Inflasi dan Harga Emas: Tantangan Ekonomi dan Solusinya di Indonesia | Borneotribun

Selasa, 03 Juni 2025

Inflasi dan Harga Emas: Tantangan Ekonomi dan Solusinya di Indonesia

Inflasi dan Harga Emas: Tantangan Ekonomi dan Solusinya di Indonesia
Inflasi dan Harga Emas: Tantangan Ekonomi dan Solusinya di Indonesia.

BORNEOTRIBUN - Dalam isu terkini kita dihadirkan dengan situasi harga emas melonjak dengan cepat. Harga yang tadinya per 25 Juli 2023 sebesar Rp1.071.000/gr, menjadi naik per 18 April 2025 hingga Rp1.965.000/gr. Lonjakan harga emas tersebut jika kita lihat dari sudut pandang inflasi berkaitan langsung dengan penurunan daya beli uang yang kita miliki.

Inflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan terus-menerus dalam suatu periode waktu, sehingga menyebabkan daya beli uang menurun dan masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan barang dan jasa yang sama.

Inflasi bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti meningkatnya biaya produksi, naiknya permintaan masyarakat, atau bertambahnya jumlah uang yang beredar di perekonomian masayarakat. 

Jika inflasi terlalu tinggi dan tidak terkendali, dampaknya bisa membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih sulit, karena harga kebutuhan pokok menjadi mahal. 

Namun, inflasi yang stabil dan terkendali justru dianggap sehat bagi pertumbuhan ekonomi, karena mendorong investasi dan konsumsi. 

Berdasarkan data BRS nasional, tingkat inflasi (Y-on-Y) bulan Maret 2023 sebesar 4,97 persen, sedangkan tingkat inflasi (Y-on-Y) bulan Maret 2024 sebesar 3,05 persen, dan tingkat inflasi (Y-on-Y) bulan Maret 2025 sebesar 1,03 persen.

Dari data tersebut kita bisa mengetahui telah terjadi penurunan terhadap tingkat inflasi nasional dari tiga tahun terakhir.

Inflasi (Y-on-Y) terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 2,07 persen; kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 1,41 persen; kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,95 persen; kelompok kesehatan sebesar 1,80 persen; kelompok transportasi sebesar 0,83 persen; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,17 persen; kelompok pendidikan sebesar 1,89 persen; kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran  sebesar 2,26 persen; dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 8,71 persen.

Sementara kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yaitu: kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 4,68 persen dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,24 persen.

Ketika kita meninjau lebih dalam lagi tentang tingkat inflasi secara nasional, yang kita lihat hanya gambaran menyeluruh dari penurunan daya beli uang atau rupiah secara rata-rata nasional yang dipengaruhi dengan kenaikan rata-rata harga barang nasional.

Akan tetapi jika kita kupas kembali tingkat inflasi nasional tersebut maka masih terdapat daerah yang mengalami inflasi dengan tingkat persentase yang cukup tinggi yaitu terjadi di daerah Provinsi Papua Pegunungan sebesar 8,05 persen periode Maret 2025.

Kenaikan ini yang cukup besar dan tentunya membuat kehidupan masyarakat di daerah tersebut cukup sulit. Harga barang yang semakin mahal yang tidak diimbangi dengan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Papua Pegunungan akan meningkatkan ”kesengsaraan” masyarakat di daerah tersebut. 
Sehingga diperlukan peran pemerintah untuk mengendalikan tingkat inflasi agar tidak terlalu tinggi dan tetap terkontrol sekitar 4 persen dimana seperti yang kita tahu jika dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional cukup jauh perbedaannya yang hanya sebesar 1,03 persen. 

Langkah - langkah pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang perlu menjadi perhatian adalah kesediaan sumber energi. Salah satu poin penting dalam peningkatan dan ”ketidakterkendalian” tingkat inflasi adalah keterbatasannya pasokan energi seperti BBM dan gas bumi.

Keterbatasan pasokan energi di daerah – daerah T3 tersebut mengakibatkan multiplier effect akan kenaikan harga bahan pokok dan menyebabkan harga-harga lainnya ikut mengalami kenaikan. Kemudian yang bisa dilakukan masyarakat untuk menghadapi Inflasi adalah dengan menjaga nilai rupiah yang dimiliki.

Seperti dengan menginvestasikannya pada pembelian emas dan instrumen investasi lainnya. Kenaikan emas bisa terjadi karena sifat emas yang merupakan logam mulia sehingga menjadi komoditas terbatas di dunia.

Kita dapat menganalogikannya dengan jumlah penduduk di dunia yang semakin bertambah dibandingkan dengan jumlah emas yang tetap, maka menyebabkan emas akan mengalami kenaikan pada jumlah pembelian atau permintaan dan hal itu akan meningkatkan harga jual emas itu sendiri.

Sehingga untuk menghadapi inflasi perlu adanya peran dari pemerintah dalam mengontrol tingkat inflasi serta peran masyarakat untuk menjaga nilai uang yang dimiliki dengan menginvestasikannya dan turut dalam menjaga elastisitas permintaan barang dengan tidak panic buying dimomen hari besar keagamaan atau dihari-hari tertentu.

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.