Gaza dalam Krisis: Pelanggaran Gencatan Senjata, Serangan Brutal, dan Kelaparan Massal | Borneotribun.com

Jumat, 02 Mei 2025

Gaza dalam Krisis: Pelanggaran Gencatan Senjata, Serangan Brutal, dan Kelaparan Massal

Gaza dalam Krisis: Pelanggaran Gencatan Senjata, Serangan Brutal, dan Kelaparan Massal
Gaza dalam Krisis: Pelanggaran Gencatan Senjata, Serangan Brutal, dan Kelaparan Massal.

JAKARTA - Situasi di Jalur Gaza makin memburuk menjelang pertengahan tahun 2025. Setelah pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, serangan militer kembali diluncurkan dan menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, terutama di kalangan warga sipil. Blokade yang terus berlangsung memperparah krisis kemanusiaan, menyebabkan kelaparan massal dan kekurangan air bersih. Dunia internasional, termasuk Indonesia, semakin vokal dalam mengecam tindakan Israel yang dianggap melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia.

Pelanggaran Gencatan Senjata dan Kembalinya Serangan Brutal

Pada pertengahan Maret 2025, militer Israel melancarkan serangan udara dan darat ke sejumlah wilayah di Gaza, termasuk Khan Younis dan Rafah. Padahal sebelumnya wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai zona aman bagi warga sipil. Serangan ini merupakan pelanggaran sepihak terhadap kesepakatan gencatan senjata yang sudah disepakati sebelumnya.

Dalam serangan terbaru ini, lebih dari 100 warga Palestina tewas dalam waktu kurang dari 48 jam. Rumah-rumah hancur, fasilitas umum lumpuh, dan banyak keluarga kehilangan tempat tinggal. Yang paling mengkhawatirkan adalah fakta bahwa sebagian besar korban merupakan perempuan dan anak-anak.

Langkah ini langsung menuai kecaman dari berbagai organisasi kemanusiaan dan negara-negara yang selama ini menjadi penengah konflik. Banyak pihak menyebut bahwa tindakan ini merupakan bentuk agresi militer yang tidak proporsional dan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.

Kelaparan Massal dan Krisis Kemanusiaan

Blokade total terhadap Gaza yang diterapkan sejak awal Maret 2025 menjadi penyebab utama dari meningkatnya krisis kelaparan. Penutupan akses masuk di perbatasan Karm Abu Salem dan Beit Hanoun membuat truk bantuan kemanusiaan tidak bisa masuk ke wilayah tersebut. Akibatnya, warga Gaza terputus dari suplai makanan, air bersih, dan obat-obatan.

Kelaparan mulai menyebar secara masif, dan laporan dari berbagai organisasi kemanusiaan menunjukkan bahwa hampir setengah dari penduduk Gaza kini menderita kekurangan gizi parah. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan, dengan peningkatan signifikan pada kasus malnutrisi akut.

Tidak hanya makanan, akses terhadap air bersih juga menjadi sangat terbatas. Banyak warga terpaksa mengonsumsi air asin atau tercemar, yang menyebabkan berbagai penyakit pencernaan dan infeksi kulit. Rumah sakit tidak lagi mampu menangani jumlah pasien yang terus bertambah akibat kurangnya peralatan medis dan obat-obatan.

Kerusuhan dan Penjarahan karena Putus Asa

Karena kelaparan yang ekstrem, berbagai wilayah di Gaza mulai dilanda kerusuhan. Warga yang frustrasi dan putus asa mulai menyerbu toko-toko dan gudang penyimpanan bantuan. Salah satu insiden paling mencolok adalah penjarahan besar-besaran di kompleks milik UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.

Ribuan orang dilaporkan menyerbu fasilitas tersebut untuk mencari makanan, air, dan obat-obatan. Dalam prosesnya, banyak kendaraan dan peralatan dirusak. Para relawan kemanusiaan mengungkapkan bahwa kondisi ini menandakan betapa rusaknya struktur sosial dan betapa dalamnya rasa frustasi warga Gaza.

Kerusuhan ini juga menambah tekanan terhadap organisasi-organisasi bantuan internasional yang selama ini berupaya membantu. Banyak di antara mereka kini harus mempertimbangkan kembali kehadiran mereka karena situasi keamanan yang memburuk.

Korban Jiwa dan Kerusakan Infrastruktur

Sejak pecahnya konflik pada Oktober 2023, jumlah korban jiwa di Gaza telah melebihi 52.000 orang. Sebagian besar korban adalah warga sipil, termasuk lebih dari 20.000 anak-anak dan wanita. Jumlah luka-luka bahkan melebihi 118.000 orang, banyak di antaranya mengalami cacat permanen akibat luka berat dan keterbatasan perawatan medis.

Selain itu, infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, dan saluran air bersih mengalami kerusakan parah atau bahkan hancur total. Lebih dari setengah fasilitas kesehatan di Gaza tidak lagi berfungsi. Warga harus hidup di tenda-tenda darurat, tanpa akses listrik, air bersih, atau fasilitas sanitasi yang layak.

Kecaman Dunia Internasional

Berbagai negara telah mengecam keras pelanggaran yang dilakukan Israel. Indonesia, dalam sidang Mahkamah Internasional yang digelar pada awal Mei 2025, menyatakan bahwa Israel telah melanggar hukum internasional, termasuk piagam PBB dan konvensi Jenewa. Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa tindakan Israel telah menghilangkan hak rakyat Palestina untuk hidup aman dan menentukan nasib sendiri.

Kecaman juga datang dari negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan organisasi seperti Amnesty International serta Human Rights Watch. Mereka menyerukan agar segera dilakukan penyelidikan independen atas dugaan kejahatan perang yang terjadi di Gaza. Selain itu, desakan untuk memberikan sanksi terhadap Israel semakin kuat, terutama dari negara-negara dengan populasi muslim besar.

Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan konkret dari Dewan Keamanan PBB yang mampu menghentikan serangan dan membuka akses kemanusiaan ke Gaza. Veto dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat masih menjadi penghalang utama untuk lahirnya resolusi tegas terhadap Israel.

Kondisi Gaza saat ini bukan sekadar konflik bersenjata biasa, tetapi sudah masuk dalam kategori krisis kemanusiaan besar. Pelanggaran gencatan senjata, serangan militer tanpa henti, dan blokade total telah menciptakan penderitaan yang luar biasa bagi jutaan warga Palestina.

Dunia tidak bisa terus diam. Diperlukan langkah nyata untuk menghentikan kekerasan, membuka akses bantuan kemanusiaan, dan menegakkan keadilan internasional. Rakyat Gaza membutuhkan solidaritas dan aksi nyata dari masyarakat global, bukan hanya sekadar pernyataan kecaman.

Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan hanya masa depan Palestina yang terancam, tetapi juga kredibilitas hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh dunia.

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.