Tetap atau Pergi: Sikh Afghanistan Hadapi Dilema | Borneotribun.com -->

Minggu, 13 Februari 2022

Tetap atau Pergi: Sikh Afghanistan Hadapi Dilema

Tetap atau Pergi: Sikh Afghanistan Hadapi Dilema
Seorang anak laki-laki Sikh Afghanistan berduka atas para korban yang tewas dalam serangan di kompleks keagamaan Sikh saat pemakaman di Kabul, Afghanistan, 26 Maret 2020. (Foto: Reuters)


BorneoTribun.com - Pada 1970-an, populasi Sikh di Afghanistan mencapai 100.000. Hanya ada segelintir dari mereka sekarang.


Sangat sedikit dari sekitar 100.000 orang Sikh di Afghanistan yang tercatat pada tahun 1970-an sekarang tertinggal di ibu kota, Kabul.

Orang-orang Sikh Afghanistan berduka atas kematian rekan-rekan seimannya yang dibunuh oleh seorang pria bersenjata ISIS, saat pemakaman di Kabul, Afghanistan, 26 Maret 2020. (Foto: AP)


Gurnam Singh, administrator Karte Parwan Gurdwara, kuil Sikh terakhir di Kabul yang masih aktif melakukan ritual doa berkata, "Semua orang mencintai negara mereka. Kami orang Afghanistan. Afghanistan adalah negara kami, Tanah Air kami. Tapi kami putus asa."


Konflik, kemiskinan, dan intoleransi selama beberapa dekade telah mendorong hampir semua Sikh Afghanistan ke pengasingan.

Seorang pria Sikh Afghanistan duduk di samping peti mati salah satu korban ledakan kemarin di kota Jalalabad, Afghanistan 2 Juli 2018. (Foto: Reuters)


Pendudukan Soviet, diikuti oleh pemerintahan rezim Taliban dan intervensi militer berdarah pimpinan AS mengurangi jumlah mereka menjadi hanya 240 tahun lalu, menurut angka yang dicatat oleh masyarakat.


Setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus, yang membuka babak terakhir dalam sejarah kelam Afghanistan, ada gelombang baru Sikh yang meninggalkan negara itu.


"Kondisi di sini berubah seiring musim. Kalau situasi memburuk lebih jauh, maka semua orang akan pergi. Orang mengambil keputusan berdasarkan situasi," kata Gurnam Singh.


Sekarang ini, Gurnam Singh memperkirakan hanya 140 orang yang bertahan, kebanyakan di Jalalabad, Afghanistan Timur, dan di Kabul.


Pada suatu hari yang dingin pada pertengahan bulan lalu, mereka yang masih bertahan ini tampak hadir di kuil Karte Parwan Gurdwara untuk mengikuti kegiatan berdoa.


Kaum lelaki berdiri di satu sisi, kaum perempuan di sisi lain. Seluruhnya ada 15 orang.


Duduk bertelanjang kaki di lantai yang dilapisi karpet merah tebal, mereka menghangatkan diri dengan berkumpul di sekitar tungku dan mendengarkan pembacaan Guru Granth Sahib, kitab suci Sikh.


Pada November lalu, kuil itu memiliki tiga kitab suci, tetapi dua di antaranya kemudian dikirim ke New Delhi untuk “disimpan.”


Warga Sikh telah lama menghadapi diskriminasi di Afghanistan yang mayoritas penduduknya Muslim. Kemiskinan merajalela dan serangan dari ISIS-Khorasan, kelompok jihadis ISIS cabang Afghanistan, merupakan ancaman nyata bagi mereka.


Sebagian besar warga Sikh yang melarikan diri dari Afghanistan telah tiba di India, di mana 90 persen dari 25 juta penganut Sikh di dunia bermukim, terutama di Punjab, wilayah di bagian barat laut.


Sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, India telah menawarkan visa prioritas kepada warga Sikh di pengasingan dan kesempatan untuk mengajukan izin tinggal jangka panjang. Belum ada tanda-tanda mengenai pemberian kewarganegaraan bagi mereka.

Pria Sikh Afghanistan membawa peti mati salah satu korban ledakan di kota Jalalabad, Afghanistan 2 Juli 2018. (Foto: Reuters)


Manjit Singh, apoteker berusia 40, termasuk di antara mereka yang menolak tawaran itu, meskipun putrinya telah beremigrasi ke India bersama dengan suaminya tahun lalu.


“Apa yang akan saya lakukan di India?” tanyanya. “Tidak ada pekerjaan atau rumah di sana,” lanjutnya.


Di antara yang masih menjadi penyebab mereka bertahan adalah, prospek untuk pergi sangat memilukan. Ini berarti, mereka akan meninggalkan rumah spiritual mereka.


“Sewaktu gurdwara ini dibangun 60 tahun silam, seluruh daerah ini penuh dengan orang-orang Sikh,” kata Manmohan Singh, lelaki berusia 60 tahun yang menjadi sesepuh komunitas Sikh di Kabul. “Apa pun suka atau duka yang kami rasakan, kami rasakan itu di sini,” lanjutnya.


Dari luar, kuil ini hampir tidak dapat dibedakan dari bangunan-bangunan lain di sekitarnya.


Tetapi keamanan di sekitar kuil itu sangat tinggi. Tubuh pengunjung digeledah dengan saksama, kartu identitas diperiksa dan pengunjung harus melewati dua pintu dengan penjagaan ketat.


Pada awal Oktober lalu, sekawanan lelaki bersenjata tidak dikenal menerobos masuk dan merusak tempat suci itu.


Insiden itu merupakan serangan paling menakutkan terhadap komunitas Sikh Afghanistan.


Pada Maret 2020, anggota ISIS-Khorasan menyerbu Gurdwara Har Rai Sahib di Shor Bazar, bekas wilayah kantong komunitas Sikh di Kabul, menewaskan 25 orang.


Sejak serangan itu, kuil tersebut, dan juga Dharamshala Gurdwara, tempat ibadah Sikh tertua di ibu kota yang diperkirakan berusia 500 tahun – telah ditinggalkan.


Mata kiri Paramjeet Kaur terkena pecahan peluru pada waktu serangan ISIS-Khorasan. Saudara Kaur termasuk di antara korban tewas.


Dalam beberapa pekan setelah serangan, Kaur dan keluarganya berkemas dan menuju Delhi. Tetapi ia dan suaminya tidak memiliki pekerjaan dan biaya hidup sangat mahal di sana, sehingga mereka terpaksa kembali.


Ini terjadi pada bulan Juli, beberapa pekan sebelum Taliban kembali berkuasa.


Sekarang Kaur, suaminya dan tiga anak mereka diberi makan dan tempat tinggal oleh Karte Parwan Gurdwara.


Anak-anaknya tidak pergi bersekolah dan Kaur tidak pernah keluar melewati tembok kuil, satu-satunya tempat di mana ia merasa aman.


Ia sedang mempertimbangkan untuk pergi lagi, kali ini ke Kanada atau AS.


“Anak-anak saya masih kecil,” katanya. “Kalau kami pergi, kami dapat berbuat sesuatu untuk hidup kami.” [uh/ab]


Oleh: VOA Indonesia 

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar