Jumat, 03 Maret 2023
Rabu, 01 Maret 2023
Hadiri Rakornas PEMDA dan FKUB, Wagub Ria Norsan Tekankan Kondusifitas Jelang Pemilu Tahun 2024
![]() |
Hadiri Rakornas Pemda dan FKUB Wagub Ria Norsan Tekankan Kondusifitas Jelang Pemilu Tahun 2024. |
TANGERANG - Wakil Gubernur Kalimantan Barat Drs. H. Ria Norsan M.M., M.H., menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tahun 2023 di Hotel Novotel Tangerang, Banten, Selasa (28/2/2023).
Rakornas ini mengangkat tema “Sinergi Memantapkan Kerukunan Umat Beragama Dalam Mewujudkan Pemilu Yang Aman, Damai dan Harmoni" dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro, dan turut dihadiri oleh Gubernur, Bupati/Walikota, Kaban Kesbangpol, Kepala Kanwil Kemenag dan Ketua FKUB se-Indonesia.
Seusai mengikuti kegiatan tersebut, Wagub Kalbar Ria Norsan menjelaskan akan pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama. Karena agama memainkan peranan yang penting dalam segala aspek kehidupan ini.
![]() |
Hadiri Rakornas Pemda dan FKUB Wagub Ria Norsan Tekankan Kondusifitas Jelang Pemilu Tahun 2024. |
“Kerukunan harus kita bangun sebagai modal utama menjaga integritas NKRI,” katanya.
Ia juga menyampaikan menjelang pilkada Tahun 2024, kepedulian masyarakat dan tokoh agama di Provinsi Kalbar sangat penting dalam menciptakan suasana Pemilu yang aman dan kondusif. Hal ini karena apabila tidak melihat hal tersebut secara arif dan bijaksana, akan mudah memercikkan konflik yang sulit untuk hindari sebagai akibat dari berbagai perbedaan yang ada.
Dirinya juga menyampaikan apresiasi atas peran seluruh Forkopimda serta instansi terkait yang telah berperan menjaga kerukunan dan kekompakan antar umat beragama di Provinsi Kalbar.
“Kekompakan antar umat beragama sangat diperlukan mengingat Kalbar masyarakatnya tergolong heterogen dan merupakan miniatur Indonesia. Atas nama Pemerintah Provinsi Kalbar, saya mengucapkan terima kasih kepada jajaran Forkopimda, FKUB, semua elemen dan masyarakat Kalbar yang telah bekerjasama dengan Pemerintah dalam upaya menjaga keamanan dan kerukunan antar umat beragama. Hal baik ini harus terus dijaga dan dipertahankan sehingga pembangunan Kalbar terus terjaga dan tanpa ada gangguan yang terkait SARA, terutama menjelang Pemilu 2024,” jelasnya.
![]() |
Hadiri Rakornas Pemda dan FKUB Wagub Ria Norsan Tekankan Kondusifitas Jelang Pemilu Tahun 2024. |
Lebih lanjut, ia menyampaikan suhu politik menjelang Pemilu kian meningkat. Potensi terjadinya konflik, terutama konflik horizontal, bukan tidak mungkin terjadi apabila tidak diantisipasi sejak dini.
Ia meminta peran FKUB untuk dapat mewujudkan Pemilu damai, aman dan sejuk dalam rangka mensukseskan pesta demokrasi Pemilu yang sebentar lagi akan digelar.
“Jagalah persatuan dan kerukunan bersama untuk mewujudkan Kalbar aman dan kondusif guna menyukseskan Pemilu 2024, serta selalu menumbuhkan semangat dan kerukunan antar umat beragama,” tegasnya.
Pada kesempatan sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri Suhajar Diantoro mengungkapkan, bahwa Rapat Koordinasi ini digelar oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam rangka untuk semakin memperkuat sinergi dalam memelihara kerukunan umat beragama di Indonesia, terlebih menjelang diselenggarakannya Pemilu dan Pilkada Serentak pada Tahun 2024 mendatang.
"Acara ini sangat penting karena kita menitipkan pesan khusus kepada rekan-rekan sekalian untuk menjaga kerukunan beragama di tempat kita semua berada," ungkap Suhajar Diantoro saat mewakili Menteri Dalam Negeri RI membuka rakornas tersebut.
Sekjen Kemendagri pun memberikan apresiasi atas kinerja FKUB dan menyampaikan pesan Menteri Dalam Negeri RI agar menjaga situasi tetap kondusif.
"Apalagi tugas kita semakin berat menyambut pesta demokrasi," ujarnya.
Seperti diketahui, FKUB memiliki peran sangat strategis dalam merawat kerukunan dan keberagaman di Indonesia, terutama dengan terus mensosialisasi nilai-nilai moderasi beragama dan toleransi di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu, Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro menambahkan bahwa pemerintah tetap mempertahankan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 (SKB 2 Menteri) soal syarat pendirian rumah ibadah.
Sebab, dia mengatakan, SKB 2 Menteri itu kerap ditafsirkan sebagai dasar untuk pelarangan penggunaan atau ibadah agama minoritas di Indonesia. Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mengingatkan para Kepala Daerah agar berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk melarang pembangunan rumah ibadah.
"Jadi nanti kalau kita mengevaluasi sebuah regulasi, harus berbasis penciptaan ketertiban. Hari ini kita belum sampai pada kesimpulan itu. Ya (pertahankan), itu yang kita tetap laksanakan," ujarnya.
Suhajar memastikan bahwa negara melindungi dan menjamin hak setiap warga dalam beribadah. Menurutnya, negara terus berupaya menciptakan situasi yang nyaman untuk semua umat beragama dalam beribadah.
"Siapapun orangnya, dilindungi dia, termasuk dilindungi pelaksanaan ibadahnya. Konflik-konflik yang ada di lapangan inilah yang harus dikelola dan diselesaikan oleh kita bersama secara arif dan bijaksana," pungkasnya.(aws)
Jumat, 24 Februari 2023
PAC dan Ranting PDI Perjuangan Bantu Sukseskan Coklit Data Pemilih Pemilu 2024
Survei SMRC: Suara Anggota NU dan Muhammadiyah Tersebar di 3 Tokoh
Kamis, 23 Februari 2023
Pantarlih Datangi Karolin, Laksanakan Coklit Data Pemilih Pemilu 2024
Sekda Kubu Raya Ajak Masyarakat Sukseskan pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang
Rabu, 22 Februari 2023
Hadir Sosialisasi Pemilu 2024, Yohanes Ontot Ingatkan Masyarakat Jangan Golput
Sabtu, 18 Februari 2023
Akankah Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024 Bermetamorfosa Menjadi Politik Kebangsaan?
![]() |
Gambar ilustrasi. Akankah Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024 Bermetamorfosa Menjadi Politik Kebangsaan?. |
MALANG – Pembahasan mengenai Politik identitas masih menjadi isu baru di Indonesia. Walaupun pada dasarnya aspek-aspek tersebut telah ada sejak lama, efek yang ditinggalkan baru dirasakan belum lama ini. Apalagi ketika bentuk politik identitas digunakan sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Berangkat dari pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu, dapat kita pahami bahwa imbas dari adanya politik identitas ini begitu hebat. Efek langsung dari peristiwa tersebut tentu saja sangat terasa ketika masa pemilu presiden 2019. Dalam peristiwa tersebut, begitu banyak isu bernuansa politik identitas yang beredar di masyarakat, terutama melalui sosial media. Dimana hal itu tentu saja berbahaya karena berpotensi menggiring opini masyarakat.
TVRI Jawa Timur dengan program Rumah Demokrasi mengangkat tema tentang “Waspada Identitas Politik” dengan pembawa acara Winda Gisela menghadirkan narasumber salah satunya adalah Rektor Universitas Ma Chung, Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, SE., M.Si. Winda Gisela selaku pembawa acara membuka acara dengan menyampaikan sekilas tentang politik identitas “kita tau bahwa politik identitas menjadi suatu hal yang banyak digunakan oleh partai politik dan elite politik dengan strategi untuk mendulang suara, kesamaan etnis, suku, agama selalu digunakan untuk mendapat dukungan dari masyarakat, apakah sebenarnya politik identitas harus kita waspadai saat pemilu 2024? Hal inilah yang akan menjadi pembahasan dengan narasumber di program rumah demokrasi.
Dalam kesempatan ini, Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, SE., M.Si menyampaikan bahwa identitas berupa sosok seseorang dengan suku, agama atau identitas lainnya sangat penting sebagai pencitraan. Namun, apabila identitas tersebut dikelola secara sengaja dan ada unsur politisasi untuk kepentingan pribadi, kelompok partai dalam rangka strategi untuk kemenangan pemilu merupakan hal yang perlu diwaspadai. Populisme pada politik identitas sangat potensi ditumpangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab ingin memecahbelah persatuan indonesia. Tugas bagi bangsa ini adalah meminimalisir bahkan menghilangkan politik identitas yang bersifat negatif. Indikasi-indikasi yang muncul akibat politik identitas harus langsung ditangani. Selain itu, masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai elite politik dan oknum tokoh agama agar memanfaatkan perbedaan suku, agama, ras menjadi politik identitas.
Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga akan menciptakan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia. Kuatnya tekanan dari kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung akan memberikan dampak buruk bagi pemeluk agama yang lain. Pemeluk agama minoritas akan merasa didiskriminasi, sehingga akan memunculkan perpecahan antar umat beragama. Belajar dari pengalaman pemilu serentak 2019, tidak menutup kemungkinan bahwa isu-isu itu akan kembali muncul dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Peristiwa yang lalu memiliki kesempatan besar untuk terus digaungkan oleh kelompok radikal demi keuntungan pribadi.
Kondisi aktual kehidupan politik kebangsaan saat ini telah mendorong kesadaran semua pihak untuk melakukan upaya nyata, penegasan dan peningkatan pemahaman kembali nilai-nilai kebhinekkaan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara, karena berdasarkan sejarah bangsa Indonesia telah terbukti bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, bangsa yang plural, dan bangsa yang memiliki kemampuan serta daya tahan untuk menjaga keharmonisan dalam keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dialektika tentang komitmen dasar berbangsa yang satu telah dilakukan secara elegan melalui pendekatan rasionalitas dan emosionalitas, bahkan spiritualitas (kajian dan perenungan agama melalui ritualitas para ulama dan agamawan) bersama-sama para pemikir dan pejuang kemerdekaan. Keanekaragaman identitas suku bangsa, etnis, agama, hingga adat istiadat, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, namun bisa menjadi potensi persoalan jika perbedaan di dalamnya tidak berhasil dikanalisasi dalam satu prinsip dasar kebangsaan yang mampu menjadi pijakan hidup bersama dalam suatu negara bangsa yaitu NKRI (Indonesia untuk semua). Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa digali dari nilai-nilai luhur kebangsaan yang hidup, tumbuh dan berkembang pada akar kebudayaan suku suku bangsa yang mendiami Nusantara dan telah disepakati menjadi pondasi dasar berdirinya NKRI. Pancasila merupakan dialektika dari sistem dan konsep kebangsaan yang ada dalam sejarah dunia (demokrasi ala barat “liberalisme”, negara agama, monarki, juga sosialisme).
Semua harus merasa memiliki Pancasila, tidak ada skat-skat SARA, dukungan politik, bahkan dalam posisi sebagai “pengusa” (rezim pemerintahan) pun bukan lagi penafsir tunggal atas Pancasila. Politik identitas seharusnya dapat dilebur menjadi politik kebangsaan, politik negara yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik karena politik kebangsaan, politik kenegaraan, dan politik nasionalisme yang berdasarkan Pancasila sebagai ideologi negara merupakan pengejawantahan dari politik kebhinnekaan yang didalamnya terikat keragaman tapi untuk kesatuan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesepakatan untuk memastikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, menghapus prinsip dominasi atas apapun, Kesetaraan dalam kemanusiaan, keamanan dan kesejahteraan umum bagi semua orang, kedamaian atas prinsip tepo seliro yang didasarkan kepada ideologi Pancasila yang akan memayungi keragaman dalam politik kebangsaan dan politik kenegaraan bagi seluruh warga negara tanpa ada labelisasi yang bernuansa SARA. Politik Identitas Mengancam Persatuan dan Kesatuan NKRI Politik Kebangsaan Pancasila yang bersifat multikultur secara konseptual memiliki makna sebagai anti tesis dari praktik politik identitas yang bersifat partikularistik.
Untuk pemilu mendatang kita membutuhkan sosok calon-calon pemimpin yang melakukan metamorfosa dari politik identitas menjadi politik kebangsaan. Sebagai negara yang multikultural serta demokratis, sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar Jawa juga bisa. Tidak hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-islam juga bisa. Dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnik semata, tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat. Akankah politik identitas menjelang pemilu 2024 bermetamorfosa menjadi politik kebangsaan? Hal ini bisa terjadi asalkan adanya kesadaran dari seluruh aspek pelaku politik yang mementingkan nilai-nilai kebhinekaan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara.
Prof. Dr. Murpin J Sembiring.MSi
Rektor Univ Ma Chung Malang
Mantan Ketua DPD Mapancas Jatim (Mahasiswa Pancasila)