Jakarta - Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) DR. Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A, Subsp.Resp (K) menyampaikan bahwa pengobatan tuberkulosis atau TBC yang terputus bisa membahayakan.
"Itu ada bahayanya, bukan hanya tidak sembuh, tetapi si kuman yang sedang diobati itu menjadi kebal obat," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Dalam kondisi yang disebut Tuberkulosis Resisten Obat atau TB RO, ia menjelaskan, obat anti-tuberkulosis atau OAT yang diberikan pertama kali sudah tidak bisa mengatasi kuman Mycobacterium tuberculosis di tubuh pasien.
Pasien TB RO harus minum lebih banyak obat setiap hari dan menjalani pengobatan dalam jangka yang lebih lama sesuai dengan rekomendasi dari tim ahli klinis agar bisa sembuh.
Pengobatan tuberkulosis resisten obat membutuhkan waktu sembilan bulan sampai 24 bulan dengan tindak lanjut ketat dari tenaga medis untuk menilai perkembangan pengobatan pasien.
Pasien yang mengalami TB RO bisa menularkan kuman yang sudah kebal terhadap obat kepada orang lain dan kondisi ini menyulitkan upaya penanggulangan tuberkulosis.
Supaya tidak sampai mengalami TB RO, pasien tuberkulosis harus minum obat secara teratur sampai tuntas sesuai dengan standar pengobatan penyakit tuberkulosis.
Dokter Nastiti menyampaikan bahwa putus obat TBC dapat terjadi pada pasien yang lupa minum obat selama beberapa hari berturut-turut atau sering memuntahkan obat yang diminum.
Pasien tuberkulosis yang demikian dianjurkan menjalani pemeriksaan untuk mengetahui apakah dia mengalami resistensi obat dan harus mengulang pengobatan.
"Bukan juga berarti sudah minum obat empat bulan teratur, kemudian satu hari lupa atau ketinggalan ketika pergi keluar kota, itu bukan berarti mulai lagi dari awal," kata dokter Nastiti.
"Dokter akan memperhitungkan berapa persentase obat yang sudah berhasil diminum, berapa yang miss (terlewat), kalau miss-nya sedikit, obat bisa tetap dilanjutkan," kata dokter konsultan respirologi anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo itu.
Dokter Nastiti menjelaskan pula bahwa pengobatan TBC menimbulkan efek samping pada hati dalam beberapa kasus pengobatan tuberkulosis pada pasien anak dan dewasa.
Efek kuning, menurut dia, terjadi karena lever sedang beradaptasi dengan obat-obatan yang dikonsumsi.
Dalam kondisi yang demikian, ia menjelaskan, dokter bisa menyarankan pasien untuk menghentikan sementara konsumsi obat sampai gejalanya mereda dan kemudian melanjutkan pengobatan lagi.
Ia menyampaikan bahwa dokter umumnya akan melakukan pemantauan intensif pada dua bulan awal pengobatan tuberkulosis.
Orang yang telah menjalani pengobatan tuberkulosis biasanya akan menunjukkan kemajuan klinis seperti penurunan frekuensi demam dan kenaikan berat badan.
"Pada anak, ketika sudah menyelesaikan pengobatan dengan obat anti-tuberkulosis, secara full sudah sembuh, jangka panjangnya tidak akan berefek apa-apa lagi," demikian dokter Nastiti Kaswandani.
Pewarta : Fitra Ashari/ANTARA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS