan belanja masyarakat cenderung stagnan meski sudah memasuki semester kedua tahun ini.

Faktor lain yang turut memengaruhi adalah masih lemahnya penyerapan anggaran pemerintah serta ekspor yang belum maksimal karena perlambatan ekonomi global. 

Sementara itu, investasi swasta juga dinilai belum terlalu agresif akibat kondisi ketidakpastian politik menjelang pelantikan presiden baru.

Jika prediksi pasar ini terbukti benar saat data resmi dirilis, maka ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan di bawah 5% selama dua kuartal berturut-turut. 

Kondisi ini dapat menjadi sinyal perlunya dorongan tambahan dari pemerintah, baik lewat stimulus fiskal maupun insentif untuk mendorong daya beli masyarakat.