Menjelajahi Kuil Surga Beijing, simbol kosmos kekaisaran | Borneotribun

Minggu, 13 Juli 2025

Menjelajahi Kuil Surga Beijing, simbol kosmos kekaisaran

Menjelajahi Kuil Surga Beijing, simbol kosmos kekaisaran
Menjelajahi Kuil Surga Beijing, simbol kosmos kekaisaran. (ANTARA)
Beijing - Temple of Heaven (Tiantan) atau Kuil Surga adalah kompleks kuil yang megah, berdiri di tengah hiruk pikuk jantung kota Beijing, China.

Kompleks kuil ini bukan sekadar kumpulan bangunan tua, tapi merupakan mahakarya arsitektur sekaligus lambang kosmologi China kuno, tempat para kaisar menjalin komunikasi sakral dengan langit.

Kompleks kuil yang berusia lebih dari 600 tahun ini memiliki luas 2,73 kilometer persegi, bahkan lebih luas dari Kota Terlarang yang luasnya tidak mencapai 1 kilometer persegi. Kendati tidak memiliki banyak ruang seperti istana di Kota Terlarang, kompleks kuil ini memancarkan keagungan dan kedalaman filosofis yang memukau.

Di sekeliling kompleks kuil terdapat ribuan pohon cemara rindang berusia ratusan tahun, yang membuat suasana sekeliling kuil menjadi teduh dan sejuk.

Pembangunan Kuil Surga dimulai pada tahun 1406 atas perintah Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, yang juga memprakarsai pembangunan Kota Terlarang. Awalnya bernama Kuil Langit dan Bumi, kompleks ini difungsikan sebagai tempat ritual penghormatan kepada kedua entitas kosmik yaitu Dewa Langit dan Dewa Bumi.

Pada era Kaisar Jiajing (1522-1566), terjadi pemisahan ritus penyembahan. Kompleks kuil ini kemudian hanya digunakan untuk menyembah Dewa Langit sehingga namanya berubah menjadi Kuil Langit. Sementara itu Kuil Bumi (Ditan) dibangun di utara Kota Beijing.

Pada awal abad ke-18, Kaisar Qianlong (Dinasti Qing) memerintahkan renovasi besar-besaran atas Kuil Langit dengan memperluas altar dan menyempurnakan detail simbolis pada seluruh bangunan.

Kendati dibangun dengan sangat indah, tidak semua orang bisa menikmati keindahan kompleks kuil, karena hanya kaisar dan para menterinya yang diijinkan memasuki kompleks kuil ini.

Kaisar dianggap sebagai sosok pilihan Dewa Langit, sehingga dapat dengan bebas memasuki kompleks kuil dan setiap bangunan di dalamnya.

Namun, setelah kekaisaran runtuh pada tahun 1918, kuil ini akhirnya dibuka untuk publik sebagai taman dan namanya berubah menjadi Kuil Surga.

Langit bulat, bumi persegi

Seluruh tata letak Kuil Surga adalah perwujudan fisik dari keyakinan dari masyarakat China kuno bahwa langit itu bulat, sementara bumi berbentuk persegi. Konsep ini terlihat jelas dari bentuk tembok pembatas kompleks kuil, di mana bagian utara terlihat melengkung tanpa sudut (melambangkan langit) dan bagian selatan bersudut siku (melambangkan bumi).

Bangunan utamanya seperti ruang berdoa untuk dewa panen (Qiniandian) dan altar melingkar (Huanqiutan), berbentuk lingkaran sempurna dan berdiri di atas pondasi berbentuk persegi. Warna dominan atapnya adalah biru langit yang terbuat dari keramik glasir yang dipilih khusus untuk menyimbolkan surga.

Qiniandian merupakan jantung dari kuil yang ada di kompleks Kuil Surga. Keseluruhan bangunan tiga tingkat setinggi 38 meter ini dibangun dari kayu tanpa menggunakan paku.

Dengan kubah berwarna biru, di dalamnya terdapat 28 pilar kayu raksasa yang menyangga atap. Pilar-pilar ini terbagi menjadi tiga barisan yaitu; 4 pilar di bagian dalam melambangkan 4 musim, 12 pilar tengah melambangkan 12 bulan, dan 12 pilar terluar melambangkan 12 shichen (satuan waktu tradisional China). Di sinilah kaisar berdoa supaya mendapatkan panen melimpah di setiap musim semi .

Bangunan penting lain yang ada di kompleks kuil ini adalah ruang tablet Dewa Langit atau Huangqiongyu. Bangunan bundar ini berbentuk serupa dengan Qiniandian, hanya saja memiliki ukuran yang jauh lebih kecil. Antara Qiniandian dengan Huangqiongyu dihubungkan oleh Danbiqiao (jalanan batu yang menyerupai jembatan) sepanjang 360 meter.

Ruang Huangqiongyu ini menyimpan lempengan suci milik Dewa Langit. Huangqiongyu dikelilingi oleh tembok gema atau Huiyinbi, yang bila seseorang berbisik di satu ujung, suaranya akan terbawa jelas ke ujung di seberangnya, berkat akustik tembok bundar yang sempurna .

Bangunan lain yang tidak kalah penting adalah panggung altar melingkar yang disebut Huanqiutan yang terletak di ujung selatan kompleks. Altar yang terbuat dari batu marmer ini memiliki tiga tingkat dan menjadi lokasi dari puncak ritual solstis di musim dingin.

Desain dari altar ini sangat sarat dengan simbol angka sembilan, mengingat angka sembilan merupakan angka tertinggi dalam bilangan (Yang) dan melambangkan kekaisaran. Setiap tingkat memiliki anak tangga dan pagar marmer berkelipatan sembilan.

Putra Langit

Pada masa itu, kaisar dianggap sebagai "Putra Langit" (Tianzi) sehingga memegang peran vital sebagai perantara antara manusia dan langit. Ritual tahunan di Kuil Surga, terutama saat titik balik matahari di musim dingin (Dongzhi), adalah acara negara terpenting yang harus dilakukan oleh kaisar sebagai putra langit.

Sebelum menjalani ritual, kaisar harus berpuasa selama tiga hari di Istana Berpuasa (Zhaigong). Pada hari ketika saat matahari mulai terbit, kaisar mulai mengenakan jubah upacara, memimpin prosesi, dan mempersembahkan doa serta kurban di atas Huanqiutan.

Kaisar harus memohon berkah langit untuk tahun mendatang dan tidak boleh ada kekeliruan dalam melakukan prosesi. Satu kesalahan kecil bisa dianggap sebagai pertanda buruk bagi bangsa China.

Taman rakyat

Kompleks kuil saat telah bertransformasi, tidak hanya sekadar menjadi obyek wisata, namun juga menjadi taman budaya bagi warga Beijing. Kuil Surga kerap dijadikan tempat untuk berkumpul warga yang memadati pelataran dan jalur hijau kuil.

Di jalur hijau yang rindang, biasanya kaum lansia berlatih senam taichi pada pagi hari. Tidak jarang ada juga kaum muda yang datang untuk berolahraga, berlatih menari, menyanyi paduan suara, serta bermain badminton.

Pada 1998 Kuil Surga masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO, dengan total pengunjung mencapai lebih dari 20 juta orang setiap tahunnya, seperti yang dipaparkan pejabat setempat.

Kuil surga atau Temple of Heaven adalah mahakarya yang mengabadi. Kompleks kuil ini bukan hanya peninggalan batu dan kayu, tapi juga cerminan peradaban China, tempat langit, bumi, manusia, dan sejarah bersatu dalam harmoni. Berkunjung ke sini adalah menyelami jiwa filosofis China dan menyaksikan warisan budaya yang terus hidup, dari ritual kaisar hingga senyum warga tua yang berolahraga di bawah naungan pohon cemara berusia ratusan tahun.

Oleh Maria Rosari Dwi Putri/ANTARA
  

Follow Borneotribun.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Tombol Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.