Bumi Ternyata Berada di Tengah "Ruang Kosong Raksasa" di Alam Semesta, Ini Dampaknya bagi Ilmu Astronomi | Borneotribun

Selasa, 15 Juli 2025

Bumi Ternyata Berada di Tengah "Ruang Kosong Raksasa" di Alam Semesta, Ini Dampaknya bagi Ilmu Astronomi

Bumi Ternyata Berada di Tengah "Ruang Kosong Raksasa" di Alam Semesta, Ini Dampaknya bagi Ilmu Astronomi
Bumi Ternyata Berada di Tengah "Ruang Kosong Raksasa" di Alam Semesta, Ini Dampaknya bagi Ilmu Astronomi.

JAKARTA - Pernah kepikiran nggak kalau ternyata Bumi dan galaksi kita, Bima Sakti, bisa jadi berada di dalam semacam “ruang kosong” super besar di alam semesta? Bukan dongeng sci-fi, ini adalah teori yang dikembangkan oleh para astronom dari Universitas Portsmouth, Inggris.

Mereka menyebut bahwa kita mungkin saja hidup di dalam sebuah kosong besar berukuran sekitar dua miliar tahun cahaya, di mana kepadatan materi di dalamnya sekitar 20% lebih rendah dibanding wilayah alam semesta lainnya. Teori ini muncul untuk menjawab misteri yang bikin pusing banyak ilmuwan: kenapa pengukuran kecepatan perluasan alam semesta selalu berbeda-beda? Fenomena ini disebut sebagai Hubble Tension atau "Ketegangan Hubble".

Asal-usul Teorinya: Sudah Dicurigai Sejak Tahun 1990-an

Sebenarnya, ide tentang “kita tinggal di ruang kosong” bukan hal baru. Di tahun 1990-an, para astronom sudah mulai bertanya-tanya kenapa jumlah galaksi di sekitar kita lebih sedikit dibanding bagian alam semesta lainnya. Tapi baru sekarang, dengan teknologi yang lebih canggih dan data yang lebih lengkap, teori ini mulai punya pondasi kuat.

Apa yang Membuktikan Kita di Dalam Ruang Kosong?

Kuncinya ada di Baryon Acoustic Oscillations (BAO), atau kalau disederhanakan: gelombang suara kuno yang tercipta setelah Ledakan Besar (Big Bang). Gelombang ini membeku dalam bentuk pola materi di alam semesta, jadi semacam “penggaris kosmik” buat mengukur sejarah perluasan alam semesta.

Para peneliti menemukan bahwa kemungkinan kita hidup di dalam kekosongan ini 100 kali lebih besar dibanding kemungkinan kita tinggal di area yang memiliki kepadatan rata-rata.

Kenapa Ini Penting? Karena Bisa Mengubah Cara Kita Melihat Alam Semesta

Masalahnya sekarang, dua metode utama dalam mengukur konstanta Hubble — angka yang menunjukkan seberapa cepat alam semesta mengembang — memberikan hasil yang berbeda:

  • Pengamatan dari radiasi latar kosmik (bekas Big Bang) menunjukkan angka sekitar 67 km/detik/Megaparsec.

  • Sementara pengamatan dari bintang-bintang terdekat (seperti bintang tipe sefeid) menunjukkan hasil sekitar 73,2 km/detik/Megaparsec.

Sekilas bedanya cuma beberapa angka, tapi ini bisa berarti besar. Perbedaan ini bahkan bisa menggoyang dasar teori kosmologi modern yang dikenal sebagai Model Standar Kosmologi.

Kalau teori ini benar, maka ruang kosong yang kita huni membuat alam semesta di sekitar kita mengembang lebih cepat dibanding wilayah yang lebih padat. Artinya, usia dan struktur alam semesta bisa jadi tidak seperti yang kita kira selama ini.

Langkah selanjutnya bagi para ilmuwan adalah membandingkan model “alam semesta kosong” ini dengan model lain serta menguji kembali asumsi bahwa materi di alam semesta terdistribusi secara merata.

  

Follow Borneotribun.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Tombol Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.