Lahir di Tanah Suci, Merah Putih tetap di Hati | Borneotribun.com -->

Kamis, 18 Agustus 2022

Lahir di Tanah Suci, Merah Putih tetap di Hati

Abdurrahman yang juga lahir dan besar di Mekkah
Abdurrahman yang juga lahir dan besar di Mekkah, Arab Saudi.
BorneoTribun Jakarta - Faiz Musa, pemuda berkulit sawo matang dengan tubuh kekar, sedikit cambang dan jenggot menghiasi wajahnya. Tak jarang ia dianggap orang India atau Pakistan bahkan ada yang memanggilnya dari Afrika dan Arab.

Pemuda berusia 26 tahun ini berasal dari Madura, Jawa Timur. Hanya saja ia lahir di Mekah, Arab Saudi.

Dengan pergaulan sehari-hari dan bersekolah di sekolah bahasa Arab, tentu saja dia lebih fasih berbahasa Arab daripada bahasa Indonesia.

Sejak kecil Faiz mengira dirinya sama dengan anak-anak di lingkungannya, namun semakin besar dan luas pergaulannya, apalagi setelah mengalami perlakuan yang berbeda di sekolah, barulah ia mengerti bahwa dirinya berbeda.

Ia mulai mengenal anak-anak Indonesia sambil bermain sepak bola bersama, hingga mahasiswi jurusan IT Ilmu Komputer di Universitas Umm Al-Qura, sebuah universitas negeri di Mekah ini tertarik untuk belajar bahasa Indonesia.

Menurut anak bungsu dari lima bersaudara ini, belajar bahasa Indonesia tidak sulit karena sering dipraktikkan melalui obrolan dengan sesama orang Indonesia dan orang tuanya di rumah. Namun, saat ini ia juga tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia.

Apalagi sejak bergabung sebagai petugas haji Indonesia, semakin sering dia bertemu sesama warga negara, semakin banyak kosakata yang dia kuasai meski terkadang penggunaan kata-kata masih belum sesuai kaidah bahasa, tapi setidaknya dia mengerti ketika orang lain berbicara dengannya. dia.

Ia sering mengalami kejadian lucu terkait penggunaan bahasa, belum lagi perbedaan budaya antara Indonesia dan Saudi, tak jarang mengundang gelak tawa saat menceritakan kembali pengalamannya tersebut.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, ia dikira orang asing karena perawakannya yang berbeda, ditambah penggunaan bahasa Indonesia yang kurang lancar. Alhasil, dia mengantri di antrean asing di imigrasi bandara, ketika dia menunjukkan paspor kepada petugas itu ternyata paspor Indonesia.

Belum lagi perbedaan waktu dan pola aktivitas antara Indonesia dan Mekkah, biasanya ia tidur pada dini hari, karena kebiasaan itu terbawa ketika ia pergi ke Madura, kampung halaman orang tuanya, yang sepi saat jam menunjukkan pukul 21.00. .

Faiz Musa, pemuda asli Madura, Jawa Timur yang lahir dan besar di Mekkah, Arab Saudi.
Faiz Musa, pemuda asli Madura, Jawa Timur yang lahir dan besar di Mekkah, Arab Saudi.
Jadi Faiz bangun sendirian di tengah malam, sementara saudara-saudaranya semua tertidur lelap.

"Di Madura, jam sembilan semua sudah tidur, gelap gulita, saya saja yang bangun. Itu tidak baik di sana," kata Faiz terbata-bata dengan wajah polos yang mengundang tawa.

Ada lagi cerita yang cukup mengaduk-aduk, saat dia makan nasi goreng di warung pinggir jalan, ternyata satu piring tidak cukup, dia memesan tiga piring.

Orang-orang yang berjualan nasi goreng pun tertawa, mengira dia lapar karena sudah lama tidak makan, padahal porsi tiga piring sudah umum di Arabia, yang terkenal dengan porsi makannya yang besar.

Pencinta nasi goreng dan sop ini mengaku kaget saat ditanya soal Nasi Kucing. Dia mengira orang Indonesia makan kucing, padahal yang dia maksud adalah nasi yang dijual pedagang angkringan dalam porsi kecil dan berbagai lauk sate yang dijual dengan harga murah.

"Kupikir kucingnya dimakan," kata Faiz dengan wajah kaget.

Meski masih belum fasih berbahasa Indonesia dan masih banyak kata yang belum dipahaminya, Faiz mengaku sangat mencintai Indonesia. Ia mengakui identitas dirinya sebagai keturunan Indonesia sehingga ia mencari asal-usulnya hingga tiba di pulau Madura.

Faiz mengaku memiliki beberapa baju batik yang dibelinya selama di Indonesia. Ia juga terus mencari tahu tentang budaya Indonesia baik melalui media sosial maupun langsung dari masyarakat Indonesia yang dikenal.

Ia bangga bergabung sebagai petugas haji Indonesia, mengenakan seragam dengan bendera merah putih di dada. Menandakan bahwa ia juga bagian dari Nusantara, anak bangsa yang walaupun jauh dari negara lain, bersekolah, mengenyam pendidikan bahkan mendapat beasiswa dari pemerintah Saudi, namun tetap warga negara Indonesia.

Suatu saat jika harus memilih, dia siap tinggal di tanah air dan melakukan sesuatu untuk kemajuan Indonesia.

Gus Dur yang juga lahir dan besar di Mekkah juga merasakan kebanggaan sebagai orang Indonesia.

Abdu, panggilan akrabnya, mengaku telah dikenalkan oleh keluarganya dengan beberapa budaya Indonesia seperti tahlilan dan maulid serta ziarah kubur yang tidak lazim dilakukan di Arab Saudi.

Di rumah, dia biasanya berbicara bahasa Jawa dan Madura, sehingga dia bisa mengerti jika diminta berbicara bahasa lokal, meski hanya pasif. Tentu saja dia lebih mahir berbahasa dan menulis Arab karena sudah terbiasa sejak kecil.

Selama kuliah di Al Azhar, Mesir, ia mulai banyak bergaul dengan mahasiswa asal Indonesia sehingga mau tidak mau harus belajar bahasa Indonesia.

Pria kulit putih berdarah campuran Malang dan Madura ini bisa berbahasa Indonesia dengan lebih lancar. Apalagi ia sudah beberapa kali bergabung sebagai petugas haji Indonesia.

Ia mengaku sudah lima kali menginjakkan kaki di Tanah Air, pernah ke Bali, Pontianak, Makassar, Palembang dan melihat kemegahan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Dengan Malang, ia juga memiliki kesan tersendiri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di kawasan tersebut ia merasakan suasana yang nyaman karena udaranya yang dingin.

Ada juga kejadian lucu dengan nasi kucing. Abdu diajak temannya makan nasi kucing saat di Jakarta.

"Biasanya makan berapa bungkus? Saya makan 21 bungkus, teman saya malah dapat 27 bungkus. Orang yang menjualnya kaget melihat kami," tambahnya.

Kecintaannya pada Indonesia tidak perlu diragukan lagi, apalagi ia mendapat kesan pertama yang baik tentang Indonesia. Suatu hari dia bahkan ingin tinggal di Indonesia jika ada kesempatan.

Sebagai keturunan Indonesia, ia tidak bisa memungkiri hal itu. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Indonesia, jadi dia juga mencintai Indonesia.

Jargon "Merah Putih Tetap" yang disematkan padanya merupakan salah satu bukti keberhasilan upaya pemerintah Indonesia bersama berbagai pihak terkait untuk terus menanamkan semangat nasionalisme.

Lonjakan penanaman nasionalisme tidak hanya menyasar generasi bangsa di tanah air. Namun, mereka yang tinggal di negeri lain juga mencintai Indonesia.

Cukup banyak anak Indonesia yang lahir dan besar di Arab Saudi, bahkan banyak juga masyarakat Indonesia yang hijrah ke kampung halaman Nabi Muhammad SAW.

Sampai saat ini keturunan mereka masih tinggal di Tanah Suci. Ada yang melebur dan menjadi warga lokal, namun ada juga yang mempertahankan status Indonesianya.

Meskipun mereka tidak cukup tahu tentang bahasa atau budaya nenek moyang mereka, Merah Putih tetap bersemayam di hati mereka.

(DP/ANT)

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar