Pontianak - Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, mengungkapkan persoalan serius konflik agraria yang masih terus berlangsung di sejumlah wilayah di Kalbar, utamanya akibat banyaknya desa dan lahan perkebunan yang berada di kawasan hutan dan wilayah yang belum memiliki kejelasan status tata ruang.
"Kalimantan Barat memiliki wilayah yang sangat luas, bahkan mencapai 1,1 kali luas Pulau Jawa. Kalbar terdiri dari 12 kabupaten, 2 kota, 174 kecamatan, 99 kelurahan, dan 2.046 desa dan dari jumlah itu, sebanyak 1.157 desa berada di kawasan sekitar hutan," kata Krisantus dalam rapat bersama Komisi II DPR RI, di kantor Gubernur Kalbar, Rabu.
Ia menyebutkan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan perkebunan yang membuka lahan di luar Rencana Garis Umum (RGU), bahkan sampai melintasi batas wilayah kabupaten lain. Hal ini kerap memicu konflik antara perusahaan dengan masyarakat, yang juga kerap kali menjadi korban kriminalisasi saat mengambil hasil hutan seperti kayu, meski tinggal di kawasan tersebut sejak lama.
"Banyak desa kami berada di kawasan hutan lindung dan konservasi, bahkan kawasan wisata. Ini menyulitkan warga, padahal mereka sudah tinggal di sana jauh sebelum penetapan kawasan tersebut," katanya.
Ia mencontohkan, banyak laporan masyarakat yang ditangkap hanya karena mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk itu, Krisantus meminta dukungan Komisi II DPR RI untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut, salah satunya melalui peninjauan kembali data-data kawasan dan penyelarasan informasi antara data Kementerian ATR/BPN dengan data milik kabupaten/kota.
"Kita perlu sinkronisasi data agar penyelesaian masalah agraria ini bisa tepat sasaran," katanya.
Selain soal agraria, Krisantus juga menyoroti pentingnya optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia menyebut Kalbar kaya akan sumber daya alam seperti tambang bauksit, batu bara, uranium, dan emas, namun belum dikelola secara maksimal.
"Kami mendorong optimalisasi PAD dengan memanfaatkan potensi sub-daerah yang selama ini belum tergarap dengan baik," katanya.
Di tempat yang sama, Bupati Landak, Karolin Margret Natasa juga menyampaikan beberapa persoalan yang muncul berkaitan dengan sengketa tanah antara masyarakat dan perusahaan perkebunan, mulai dari skala kecil, menengah hingga besar. Hingga saat ini, kami masih terus mengupayakan mediasi untuk penyelesaiannya.
"Contohnya, terdapat kebun-kebun yang belum memiliki HGU (Hak Guna Usaha), namun sudah mengantongi izin usaha perkebunan. Ini menjadi masalah karena belum ada regulasi yang jelas mengenai sanksi atas kebun tanpa HGU. Apakah bisa dicabut? Kalau dicabut, biasanya kami justru digugat di pengadilan," kata Karolin.
Dia mengungkapkan, beberapa perusahaan besar di Kabupaten Landak, seperti Wilmar dan grup Jarum, diketahui belum memiliki HGU meskipun telah membangun kebun selama puluhan tahun.
"Setelah saya dilantik, kami sudah memanggil perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka mengaku telah memulai proses administrasi pengurusan HGU, namun masih terkendala di sisi administrasi," tuturnya.
Misalnya, PT Hilton Duta Lestari masih dalam proses di Kanwil ATR BPN Provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan PT Lingkar Indah Plantation dan PT Gemilang Sawit Kencana (grup Jarum/HPI) prosesnya berada di ATR BPN Pusat, dan sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun tanpa kejelasan hasil.
"Sebagai pemerintah daerah, posisi kami adalah sebagai wasit, di satu sisi, investasi memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena membuka lapangan kerja dan membuka akses ke wilayah terpencil. Tapi di sisi lain, kami juga berharap investasi ini memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar sesuai dengan amanat undang-undang," kata Karolin.
Sebagai bentuk kepastian hukum dan perlindungan masyarakat, Pemerintah Kabupaten Landak telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018.
"Jika berdasarkan regulasi nasional kebun masyarakat minimal 20 persen, maka di Landak kami tetapkan minimal 30 persen. Perda ini pernah digugat hingga Mahkamah Agung, namun puji Tuhan kami menang karena semangatnya adalah keadilan bagi masyarakat," tambahnya.
Namun pelaksanaannya masih menjadi kendala. Pola kemitraan dan realisasi kebun untuk masyarakat tidak selalu berjalan sesuai ketentuan. Untuk kebun milik pribadi (perorangan) juga berbeda mekanismenya, karena itu termasuk kategori kebun rakyat mandiri.
"Kami juga menemukan adanya HGU yang ditelantarkan, izin HGU-nya ada, tapi di lapangan tidak digarap, tidak dirawat. Karyawan tidak digaji, petani mitra tidak menerima haknya dan kami sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali. Namun, karena pencabutan izin bukan wewenang kami di daerah, prosesnya menjadi tersendat," katanya.
Untuk itu Karolin meminta petunjuk dan tindak lanjut dari ATR/BPN. HGU yang tidak produktif dan terbengkalai ini sudah berkali-kali dimediasi, tapi sampai hari ini tidak ada perkembangan.
"Mohon agar pihak BPN Landak juga turut menindaklanjuti," katanya.
Pewarta : Rendra Oxtora/ANTARA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS