Jakarta, 14 Juni 2025 - Di tengah maraknya makanan olahan dan pola konsumsi modern, mengolah dan mengonsumsi kembali pangan lokal guna menjaga identitas budaya dan ketahanan pangan serta memperkuat hubungan dengan lingkungan sekitar menjadi sebuah langkah penting bagi masyarakat.
Melestarikan keberagaman pangan lokal berarti mendorong pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Hal ini mengemuka dalam Lingkar Diskusi bertajuk “Merawat Cerita-Cerita Pangan Lokal” yang diselenggarakan bersama oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial atau Humanis, Jumat (13/6), di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pertemuan yang dimoderatori oleh Direktur Eksekutif Roemah Inspirit Budhita Kismadi, menghadirkan beberapa narasumber seperti Inisiator Nusantara Food Biodiversity Ahmad Arif, Co-Founder Nusa Gastronomy Chef Ragil Imam Wibowo, Finalis Masterchef Indonesia Laode Saiful Rahman, Public Relations & Fundraising Officer IDEP Foundation Rodearni Purba, dan Peneliti Semesta Sintang Lestari Esty Yuniar.
Rodearni mengatakan bahwa program yang dilakukan oleh IDEP Foundation di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, berfokus pada pendekatan permakultur, yakni sistem pengelolaan tanah dan sumber pangan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
“Bicara ketahanan pangan seringkali bersifat makro, padahal kebutuhan pangan sangat beragam.
Melalui pendekatan yang dilakukan oleh IDEP, kita bisa melihat bagaimana ketahanan pangan dapat ditingkatkan ke level keluarga dan komunitas,” ujar Rodearni.
Program pelatihan permakultur, seperti yang dilakukan oleh IDEP Foundation di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, berhasil menginspirasi petani untuk mengembangkan praktik agroekologi yang tidak hanya produktif, tetapi juga menjaga siklus alam dan memperkuat kemandirian pangan keluarga.
IDEP Foundation, sebagai organisasi yang bergerak dalam pengembangan sistem pertanian berkelanjutan berbasis permakultur di Indonesia, telah menjalankan berbagai pelatihan dan pendampingan bagi petani lokal agar mampu mengelola lahannya secara regeneratif dan mandiri.
Rodearni menambahkan bahwa program pelatihan permakultur menawarkan opsi alternatif untuk mengelola lahan yang ada.
“Bahkan, pekarangan rumah yang sebelumnya adalah lahan kosong dapat dimanfaatkan untuk produksi pangan yang difokuskan pada konsumsi keluarga,” tambahnya.
Riset IDEP Foundation menemukan ada banyak potensi pangan lokal khas yang hanya ada di Kapuas Hulu.
“Masyarakat belum menggunakan pangan yang ada karena hanya tahu mengolahnya untuk satu jenis [makanan] tertentu. IDEP menginisiasi pelatihan mengolah pangan lokal agar memiliki nilai tambah,” kata Rodearni.
Pada program pemberdayaan IDEP Foundation, petani juga dibekali pengetahuan untuk beralih dari praktik pertanian monokultur ke sistem pertanian regeneratif, serta diberikan pemahaman bahwa pertanian bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan kesehatan dan berkelanjutan.
“Perlu dilakukan peningkatan kapasitas dalam sektor pertanian, terutama aktor-aktornya seperti petani.” Di samping itu, dalam mendukung keanekaragaman hayati pertanian berkelanjutan dan upaya kembali ke pangan lokal, hal yang juga penting dilakukan adalah mendokumentasikan keragaman pangan dan budayanya supaya sumber daya dan sumber pengetahuan di dalamnya tidak hilang.
Upaya ini dilakukan oleh Nusantara Food Biodiversity yang menyajikan ragam data dan budaya dari pangan lokal mulai dari proses produksi, panen, pengolahan, cara penyimpanan dan penyajiannya, hingga sejarah dan kebijakan terkait pangan di seluruh Indonesia.
“Kita harus jaga itu [pangan lokal] supaya tidak hilang karena yang tahu cara mengolahnya adalah masyarakat lokal. Misalnya, ada jenis tanaman kacang yang beracun di Nusa Tenggara Timur, tapi masyarakat kita tetap bisa mengolahnya secara khusus untuk dimakan,” jelas Arif.
Gerakan Nusantara Food Biodiversity, kata Arif, terus mengajak orang muda sebagai konsumen pangan lokal untuk mendokumentasikan identitas pangan dan budayanya terkait cara mengolah, menyajikan, serta mengetahui cerita di baliknya.
“Perlu menanamkan rasa kebanggaan mereka pada pangan lokal yang dimiliki daerahnya. Sejauh ini, lebih dari 500 data pangan daerah dari Aceh hingga Papua berhasil terdokumentasi dan semua orang bisa bergabung sebagai kontributor,” kata Arif.
Inovasi untuk pangan lokal lestari Dalam diskusi tersebut juga membahas berbagai inovasi untuk melestarikan keragaman pangan dan budaya di Indonesia.
Pangan lokal dikemas secara populer agar dapat menarik minat konsumsi masyarakat.
Inovasi tersebut disampaikan oleh Chef Ragil yang menyajikan kuliner nusantara dengan konsep modern, yaitu melibatkan seni dan pemaknaan dari makanan.
“Banyak sekali daerah-daerah dengan resep lokal yang belum diketahui oleh publik, termasuk dari komunitas adat dan petani kecil yang sangat menarik untuk terus dieksplorasi. Resep tersebut kami kembangkan dengan tetap menghormati nilai-nilai budaya dan kearifan lokalnya,” tutur Chef Ragil.
Chef Ragil menekankan pula pentingnya rasa kebanggaan masyarakat terhadap produk yang ada di daerah dan mengolahnya agar bisa memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
“Misalnya, sukun yang tersebar luas dari Aceh hingga Papua dapat diolah menjadi keripik yang nikmat. Sukun juga dapat dimasak menjadi makanan modern yang dapat dijual di cafe,” ujarnya.
Contoh lainnya, kata dia, di Kalimantan ada terong asam, namun hanya diolah untuk satu atau dua jenis masakan.
Padahal, itu dapat dibuat sebagai bahan isi kue, selai, dan buah kering.
Senada dengan Chef Ragil, Chef Laode, juga melakukan hal serupa dengan menonjolkan kekayaan Nusantara yang menggunakan bahan-bahan lokal pada masakannya.
“Sebagai orang muda yang mendalami ilmu gastronomi daerah, saya memperkenalkan makanan khas daerah dengan cara kekinian tanpa menghilangkan budaya dan tradisinya,” ujar Laode yang berasal dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
Sebelumnya, Chef Laode mengunjungi Sumatera Barat untuk mencicipi Nasi Padeh.
Makanan ini terbuat dari beras yang dicampur dengan berbagai jenis tumbuhan dan rempah.
Inspirasi ini dibawa ke Sulawesi dimana terdapat aneka jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi.
Begitu pula dengan berbagai macam jenis nasi yang terbuat dari singkong dan jagung.
Selain itu, ia juga pernah menyambangi Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat untuk berbagi pengetahuan dengan orang-orang muda untuk mendokumentasikan pangan lokal di sana.
Menanggapi hal-hal yang dibagikan oleh narasumber, Esty sebagai orang muda dari Sintang sekaligus bagian dari Semesta Sintang Lestari, sebuah badan yang berfokus pada riset dan komoditas di kabupaten Sintang, turut memberikan pandangannya.
Ia menjelaskan inovasi yang dikembangkan, yaitu pemanfaatan Ikan Toman yang berprotein tinggi sehingga dapat membantu upaya untuk mengatasi masalah stunting yang cukup tinggi di Sintang.
“Kami berinovasi membuat biskuit dari Ikan Toman agar dapat dikonsumsi oleh anak-anak,” ucap Esty.
Produk tersebut mendapat respon positif dan saat ini sedang berjalan di kabupaten Sintang.
Dia juga mendorong masyarakat agar menanam sayuran yang dimakan untuk sehari-hari karena ini salah satu cara untuk mengembalikan pangan lokal.
Para pembicara sepakat bahwa menghidupkan kembali pangan lokal adalah tugas bersama demi masa depan yang berkelanjutan.
Dimulai dari melakukan praktik pertanian berkelanjutan, mendokumentasikan ragam pangan lokal, membuat inovasi kuliner untuk memperkenalkannya pada publik luas.
Sehingga, isu pangan lokal tetap relevan dan dibicarakan dalam diskusi publik di tengah tantangan kerawanan pangan dan perubahan iklim.
Diharapkan, upaya-upaya ini dapat mendorong isu di lingkup pemerintahan tentang pentingnya peran pangan lokal dalam membangun ketahanan pangan di tingkat kabupaten sekaligus mendorong upaya konkret yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini merupakan suatu ruang dialog berkelanjutan dan aman untuk bertukar pembelajaran tentang berbagai inisiatif aksi iklim yang dilakukan secara lintas-sektor atau dikenal dengan Ruang Setara Lestari yang digagas oleh Humanis.
LTKL sebagai mitra kolaborator berpartisipasi dalam dialog tersebut sebagai bagian dari amplifikasi narasi terkait alam, pangan dan budaya, serta membangun momentum kolaboratif menuju Festival Lestari 2026 di Kalimantan Barat dimana tiga kabupaten Kapuas Hulu, Sanggau, dan Sintang telah ditetapkan sebagai tuan rumah bersama.
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS