Celios: Pajak bagi pengusaha daring wujud kesetaraan aturan | Borneotribun

Senin, 30 Juni 2025

Celios: Pajak bagi pengusaha daring wujud kesetaraan aturan

Celios: Pajak bagi pengusaha daring wujud kesetaraan aturan
Celios: Pajak bagi pengusaha daring wujud kesetaraan aturan. (ANTARA)
Jakarta - Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mendukung adanya penerapan pajak bagi pengusaha di e-commerce yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan sebagai wujud kesetaraan aturan antara penjual daring ataupun luring.

“Kebijakan ini memang baiknya mengikat ke pengusaha, baik jualan daring ataupun luring. Jadi saya kira langkah yang bagus dari pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang sama antara penjual daring dan luring,” kata Huda saat dihubungi ANTARA, Senin.

Ia mengatakan penerapan pajak bagi pengusaha daring merupakan upaya supaya terjadi kesetaraan di antara pengusaha di ekosistem penjualan baik daring maupun luring.

Huda mengatakan sesuai aturan yang berlaku, pengenaan pajak pada penjual di e-commerce dikhususkan untuk pengusaha UMKM dengan omzet tahunan Rp 500 juta sampai Rp 4,8 miliar yang diharuskan membayar pajak sebesar 0,5 persen dari omzet.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 82,97 persen pelaku usaha di e-commerce mempunyai pendapatan kurang dari Rp 300 juta. Sementara sebanyak 14,4 persen mempunyai pendapatan Rp 300 juta hingga Rp2,5 miliar, 2,42 persen mempunyai pendapatan Rp 2,5-50 miliar, dan 0,21 persen mempunyai pendapatan lebih dari Rp 50 miliar.

“Saya rasa sebagian besar pelaku usaha di e-commerce memiliki pendapatan di bawah Rp 500 juta. Jadi memang potensi penerimaan negaranya kecil, tapi yang pasti adalah harus ada kesetaraan peraturan. Pengusaha dengan omzet Rp 500 juta per tahun, itu sudah besar dan memang harusnya diberikan pajak PPh final. Tidak ada pengecualian,” kata Huda.

Ia mengatakan adanya pajak ini mungkin akan membuat para penjual menaikkan harga dagangannya. Namun hal itu tidak serta merta akan membuat pembeli beralih ke platform loka pasar berbasis media sosial yang tidak menerapkan pajak.

Menurutnya, pembeli akan kembali melihat kecenderungan produk yang sesuai deskripsi dan menghindari kecurangan maupun penipuan yang kerap terjadi di loka pasar media sosial. Platform e-commerce juga memiliki otoritas yang bisa menindak jika terjadi penipuan dalam penjualan produk, yang menjadi kelebihan dari platform berbelanja di media sosial.

Agar pengenaan pajak pada pengusaha daring dengan penghasilan Rp 500 juta - Rp 4,8 Miliar menjadi adil, ia mengatakan pihak platform loka pasar harus mendata mitra penjual mana saja yang sudah memenuhi kriteria tersebut dan belum terdaftar penjual kena pajak (PKP).

Hal ini agar tidak ada pelapak yang sudah taat pajak dan terdaftar PKP juga dipungut pajak 0,5 persen yang seharusnya tidak perlu lagi mengikuti aturan pemerintah.

“Maka, harus ada integrasi data dulu, jangan sampai ada pelapak yang sudah taat pajak tapi dipotong pajak lagi. E-commerce sebagai pemungut (nantinya) juga harus punya data yang pasti untuk penjual yang mempunyai omzet di atas Rp 500 juta ke atas dan apakah mereka sudah taat pajak atau belum. Itu harus jelas terlebih dahulu,” katanya.

Ia juga menambahkan harus ada sinkronisasi data yang rinci dari satu platform dengan platform lainnya bagi penjual yang mempunyai dua hingga tiga toko di platform yang berbeda, misalnya menggunakan Nomor Induk Berusaha (NIB) atau NIK, agar, tidak terjadi kecurangan dan kesenjangan lagi bagi penjual daring maupun luring.

Pewarta : Fitra Ashari/ANTARA
  

Follow Borneotribun.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Tombol Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.