Berita Borneotribun.com: Konsumsi Rumah Tangga Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Konsumsi Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konsumsi Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Agustus 2025

Kepercayaan Konsumen Masih Lesu, IKK Juni 2025 Nyaris Sentuh Titik Terendah Pasca Pandemi

Grafik indeks keyakinan konsumen Indonesia Juni 2025 dari Bank Indonesia
Grafik indeks keyakinan konsumen Indonesia Juni 2025 dari Bank Indonesia. (Gambar ilustrasi)

Jakarta – Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia masih menunjukkan tren lemah pada Juni 2025, hanya naik tipis ke angka 117,8 dari 117,5 pada bulan sebelumnya. Data ini dirilis Bank Indonesia dan mengindikasikan kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi belum benar-benar pulih. Meskipun angka tersebut masih berada di zona optimis (di atas 100), namun stagnannya pertumbuhan memperkuat kekhawatiran soal prospek ekonomi nasional pada kuartal II-2025.

BI menyebutkan, IKK Juni 2025 mendekati level terendah sejak September 2022, ketika ekonomi nasional masih berupaya pulih dari dampak pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa sentimen masyarakat terhadap ekonomi saat ini dan enam bulan ke depan masih sangat rapuh, meski seharusnya periode Juni-Juli menjadi masa konsumsi yang kuat karena libur sekolah.

Tak hanya IKK, tekanan juga tampak pada Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP) yang turun dari 135,4 pada Mei menjadi 133,2 pada Juni 2025. Ini merupakan angka terendah sejak Desember 2022. Penurunan IEP menunjukkan banyak masyarakat memperkirakan penghasilan mereka tidak akan meningkat dalam waktu dekat, sehingga cenderung menahan belanja dan menunda pembelian barang-barang kebutuhan sekunder maupun jangka panjang.

“Konsumen masih berhati-hati. Indikasi penguatan konsumsi belum terlihat nyata,” ujar ekonom INDEF, Nailul Huda. Menurutnya, stagnasi IKK dan penurunan IEP menjadi sinyal perlambatan daya beli yang bisa mempengaruhi pertumbuhan PDB kuartal kedua.

Meski begitu, BI mencatat sisi investasi asing tetap positif. Arus modal masuk (capital inflow) ke pasar keuangan Indonesia masih terjaga hingga pertengahan tahun, memberikan penopang di tengah lemahnya konsumsi rumah tangga. Namun, jika tren ini terus berlanjut, perlu ada stimulus fiskal atau insentif langsung agar konsumsi domestik bisa kembali menggeliat.

PMI Manufaktur Indonesia Terus Kontraksi Selama Kuartal II-2025, Ekonomi Nasional Tertekan

Grafik tren PMI Manufaktur Indonesia April hingga Juli 2025 menunjukkan penurunan berturut-turut ke bawah level 50
Grafik tren PMI Manufaktur Indonesia April hingga Juli 2025 menunjukkan penurunan berturut-turut ke bawah level 50. (Gambar ilustrasi)

Jakarta – Aktivitas manufaktur Indonesia terus menunjukkan pelemahan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di zona kontraksi selama empat bulan berturut-turut, yakni April hingga Juli 2025. 

Sepanjang kuartal II-2025, angka PMI tidak pernah menembus level 50, menandakan aktivitas manufaktur nasional mengalami penurunan akibat lesunya permintaan baru dari konsumen.

PMI pada April tercatat 46,7, naik tipis menjadi 47,4 pada Mei, namun kembali turun ke 46,9 di Juni. 

Kondisi ini menegaskan bahwa sektor manufaktur belum pulih sepenuhnya dari tekanan permintaan yang lemah. 

Turunnya pesanan baru menjadi indikator utama penyebab kontraksi ini, yang juga mencerminkan perlambatan konsumsi masyarakat secara umum.

“Sektor manufaktur memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Kontraksi yang berlarut-larut tentu berpengaruh terhadap kinerja PDB,” ujar Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede. 

Menurutnya, dampak ini bisa menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pemerintah pada 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat sektor industri pengolahan sebagai kontributor terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Jika sektor ini melemah, otomatis akan menekan output nasional sekaligus berimbas pada pendapatan tenaga kerja. 

Imbas lanjutan adalah menurunnya daya beli dan konsumsi rumah tangga komponen terbesar dalam struktur PDB Indonesia.

Pemerintah diharapkan segera mendorong stimulus fiskal dan memperkuat permintaan domestik untuk memulihkan sektor manufaktur. 

Jika tidak, risiko pelemahan ekonomi bisa berlanjut hingga kuartal III. Seiring berjalannya waktu, pelaku usaha juga berharap ada peningkatan permintaan menjelang akhir tahun agar tren PMI bisa kembali ke zona ekspansi.

Kredit Konsumsi dan KPR Melemah, Sinyal Waspada dari Daya Beli Masyarakat

Grafik pertumbuhan kredit konsumsi dan KPR Indonesia periode Maret hingga Juni 2025
Grafik pertumbuhan kredit konsumsi dan KPR Indonesia periode Maret hingga Juni 2025. (Gambar ilustrasi)

JAKARTA - Pertumbuhan kredit konsumsi dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terus melemah hingga pertengahan 2025. 

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kredit konsumsi tercatat tumbuh 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Juni 2025, melambat dibandingkan 9,2% pada Maret lalu. 

Tak hanya konsumsi, sektor properti juga ikut tertekan. Pertumbuhan KPR menurun tajam dari 8,9% di Maret menjadi hanya 7,7% di bulan Juni. 

Angka ini menunjukkan kehati-hatian konsumen dalam membelanjakan uang mereka.

BI menyebutkan, perlambatan ini terjadi karena tekanan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. 

Selain itu, ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan juga cenderung hati-hati. 

“Konsumen cenderung menunda belanja besar, termasuk untuk hunian, karena masih mencermati arah inflasi dan suku bunga,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, dalam keterangan tertulis, Senin (4/8/2025).

Sejumlah analis menilai pelemahan ini bisa menjadi indikator awal perlambatan ekonomi secara menyeluruh, terutama jika tren penurunan kredit konsumsi berlanjut di kuartal III. 

Di sisi lain, perbankan juga menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit, mengikuti pengetatan likuiditas global serta kebijakan makroprudensial yang lebih berhati-hati.

Dampaknya, sektor properti dan industri ritel berpotensi mengalami penurunan penjualan dalam beberapa bulan ke depan. 

Bila tidak segera diantisipasi, perlambatan ini bisa menekan pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang utama Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Pemerintah dan BI diperkirakan akan mengkaji insentif lanjutan untuk menjaga daya beli dan memacu pertumbuhan kredit pada paruh kedua tahun ini.

Konsumsi Masih Lemah, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 Tertahan

Grafik pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia kuartal II-2025
Grafik pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia kuartal II-2025. (Gambar ilustrasi)

JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 kembali dibayangi tekanan akibat melambatnya konsumsi rumah tangga, yang selama ini menyumbang sekitar 53-56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Data sementara menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat masih belum pulih sepenuhnya, berdampak langsung terhadap laju ekonomi nasional yang belum bisa menembus angka pertumbuhan di atas 5%.

Sejumlah indikator menunjukkan lesunya daya beli masyarakat. Pertama, tren pertumbuhan kredit konsumsi tercatat mengalami perlambatan dalam beberapa bulan terakhir. 

Kedua, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia masih stagnan di level rendah, menandakan kehati-hatian masyarakat dalam membelanjakan uangnya. 

Tak hanya itu, aktivitas manufaktur dalam negeri juga mengalami kontraksi, ditandai oleh Purchasing Managers' Index (PMI) yang turun di bawah ambang batas ekspansi. 

Penjualan kendaraan bermotor pun dilaporkan menurun, memperkuat sinyal bahwa konsumsi belum sepenuhnya pulih.

"Lesunya konsumsi masyarakat masih menjadi tantangan utama pemulihan ekonomi domestik. Kinerja sektor-sektor yang mengandalkan permintaan lokal pun ikut terdampak," ujar Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, dalam keterangan tertulis yang diterima Senin (4/8/2025). 

Ia menambahkan bahwa kepercayaan konsumen yang belum membaik juga bisa dipengaruhi oleh kekhawatiran terhadap kondisi global dan inflasi dalam negeri.

Pemerintah pun disebut terus memantau situasi ini, terutama menjelang rilis resmi data pertumbuhan ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS). 

Jika konsumsi tidak membaik dalam kuartal berikutnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2025 yang dipatok 5,2% bisa terancam meleset. 

Dalam jangka pendek, pelaku usaha pun diminta menyesuaikan strategi agar tetap bertahan di tengah tekanan permintaan domestik yang melemah.