Kampanye Pemilu 2024: Perang di Ruang Digital | Borneotribun.com -->

Selasa, 06 Februari 2024

Kampanye Pemilu 2024: Perang di Ruang Digital

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim AsyÕari (tengah) memimpin upacara pelantikan anggota KPU Kabupaten/Kota yang baru di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (3/2/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim AsyÕari (tengah) memimpin upacara pelantikan anggota KPU Kabupaten/Kota yang baru di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (3/2/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa.
JAKARTA - Debat kelima Pilpres 2024, yang juga merupakan debat pamungkas yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), telah berlangsung pada malam Ahad (4/2). 

Pertemuan para calon presiden ini mengusung tema yang mencakup berbagai aspek penting, mulai dari pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, hingga kesejahteraan sosial dan inklusi.

Saat ini, tahapnya telah mencapai saat dimana para pemilih diundang untuk menentukan pilihannya pada tanggal 14 Februari mendatang. 

Selain memilih presiden, penting untuk diingat bahwa pemilihan umum ini juga menentukan perwakilan kita di badan legislatif mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, termasuk wakil provinsi di tingkat nasional atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilu tahun ini didominasi oleh pemilih muda. 

Dari total 204.807.222 pemilih yang terdaftar, 33,60 persen di antaranya adalah pemilih milenial (kelahiran 1981-1996) dan 22,85 persen adalah generasi Z (kelahiran 1997-2012).

Pemilih muda ini, yang terdiri dari pemilih milenial dan generasi Z, dikenal akrab dengan teknologi dan internet. 

Mereka hidup dalam era di mana koneksi digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Generasi Z, yang sering disebut sebagai generasi pertama yang lahir dalam era digital, telah terhubung dengan internet, media sosial, dan teknologi sejak masa kecil mereka. Mereka mampu memanfaatkan teknologi dengan sangat baik.

Kehadiran mereka secara besar-besaran di ruang digital seperti media sosial X, Tiktok, Instagram, bahkan Facebook adalah fenomena yang tidak mengherankan lagi.

Sebuah survei oleh McKinsey pada tahun 2022 menunjukkan bahwa generasi Z lebih aktif di media sosial dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. 

Mereka menghabiskan lebih dari satu jam setiap hari untuk berinteraksi dengan media sosial.

Fenomena ini telah disadari oleh para politisi yang berusaha meraih suara dari kelompok usia ini. 

Oleh karena itu, kampanye dalam Pemilu 2024 jauh lebih fokus pada ruang digital. 

Teknologi kecerdasan buatan pun diperkenalkan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih muda ini.

Menurut pemantauan dari Indonesian Corruption Watch (ICW), para kandidat presiden dan wakil presiden telah menghabiskan dana besar untuk kampanye politik di platform media sosial seperti Facebook dan Instagram.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kampanye di dunia digital dalam pesta demokrasi kali ini. Tim kampanye saling bersaing dalam strategi dan kreativitas untuk mencapai algoritma pemilih. 

Namun, ada kekhawatiran bahwa algoritma tersebut dapat memperkuat polarisasi dan mengurangi keragaman gagasan di ruang publik.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi generasi Z, yang mungkin belum memiliki pengalaman yang cukup dalam proses demokrasi. 

Berbeda dengan generasi milenial yang telah terbiasa dengan proses pemilihan. 

Ada kekhawatiran bahwa generasi Z dapat menjadi pemilih yang lebih emosional dan kurang mempertimbangkan secara rasional. 

Sebagai pemilih yang ideal, rasionalitas harus menjadi pertimbangan utama.

Namun, menjadi pemilih yang rasional dalam era media sosial bukanlah hal yang mudah. Diperlukan usaha ekstra untuk mencari informasi yang akurat dan mengkaji visi-misi dari calon pemimpin dengan cermat. 

Penting untuk tidak terbawa emosi dalam memilih, hanya karena popularitas atau gimmick politik di media sosial.

Profesor Yuda Turana, seorang ahli neurologi dan Rektor Unika Atma Jaya, mengakui bahwa emosi dapat memengaruhi keputusan seseorang. 

Oleh karena itu, dalam proses pemilihan, penting untuk tetap berpikir secara rasional dan tidak terjebak dalam emosi yang sementara.

Memilih pemimpin dan wakil di parlemen bukanlah keputusan yang seharusnya diambil secara gegabah. Keputusan ini akan memiliki dampak jangka panjang pada kehidupan kita. 

Oleh karena itu, mengambil jarak sejenak dari media sosial dan melakukan penelitian yang mendalam sebelum memilih adalah langkah yang bijaksana.

Pemilih harus memilih berdasarkan penilaian rasional, bukan karena faktor-faktor seperti identitas sosial atau popularitas. 

Memilih dengan bijaksana adalah kunci untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik bagi masa depan negara ini.

Warta: Antara/Indriani
Editor: Yakop

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar