Selalu menjadi diri yang baru, tidak hanya di tahun baru | Borneotribun

Jumat, 27 Juni 2025

Selalu menjadi diri yang baru, tidak hanya di tahun baru

Selalu menjadi diri yang baru, tidak hanya di tahun baru
Selalu menjadi diri yang baru, tidak hanya di tahun baru. (ANTARA)
Jakarta - Hari ini kita memasuki tahun baru 1447 Hijriah. Sudahkah kita menjadi pribadi baru yang lebih berkelas? Walau idealnya, setiap waktu manusia harus menjadi diri yang baru, tidak perlu menunggu tahun baru. Tapi setidaknya, meminjam tahun baru sebagai momen muhasabah atau introspeksi diri adalah hal baik untuk penyegaran kualitas hidup.

"Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Kalimat ini yang sering kita dengar dalam keseharian yang merupakan kutipan dari hadits Nabi Muhammad SAW.

Intinya, manusia hendaknya selalu menjadi diri yang lebih baru (baik) seiring berjalannya waktu. Bila kondisinya sama saja tergolong orang yang merugi, apalagi bila menurun atau lebih buruk maka, kata Nabi, termasuk orang yang celaka.

Peningkatan dan perbaikan kualitas diri dituntut terus berlangsung, terus berproses, berbarengan dengan merambatnya usia. Tidak hanya saat pergantian tahun, kita baru melakukan muhasabah, introspeksi atau refleksi, lalu menyusun resolusi.

Karena kealpaan dan kebodohan perilaku bisa terjadi setiap saat, maka perbaikannya pun seyogyanya dilakukan kala itu juga. Kesalahan tidak perlu ditimbun hingga akhir tahun dan berniat memperbaiki di awal tahun.

Perayaan tahun baru memang bagus menjadi momen muhasabah dan lantas membuat resolusi perbaikan untuk ke depannya. Meskipun demikian, bukan berarti sepanjang bulan berjalan kita boleh jeda, tanpa upaya peningkatan kualitas hidup, baik pada aspek material, intelektual, terlebih pada sisi moral-spiritual.

Dalam Islam, penghargaan atas waktu itu begitu tinggi, hingga terdapat Surat Al Ashr (demi masa) dalam Al Quran. Selain itu, hadits Nabi SAW juga mengingatkan umatnya untuk menjaga lima perkara, sebelum datangnya lima perkara. Kelima perkara itu adalah memanfaatkan waktu muda sebelum datang waktu tua, waktu sehat sebelum sakit; masa kaya sebelum miskin; masa luang sebelum sibuk, dan memanfaatkan waktu hidup sebelum datangnya kematian.

Orang yang tidak menghargai waktu dan terbiasa melewatkannya, tanpa suatu amalan berarti, dalam berbagai ayat dan hadits digambarkan sebagai umat yang merugi, bahkan celaka.

Agar tidak termasuk golongan orang yang celaka, perbarui diri selalu, jangan menunggu “ditegur” oleh Tuhan terlebih dulu.

Seringkali manusia akan menemukan kesadaran setelah memperoleh teguran keras dari Tuhan. Teguran bisa berupa penyakit, kehilangan, atau musibah. Dalam kondisi terpuruk dan tak tahu lagi harus berbuat apa, saat itulah Tuhan baru betul-betul hadir dalam pikirannya.

Kesakitan, kepahitan dan kegetiran biasanya akan membentuk kebijaksanaan dalam diri seseorang. Segetir apa hidupnya, setingkat itu kebijaksanaan yang terbentuk karenanya. Meski ada pula yang merespons teguran Tuhan dengan keputusasaan, sehingga tidak memperoleh kenaikan kelas kebijaksanaan yang seharusnya diraih.

Tapi secara teori, seharusnya teguran Tuhan menjadi salah satu sarana yang mampu mengantarkan seseorang menjadi pribadi baru, setelah berhasil melewatinya.

Selalu baru

Jangan berdiam diri menjadi orang usang dalam hal pemikiran dan keimanan. Manusia memiliki perangkat lunak berupa hati, pikiran, dan jiwa yang perlu dilakukan penyegaran dan pembaruan setiap waktu.

Berikut sejumlah langkah pembaruan yang dapat dilakukan setiap orang, menurut versi masing-masing:

- Penyegaran iman. Sebagai umat beragama, iman merupakan aset jiwa yang penting untuk senantiasa dijaga keberadaan dan kualitasnya. Karena iman lazim berfluktuasi, naik turun, maka upaya untuk selalu memberi asupan gizi rohani perlu ditempuh. Carilah forum kajian mendalam yang tidak sekadar membahas seputar fiqih dan ibadah pada ranah syariah semata, melainkan yang mempertebal ketauhidan. Cara beragama yang lebih menyentuh substansi akan memperbaiki laku hidup seseorang.

- Pilih kawan. Bergaul memang tidak boleh pandang bulu, tapi memilih orang untuk membangun lingkaran pertemanan haruslah selektif. Karena bagaimana kita, bisa dinilai dari seperti apa lingkaran pergaulan kita. Agama menganjurkan agar kita berkumpul dengan orang saleh, hal itu menandakan bahwa dengan siapa kita bergaul itu penting dalam menaikkan kelas ketakwaan kepada Tuhan.

- Membumikan agama. Banyak masyarakat awam menganggap beragama hanya urusan ibadah seremoni yang dipersembahkan ke “langit” atau ibadah secara vertikal dan mengira urusan dunia sebagai hal berbeda. Padahal beragama secara utuh adalah dengan membumikan agama, sehingga segala perilaku di Bumi dilakukan berdasarkan tuntunan agama, termasuk bagaimana bergaul dengan sesama, berperilaku terhadap satwa dan memelihara alam semesta, planet tempat tinggal kita bersama.

Dengan beragama secara benar, umat akan membuat jejak kebajikan di Bumi, sehingga keberadaannya menjadi rahmat bagi semua. Karena puncak dari agama adalah akhlak, akhlak kepada Sang Pencipta juga terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.

- Resolusi kebaikan. Jadikan berbuat baik sebagai hobi, sehingga terasa ada yang kurang bila satu hari belum melakukan kebaikan untuk orang lain. Karena kita akan memperoleh akibat dari sebab yang kita buat, maka gemarlah menciptakan sebab-sebab yang baik.

Bila masyarakat Bali mengenal hukum karma, yang membuat mereka takut berbuat jahat kepada orang lain, dalam agama Islam, menurut Habib Husein bin Ja'far Al Hadar, mengenal hukum “karena”. Maksudnya, segala apa yang datang pada kita, apakah baik atau buruk, itu terjadi “karena” buah dari perbuatan kita sendiri.

- Ikhlas melepas. Satu hal yang membuat kita akan selalu menjadi pribadi baru adalah kemampuan untuk ikhlas melepas. Melepas harta untuk berbagi, melepas amarah untuk memaafkan, meninggalkan kebiasaan buruk demi perbaikan diri, melepas masa lalu untuk menyongsong masa depan dan seterusnya. Barangkali ini salah satu bagian dari hijrah yang bermakna perpindahan, berpindah dari hal lama menuju hal baru yang lebih baik.

- Pengembangan diri. Terus menerus mengembangkan diri, belajar dari pengalaman lantas beradaptasi dengan perubahan. Melakukan evolusi diri secara berkelanjutan agar tetap relevan, berbarengan dengan perkembangan zaman.

Hakikat hijrah

Untuk meniru hijrah Nabi Muhammad SAW, dalam konteks zaman terkini tentu tidak harus persis berpindah lokasi. Kita bisa mengambil hakikatnya saja, yakni perubahan menuju yang lebih baik, yang kemudian dapat dimanifestasikan dalam versi masing-masing orang.

Adapun langkah-langkah perubahan dan pembaruan diri dapat mengikuti, di antaranya enam hal di atas.

Proses pembaruan diri menuju peningkatan kelas kualitas hidup, dalam prosesnya mungkin “menyakitkan” karena harus melepas dan meninggalkan gaya lama yang telanjur nyaman. Namun kesakitan itu akan berbuah manis, saat seseorang telah berhasil melewati hingga menjadi diri baru yang lebih indah. Sebagaimana proses metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu yang harus berpuasa selama membentuk cangkang pelindung (kepompong) dan tubuhnya akan mengalami transformasi radikal untuk menjadi kupu-kupu yang cantik.

Belajar dari proses metamorfosis itu bahwa perjalanan menjadi diri yang baru butuh perjuangan, pengorbanan dan harus mengalami kesakitan terlebih dulu. Maka, ibarat pensil, jangan takut diraut untuk menjadi pensil baru yang lebih tajam.

Bila hari demi hari kita harus berubah menjadi lebih baik, maka kala pergantian tahun mungkin saatnya bermetamorfosis menjadi pribadi baru yang lebih indah. Selamat tahun baru 1447 Hijriah.

Oleh Sizuka/ANTARA
  

Follow Borneotribun.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Tombol Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.