Berita Borneotribun.com: Lifestyle Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Lifestyle. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lifestyle. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Juli 2024

Waspadai Gejala Diabetes pada Anak: Pentingnya Deteksi Dini dan Edukasi

Waspadai Gejala Diabetes pada Anak: Pentingnya Deteksi Dini dan Edukasi. (Gambar ilustrasi)
Waspadai Gejala Diabetes pada Anak: Pentingnya Deteksi Dini dan Edukasi. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Dokter anak sekaligus Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), menekankan pentingnya bagi orang tua untuk memahami gejala diabetes pada anak. Ia menjelaskan, diabetes memiliki gejala yang dikenal dengan trias diabetes: polidipsi (sering minum), poliuri (sering kencing), dan polifagi (sering lapar). 

“Sangat penting orang tua mengetahui gejala diabetes pada anak dengan memahami trias diabetes yaitu polidipsi, poliuri, polifage. Gejala diabetes tipe 1 dan tipe 2 sebenarnya sama, anaknya sering minum, sering kencing, dan sering lapar terus, jadi mesti waspada pada anak-anak yang dia minumnya banyak, kencingnya banyak, laper terus apalagi minumnya ingin yang manis terus ini gejala diabetes,” kata Piprim pada Minggu (21/7/2024).

Dr. Piprim juga mengungkapkan bahwa sebanyak 75 dari 100 orang, baik anak-anak maupun dewasa, tidak sadar bahwa mereka terkena diabetes. Kurangnya edukasi mengenai diabetes pada anak menyebabkan mereka datang berobat dalam kondisi yang sudah parah atau bahkan dalam fase koma.

“Mengidentifikasi tiga gejala diabetes sejak dini sangat penting agar orang tua bisa segera membawa anak ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat,” ujarnya.

Dokter lulusan Universitas Indonesia ini menekankan pentingnya skrining yang tepat untuk memastikan pemberian obat yang sesuai dengan kondisi medis anak. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan melihat kadar C-peptide untuk mengecek produksi insulin. Pada anak dengan diabetes tipe 1, kadar C-peptide menunjukkan negatif insulin, yang berarti mereka membutuhkan suntikan insulin. Sebaliknya, pada anak dengan diabetes tipe 2, kadar C-peptide menunjukkan positif insulin, tetapi mereka perlu mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.

“Sangat penting skrining awal karena nanti pengobatannya berbeda. Kalau ada yang terkena diabetes gula darah tinggi, dia harus segera pastikan tipe 1 atau tipe 2, karena tatalaksananya jauh berbeda. Kalau tipe 1 mutlak harus diberikan insulin bahkan seumur hidup,” tambah Piprim.

Diabetes tipe 1 pada anak sering kali baru terdeteksi setelah mereka berusia 10 tahun atau saat memasuki usia sekolah. Deteksi awal dapat dilakukan melalui pemeriksaan kesehatan rutin yang meliputi pengecekan gula darah, meskipun hal ini masih jarang dilakukan.

Piprim juga mengingatkan bahwa medical check-up penting untuk memantau berbagai penyakit, terutama jika orang tua mencurigai adanya sesuatu yang tidak biasa pada anak. Beberapa kondisi yang disarankan untuk melakukan medical check-up adalah jika anak sangat kurus, lebih pendek dibandingkan teman seusianya, atau sering sesak dan kurang aktif.

“Kalau orang tua mau periksa laboratorium medical check-up biasa boleh-boleh saja, tapi disarankan ke dokter dulu biar lebih terarah mau cari apa, curiga apa, karena kalau cek semua mahal, jadi lebih terarah dengan keluhan khas untuk anak tersebut,” jelas Piprim.

Namun, jika anak tidak menunjukkan keluhan yang berbeda, tumbuh kembang anak dapat dipantau secara mandiri melalui buku KIA atau aplikasi Primaku dari IDAI. Pertumbuhan anak yang baik dapat dipantau melalui penambahan berat badan dan tinggi badan, serta perkembangan kecerdasan dan kemampuan anak. Selama tumbuh kembangnya sesuai dengan milestone, Piprim mengatakan bahwa medical check-up tidak terlalu diperlukan.

Kamis, 18 Juli 2024

Dampak Konsumsi Makanan Ultra Proses pada Kesehatan Anak: Ancaman Kesehatan Kronis dan Upaya Pencegahan

Dampak Konsumsi Makanan Ultra Proses pada Kesehatan Anak: Ancaman Kesehatan Kronis dan Upaya Pencegahan
Dampak Konsumsi Makanan Ultra Proses pada Kesehatan Anak: Ancaman Kesehatan Kronis dan Upaya Pencegahan
JAKARTA – Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso Sp.A (K), mengingatkan akan bahaya yang ditimbulkan oleh konsumsi berlebihan makanan ultra proses pada anak-anak. 

Menurutnya, makanan ini cenderung tinggi kandungan gula, garam, dan lemak, serta memiliki daya tarik rasa yang tinggi, yang dapat membuat anak cenderung mengonsumsinya dalam jumlah yang berlebihan.

Dr. Piprim menjelaskan bahwa konsumsi berlebihan makanan ultra proses dapat mengakibatkan anak mengalami over nutrisi, yang berpotensi menyebabkan obesitas dan berbagai masalah kesehatan kronis seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan dislipidemia. 

Dia menegaskan bahwa kondisi ini tidak hanya berdampak saat masa anak-anak, tetapi juga dapat berlanjut hingga masa dewasa.

"Anak-anak yang terus menerus mengonsumsi makanan jenis ini berisiko mengalami peningkatan kadar gula darah, tekanan darah tinggi, serta gangguan metabolisme lainnya. Ini menjadi masalah serius yang harus diwaspadai oleh orangtua dan masyarakat," ungkap dr. Piprim dalam pertemuan di Jakarta, Rabu (17/7/2024) kemarin. 

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa makanan ultra proses sering kali memiliki efek adiktif bagi anak-anak karena cita rasanya yang kuat. Hal ini membuat anak cenderung untuk terus mengonsumsinya meskipun tidak seharusnya.

Dalam konteks pencegahan, dr. Piprim menyarankan agar konsumsi makanan ultra proses oleh anak-anak harus disesuaikan dengan indikasi medis dan dibawah pengawasan dokter.

Dia menekankan pentingnya memberikan asupan kalori yang cukup namun seimbang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan anak.

"Bagi anak-anak dengan kondisi khusus seperti alergi atau masalah gizi, terdapat pilihan makanan olahan dengan zat gizi tambahan atau susu formula yang direkomendasikan oleh dokter," jelasnya.

Dalam mengakhiri pernyataannya, dr. Piprim menekankan bahwa kesadaran akan dampak negatif makanan ultra proses perlu ditingkatkan, serta pentingnya edukasi kepada orangtua dan peningkatan akses terhadap makanan sehat yang lebih bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.

Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk dari konsumsi berlebihan makanan ultra proses pada anak-anak, serta pentingnya pilihan makanan yang lebih sehat dalam mendukung kesehatan generasi masa depan.

Sabtu, 29 Juni 2024

Prevalensi Alergi Susu Sapi pada Anak Indonesia

Prevalensi Alergi Susu Sapi pada Anak Indonesia
Prevalensi Alergi Susu Sapi pada Anak Indonesia. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Menurut Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K), seorang Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, prevalensi anak Indonesia yang mengalami alergi susu sapi (ASS) berkisar antara 0,5 hingga 7,5 persen. 

Data ini diperoleh dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2014. 

Sebagai perbandingan, Organisasi Alergi Dunia (WAO) pada tahun 2013 mencatat bahwa 1,9 hingga 4,9 persen anak-anak di seluruh dunia mengalami alergi susu sapi.

Dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Selasa lalu, Dr. Budi juga memaparkan data dari klinik anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012, yang menunjukkan bahwa 31 persen pasien anak mengalami alergi terhadap putih telur dan 23,8 persen lainnya mengalami alergi susu sapi. 

“Ini memperjelas bahwa protein susu sapi merupakan penyebab alergi terbesar kedua setelah telur pada anak-anak di Asia,” kata Dr. Budi.

Mengapa Alergi Susu Sapi Perlu Diwaspadai

Alergi susu sapi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap protein dalam susu sapi. 

Hal ini dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan anak jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. 

Meski lebih sering terjadi pada anak-anak, alergi ini juga dapat dialami oleh orang dewasa.

Dr. Budi mengingatkan bahwa alergi susu sapi perlu diwaspadai karena angka kejadiannya terus meningkat. Gejalanya dapat berdampak negatif pada tumbuh kembang anak. 

Beberapa gejala umum yang sering dialami anak-anak antara lain ruam, rasa gatal, sesak napas, dan kolik. 

Gejala yang paling sering dikhawatirkan oleh orang tua adalah diare, yang dialami oleh sekitar 53 persen anak dengan alergi susu sapi.

Langkah Penting untuk Orang Tua

Dr. Budi menekankan pentingnya orang tua mengenali gejala-gejala alergi susu sapi pada anak. Ia mengimbau orang tua untuk segera berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat. 

Berikut adalah beberapa langkah penting yang perlu dilakukan oleh orang tua:
  1. Menghilangkan Susu Sapi dari Diet Anak: Langkah pertama adalah menghapuskan susu sapi dari diet anak dan mencari sumber nutrisi alternatif yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serta vitamin dan mineral yang dibutuhkan dalam fase pertumbuhan anak.
  2. Membaca Label Makanan dengan Cermat: Orang tua perlu teliti dalam membaca label makanan untuk memastikan tidak ada kandungan susu sapi.
  3. Memantau Pertumbuhan Anak Secara Rutin: Memantau pertumbuhan dan perkembangan anak secara berkala sangat penting untuk memastikan anak tetap mendapatkan nutrisi yang cukup meski tanpa susu sapi.

Dengan informasi ini, diharapkan orang tua dapat lebih waspada dan siap menghadapi kemungkinan alergi susu sapi pada anak mereka. 

Konsultasi dengan dokter adalah kunci untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan menjaga kesehatan serta tumbuh kembang anak tetap optimal.

Dampak Alergi Susu Sapi pada Anak dan Cara Penanganannya Menurut Ahli

Dampak Alergi Susu Sapi pada Anak dan Cara Penanganannya Menurut Ahli
Dampak Alergi Susu Sapi pada Anak dan Cara Penanganannya Menurut Ahli. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Alergi susu sapi (ASS) bisa memberikan dampak yang sangat bervariasi pada anak-anak, dari gejala ringan hingga yang lebih serius. Menurut Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, SpA(K) dari Universitas Padjajaran, meskipun banyak anak dapat mengatasi alergi ini seiring bertambahnya usia, ada juga yang mungkin tetap memiliki alergi hingga dewasa.

“Umumnya, anak yang mengalami alergi susu sapi dapat mengatasi alergi seiring bertambahnya usia, biasanya antara usia tiga hingga lima tahun. Namun, ada sebagian kecil anak yang mungkin tetap memiliki alergi hingga dewasa,” ujar Budi dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Selasa.

Apa itu Alergi Susu Sapi?

Alergi susu sapi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh anak bereaksi berlebihan terhadap protein yang terkandung dalam susu sapi. Reaksi ini dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan anak jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

Dampak Alergi Susu Sapi

Dampak yang diakibatkan oleh alergi ini sangat bervariasi. Dalam jangka pendek, anak-anak mungkin mengalami rasa tidak nyaman, kesulitan makan, dan tidur. Sementara dalam jangka panjang, dampaknya dapat mencakup berat badan yang tidak optimal, malnutrisi, dan keterlambatan pertumbuhan. Selain itu, sifat alergi yang persisten dapat meningkatkan risiko perkembangan kondisi atopik seperti asma atau eksim.

Meski alergi susu sapi adalah alergi makanan yang paling umum pada awal masa kanak-kanak, dengan insiden mencapai 2-3% pada tahun pertama kehidupan, orang tua tetap perlu mewaspadai gejala yang berbeda pada tiap anak. Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan prevalensi ASS pada anak Indonesia sekitar 2-7,5%, dengan protein susu sapi menjadi alergen kedua yang paling umum setelah telur.

Gejala Alergi Susu Sapi

Gejala umum yang sering muncul pada anak dengan alergi susu sapi meliputi ruam pada kulit, gatal-gatal, dan diare. Dalam beberapa kasus, anak mungkin mengalami masalah pernapasan serius seperti anafilaksis.

“Makanya, penanganan yang cepat dan tepat sangat penting untuk mencegah dampak buruk yang lebih serius dan memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal,” kata Budi.

Cara Menangani Alergi Susu Sapi

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mengenali gejala alergi susu sapi sejak dini. Pertama, segera konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat. Menghilangkan susu sapi dari diet anak dan mencari sumber nutrisi alternatif yang memiliki kandungan zat gizi makro dan mikro yang dibutuhkan dalam fase pertumbuhan anak juga sangat penting.

Langkah selanjutnya termasuk membaca label makanan dengan cermat dan memantau pertumbuhan anak secara rutin.

“Strategi penanganan ini harus dilakukan dengan cepat dan tepat untuk mengurangi dampak negatif ASS, sehingga anak-anak dengan ASS dapat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan berkembang secara optimal,” ucap Budi.

Dengan penanganan yang tepat dan cepat, anak-anak yang memiliki alergi susu sapi dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal, menjalani kehidupan yang sehat dan bahagia. Sebagai orang tua, selalu waspada dan siap mengambil tindakan adalah kunci utama dalam mengatasi alergi ini.

Terbang Aman bagi Pengidap Penyakit Jantung Koroner: Saran dari Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan

Terbang Aman bagi Pengidap Penyakit Jantung Koroner: Saran dari Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan
Terbang Aman bagi Pengidap Penyakit Jantung Koroner: Saran dari Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Apakah Anda atau orang yang Anda kenal memiliki riwayat jantung dan berencana untuk terbang? Jangan khawatir! Menurut dr. Syougie Sp.KP, seorang dokter spesialis kedokteran penerbangan dari Rumah Sakit Universitas Indonesia, pengidap penyakit jantung koroner dapat terbang dengan aman sebagai penumpang pesawat, dengan syarat mereka mengambil tindakan asesmen medis yang diperlukan.

Kapan Aman untuk Terbang Setelah Operasi Jantung?

Dr. Syougie menjelaskan, penumpang yang telah menjalani operasi jantung sebaiknya menunggu lebih dari 10 hari setelah operasi sebelum terbang. 

Mengapa demikian? Karena saat di ketinggian pesawat, udara akan mengembang, yang dapat berbahaya bagi kondisi jantung yang baru saja dioperasi. 

“Penumpang yang telah menjalani operasi jantung, kenapa baru boleh terbang kalau sudah selesai operasi lebih dari 10 hari? Karena saat di atas (ketinggian pesawat), udara akan mengembang dan itu berbahaya bagi jantungnya,” kata Syougie dalam seminar daring yang diadakan di Jakarta, Selasa lalu.

Kondisi Penerbangan yang Menantang bagi Pengidap Jantung

Penerbangan udara bukanlah kondisi yang ideal bagi sirkulasi tubuh kita. Tekanan dan konsentrasi oksigen yang menurun (hipoksia), suhu dan kelembaban udara rendah, serta ruang gerak yang terbatas bisa menjadi tantangan bagi pengidap jantung. 

Tekanan oksigen yang berkurang di kabin pesawat dapat menyebabkan ekspansi udara yang memperburuk kondisi jantung yang baru saja dioperasi.

Dehidrasi pada ketinggian tinggi juga dapat mempengaruhi tekanan darah, yang bisa memperburuk kondisi jantung seperti gagal jantung, penyakit arteri koroner (CAD), atau aritmia. 

Selain itu, stres dari kecemasan perjalanan atau turbulensi dapat memperburuk hipertensi atau CAD.

Konsultasi Pra-Penerbangan: Langkah Penting Sebelum Terbang

Untuk memastikan keamanan perjalanan udara, sangat penting untuk berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan sebelum terbang. 

Konsultasi ini bertujuan untuk menilai stabilitas kondisi tubuh dan mendiskusikan rekomendasi pra-penerbangan yang diperlukan. 

“Untuk persiapan penerbangan, dokter spesialis kedokteran penerbangan biasanya membutuhkan data terkait tipe dan durasi perjalanannya berapa lama, tujuan ke mana, atau kami nanti bisa melihat terkait kebutuhan khusus seperti apakah memerlukan kursi roda, oksigen, atau diet makanan yang khusus,” tambah Syougie.

Dengan demikian, dengan persiapan yang tepat dan konsultasi medis yang memadai, pengidap penyakit jantung koroner dengan riwayat jantung tetap bisa menikmati perjalanan udara dengan aman dan nyaman. 

Jangan lupa untuk selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum merencanakan perjalanan Anda agar kesehatan tetap terjaga selama di udara!

Peringatan Hari Vitiligo Sedunia: Pentingnya Kesadaran dan Pemahaman

Peringatan Hari Vitiligo Sedunia: Pentingnya Kesadaran dan Pemahaman
Peringatan Hari Vitiligo Sedunia: Pentingnya Kesadaran dan Pemahaman. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Setiap tanggal 25 Juni diperingati sebagai Hari Vitiligo Sedunia. Menurut Vitiligo Research Foundation, Hari Vitiligo Sedunia pertama kali diadakan pada tahun 2011 untuk mengampanyekan penyakit yang sering dilupakan di mata publik karena sering dianggap hanya masalah kosmetik.

Dokter spesialis dermatologi venereologi estetika lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Benny Nelson Sp. D.V.E, menjelaskan bahwa vitiligo adalah kondisi kulit yang kehilangan warna kulit (pigmen) yang disebut ‘melanin’, membentuk pola mirip warna pada bulu anak sapi. 

Hilangnya melanin menyebabkan munculnya bercak putih di kulit yang memiliki batas tegas dengan kulit normal. 

Vitiligo, kata Benny, digolongkan sebagai penyakit autoimun, yaitu kondisi di mana sel imun menyerang melanosit, sel yang menghasilkan melanin.

Secara global, terdapat sekitar 5 juta orang yang mengalami vitiligo dengan prevalensi sekitar 0,5–2 persen, rentang usia di bawah 1 tahun hingga 55 tahun. 

Di Indonesia, penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soetomo, Surabaya, mencatat 115 pasien vitiligo sepanjang tahun 2018–2020, dengan prevalensi sebesar 1,4 persen.

Benny menyebut, sampai saat ini penyebab vitiligo masih belum diketahui, namun bisa dipastikan penyakit ini tidak menular. 

“Penyebab pasti vitiligo masih belum diketahui, tetapi diduga multifaktorial, seperti faktor genetik, autoimun, stres fisik atau psikis, paparan sinar ultraviolet, zat kimia, atau radikal bebas,” jelasnya.

Penderita vitiligo bisa saja mengalami penyakit penyerta lainnya yang beberapa di antaranya seringkali terabaikan. 

Sekitar 20 persen kasus vitiligo dikaitkan dengan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid, anemia pernisiosa, penyakit Addison, lupus, rheumatoid arthritis, inflammatory bowel disease, dan alopecia areata. 

Pasien juga harus memperhatikan kemungkinan vitiligo menyebabkan tuli sensorineural (kehilangan pendengaran akibat rusaknya saraf), yang sering terabaikan dan baru disadari saat komplikasi sudah di tahap akhir. 

Terdapat juga kasus jarang yang merupakan bentuk berat dari vitiligo, yaitu Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome (VKHS) yang melibatkan vitiligo, poliosis (rambut memutih), kehilangan pendengaran, radang selaput otak, rambut rontok, dan kelainan pada mata.

Meskipun terdapat beberapa penyakit penyerta, vitiligo tergolong sebagai penyakit autoimun, yang artinya memiliki sistem imun yang berlebihan, disebut dengan disregulasi sistem imun. 

Sebuah penelitian menarik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasien vitiligo memiliki kemungkinan lebih rendah terkena COVID-19 berat dibandingkan yang tidak memiliki vitiligo. 

Namun karena masih belum ditemukan penyebab pastinya, vitiligo tidak dapat dicegah secara optimal. 

Riwayat keluarga yang mengalami vitiligo juga menyumbang faktor risiko sebesar 20 persen. 

Cara terbaik adalah menghindari paparan sinar ultraviolet terlalu lama karena diduga dapat memicu vitiligo genetik semakin rentan.

Perawatan Kulit Vitiligo

Benny mengatakan bahwa pada pasien vitiligo, kulit mereka akan rentan terhadap paparan sinar ultraviolet karena melanin yang tidak dapat dihasilkan sebagai proteksi kulit. 

Saat berpergian, pasien vitiligo disarankan mencari tempat teduh dan menggunakan pakaian lengan panjang berwarna gelap dan berbahan lebih padat untuk menghindari sinar matahari. 

Sebagai contoh, pakaian berbahan denim memiliki Sun Protection Factor (SPF) sekitar 1700, sedangkan kaus berwarna putih hanya memiliki SPF sekitar 7. 

Jika memungkinkan, gunakan pakaian yang memiliki label ultraviolet protection factor (UPF) dan selalu pakai tabir surya yang memiliki SPF minimal 30 dan PA++, serta diaplikasikan ulang setiap 2-3 jam.

“Oleh karena itu, penggunaan tabir surya atau sunscreen menjadi hal yang wajib bagi pasien vitiligo. Perawatan kulit dasar (basic skincare) seperti mandi dengan sabun yang bersifat lembut (gentle) dan menggunakan pelembap juga tetap harus dilakukan,” tambah dokter yang praktik di RS Pondok Indah Jakarta ini. 

Adapun perawatan kulit yang sebaiknya dihindari pada pasien vitiligo adalah perawatan kulit yang menyebabkan trauma seperti laser, mikrodermabrasi, skin tanning, atau perawatan lain yang bersifat eksfoliatif. 

Benny mengatakan, sebisa mungkin hindari luka karena pada pasien vitiligo terdapat fenomena Koebner, di mana saat terjadi luka, situs tersebut dapat menjadi lesi vitiligo yang baru.

Meskipun kulit pasien vitiligo dapat mengalami fenomena Koebner, penelitian tahun 2014 menunjukkan bahwa pasien vitiligo memiliki kemungkinan 3 kali lebih rendah untuk mendapatkan kanker kulit melanoma, karsinoma sel basal, atau karsinoma sel skuamosa. 

Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal. 

Pertama, pasien dengan vitiligo lebih sering memakai pakaian tertutup, lebih sering mencari tempat teduh, dan lebih teratur memakai sunscreen. 

Kedua, sel melanosit yang menjadi sumber keganasan kulit pada melanoma dihancurkan oleh sel imun penderita vitiligo.

Menjaga Kesehatan Pasien Vitiligo

Selain memperhatikan kesehatan kulit, pasien vitiligo juga harus menjaga kesehatan fisik dengan mengonsumsi makanan sehat. 

Tidak ada pantangan atau anjuran khusus terkait makanan, namun sebaiknya menghindari makanan olahan dan daging olahan seperti makanan kalengan, makanan instan, daging kalengan, roti putih, pasta, gluten, fast food, alkohol, minuman dan makanan yang terlalu manis, serta makanan ringan (snack) dalam kemasan. 

Makanan tersebut diduga dapat memicu reaksi peradangan dan kaya akan radikal bebas sehingga vitiligo sulit diterapi. 

Sebaliknya, makanan yang kaya antioksidan diduga memiliki peran protektif, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran segar, makanan kaya omega-3 (tapi rendah omega-6), biji-bijian, dan minyak ikan. 

Beberapa ahli, kata Benny, juga menganjurkan sejumlah suplemen seperti ginkgo biloba, vitamin C, D, dan E.

Selain itu, penting untuk menjaga kesehatan mental pada pasien vitiligo. Pasien harus menghindari stres dan rutin mengonsumsi makanan sehat dan bergizi agar sistem imun tetap terjaga. 

Jangan segan untuk mencari pertolongan profesional, seperti dokter spesialis dermatologi venereologi estetika untuk penanganan yang sesuai, atau dokter spesialis kedokteran jiwa jika merasa terdapat keluhan terkait kesehatan mental karena vitiligo.

Benny mengatakan vitiligo memang tidak bisa disembuhkan sepenuhnya. Jika pun ada bagian kulit yang terkena vitiligo mengalami episode perbaikan spontan, terutama di daerah yang memiliki rambut, lama kelamaan akan kambuh kembali dan melebar setelah beberapa waktu. 

Namun, ada beberapa tindakan medis yang bisa dilakukan bergantung pada jenis vitiligo, luas permukaan kulit yang terkena, serta episode saat menemui dokter. 

Pasien dapat diberikan obat kortikosteroid oral, kortikosteroid dan inhibitor calcineurin oles, terapi sinar, kosmetik untuk kamuflase, operasi cangkok kulit, bahkan terapi depigmentasi atau bleaching, tutup Benny Nelson.

Jumat, 07 Juni 2024

Menghindari Pola Komunikasi Agresif dan Pasif pada Anak: Anjuran dari Psikolog Anak Fabiola Priscilla

Menghindari Pola Komunikasi Agresif dan Pasif pada Anak: Anjuran dari Psikolog Anak Fabiola Priscilla
Menghindari Pola Komunikasi Agresif dan Pasif pada Anak: Anjuran dari Psikolog Anak Fabiola Priscilla. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Ketika berkomunikasi dengan anak, sering kali orang tua tanpa sadar menggunakan pola komunikasi yang agresif atau pasif. Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Fabiola Priscilla, M.Psi, menekankan pentingnya menghindari kedua pola komunikasi tersebut untuk menjaga kesehatan mental anak.

Pola Komunikasi Agresif

Pola komunikasi agresif sering kali muncul saat orang tua merasa kesal atau frustrasi. Misalnya, saat orang tua mengatakan, "Enggak usah pulang-pulang sekalian," kepada anak yang terlambat pulang setelah bermain. Menurut Fabiola, kalimat seperti ini dapat menyakiti perasaan anak dan merusak hubungan antara orang tua dan anak. Pola komunikasi agresif ini dapat membuat anak merasa tidak diinginkan dan kurang dihargai.

Pola Komunikasi Pasif

Sebaliknya, pola komunikasi pasif juga bisa berdampak negatif. Contohnya, ketika orang tua menyindir hasil ulangan anak dengan mengatakan, "Aduh, anak tetangga bisa 80 nih, masa kamu tidak bisa dapat 85?" Kalimat ini, meskipun terdengar lembut, sebenarnya mengandung unsur perbandingan yang bisa membuat anak merasa tidak cukup baik dan kehilangan kepercayaan diri.

Mengapa Kedua Pola Ini Tidak Dianjurkan?

Kedua pola komunikasi ini, baik agresif maupun pasif, bisa menyakiti perasaan anak dan merusak rasa percaya diri mereka. Oleh karena itu, Fabiola menganjurkan orang tua untuk menerapkan pola komunikasi asertif. Pola komunikasi asertif adalah cara menyampaikan harapan dan aturan dengan jelas namun tetap menghargai perasaan anak.

Pola Komunikasi Asertif

Fabiola memberikan contoh pola komunikasi asertif yang dapat diterapkan orang tua: "Mama harap kamu pulang jam empat sore, nak. Supaya kamu bisa mandi dulu sebelum kamu main, mama yakin kamu bisa melakukan itu kok." Dengan kalimat seperti ini, anak akan lebih mudah memahami dan menerima aturan yang diberikan karena disampaikan dengan cara yang positif dan mendukung.

Pentingnya Dukungan dari Guru

Selain orang tua, peran guru juga sangat penting dalam perkembangan anak. Kepala Sekolah Dasar BPK Penabur Pondok Indah, Evert F. Fanggidae, menegaskan bahwa anak didik seharusnya difasilitasi, bukan dipaksa. Guru yang memaksa anak untuk belajar lebih cepat, misalnya, dapat menciptakan suasana kelas yang tidak efektif. Sebaiknya, guru mengajak anak berdiskusi untuk memahami potensi dan minatnya, kemudian memberikan dukungan sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.

Menghindari pola komunikasi agresif dan pasif sangat penting dalam mendidik anak. Dengan menggunakan pola komunikasi asertif, orang tua dan guru dapat membantu anak memahami aturan dan harapan tanpa merusak perasaan mereka. Ini adalah langkah penting dalam membangun hubungan yang sehat dan mendukung perkembangan positif anak.

Dengan menerapkan komunikasi yang tepat, kita tidak hanya mendidik anak menjadi individu yang percaya diri dan mandiri, tetapi juga menciptakan lingkungan yang penuh kasih dan pengertian.

Selasa, 28 Mei 2024

Skincare Pemutih Masih Jadi Primadona di Indonesia, Ini Kata Pakar Kulit

Skincare Pemutih Masih Jadi Primadona di Indonesia, Ini Kata Pakar Kulit
Skincare Pemutih Masih Jadi Primadona di Indonesia, Ini Kata Pakar Kulit.
JAKARTA - Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), dr. Hanny Nilasari Sp.D.V.E, Subsp.VEN, FINSDV, FAADV, mengungkapkan bahwa produk perawatan kulit atau skincare yang paling dicari oleh masyarakat Indonesia adalah yang mengandung pemutih. Hal ini disebabkan oleh tipe kulit masyarakat Indonesia yang cenderung lebih gelap.

“Yang paling banyak karena kulit kita berwarna biasanya kita cari pemutih, jadi banyak sekali ingredient yang mengandung pemutih dicari oleh para populasi Indonesia,” kata Hanny saat ditemui media dalam acara Wardah Skinverse Science Powered Skincare di Jakarta, Senin.

Hanny menjelaskan bahwa tren komposisi skincare dengan kandungan pemutih menjadi primadona di kalangan masyarakat Indonesia. 

Namun, dia juga menekankan bahwa kecerahan kulit wajah akan muncul jika melakukan perawatan yang benar.

Penggunaan skincare tanpa kandungan pemutih juga bisa menjadi solusi untuk kulit cerah jika permukaan kulit tetap lembap. Tidak harus menggunakan obat pemutih wajah secara berlebihan.

“Padahal sebetulnya menjaga permukaan kulit tetap lembap, bright itu akan muncul dari dalam jadi nggak harus dilakukan pemakaian obat-obatan atau skincare berlebihan,” jelasnya.

Dokter yang juga berpraktik di RS Cipto Mangunkusumo ini menambahkan bahwa penggunaan skincare berbahan dasar pemutih mungkin lebih dibutuhkan pada wajah yang memang memerlukan perawatan khusus, misalnya untuk mengatasi flek hitam yang tidak bisa diobati dengan skincare biasa.

Hanny juga memperingatkan bahwa penggunaan perawatan kulit dengan pemutih yang berlebihan dapat memicu masalah pada wajah jika kandungan yang digunakan tidak cocok dengan kondisi kulit. 

Ini terutama berlaku jika menggunakan produk “abal-abal” yang banyak dijual di toko daring.

“Gejala yang timbul biasanya kemerahan, lama-lama suatu saat jadi hitam dan flek, itu yang tidak diinginkan, biasanya datang ke dokter kulit sudah hitam atau kondisi merah sekali, sudah tumbuh jerawat dan kulitnya cracking,” jelasnya.

Tanda bahwa skincare tidak cocok di wajah dapat mencakup rasa gatal, stinging (menyengat), burning (terbakar), dan kemerahan.

Hanny juga mengingatkan pentingnya membersihkan wajah dengan double cleansing untuk mencapai kulit yang bersih dan sehat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan kelembapan dan polusi tinggi.

Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO

Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO.
JAKARTA - Kata-kata bijak dari ahli kedokteran terkemuka Yunani, Hippocrates, bahwa "alam adalah penyembuh terbaik," memiliki relevansi yang kuat dengan Hari Jamu Nasional. 

Melestarikan jamu berarti menjaga hubungan harmonis dengan alam. 

Namun, mengintegrasikan jamu dalam layanan kesehatan formal masih menghadapi berbagai tantangan, meski kesadaran akan gaya hidup alami telah meluas secara global.
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO.
Berbekal semangat melestarikan jamu di tanah air, Hari Jamu Nasional dicanangkan pada 27 Mei 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Lima belas tahun kemudian, pada sidang ke-18 di Kasane, Botswana, 6 Desember 2023, UNESCO mengakui budaya sehat jamu sebagai Warisan Budaya Takbenda. 

Pengakuan ini mencatat nilai budaya jamu sebagai ekspresi budaya yang membangun koneksi antara manusia dan alam, serta mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait Kesehatan dan Kesejahteraan, Produksi dan Konsumsi yang Bertanggungjawab, serta Kehidupan di Darat.

Budaya sehat jamu mencakup keterampilan dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan obat-obatan alami yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah, serta metode pengobatan tradisional yang bertujuan menjaga kesehatan dengan meningkatkan kekebalan tubuh. 
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO
Budaya ini dipercaya telah ada sejak abad ke-8 Masehi, dibuktikan oleh relief di Candi Borobudur dan manuskrip kuno seperti Kakawin Ramayana dan Serat Centini.

Pengakuan UNESCO ini semakin meningkatkan pamor jamu. Namun, menjadikan jamu sebagai obat formal dalam layanan kesehatan publik memerlukan proses panjang saintifikasi hingga menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau fitofarmaka. 

Di bagian hulu, 85 persen sumber tanaman obat berasal dari tumbuhan liar, menyebabkan mutu yang beragam, adulterasi, kepunahan, dan pasokan yang tidak berkelanjutan. Para produsen tanaman obat didominasi petani pengumpul bukan penanam.

Meniru Nenek Moyang

Masyarakat tidak perlu menunggu jamu tersedia secara massal di toko-toko obat atau diresepkan dokter. Kita bisa meniru gaya hidup nenek moyang dalam menjaga kebugaran dan keselarasan hidup dengan alam. 

Hidup sehat adalah tentang keseimbangan antara asupan nutrisi, energi yang dikeluarkan, waktu bekerja dan istirahat, serta kebutuhan jasmani dan rohani.

Orang yang mengalami sakit fisik namun memiliki mental tangguh dan optimisme tinggi mampu melawan penyakit dan menyembuhkan tubuhnya. 

Sebaliknya, orang yang sehat fisik namun mentalnya lemah, hidup tanpa motivasi, dan penuh pesimisme akan tampak lunglai dan tidak bergairah seolah-olah berpenyakit berat. 

Semboyan “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” berlaku dua arah, karena jiwa yang tangguh akan memperkuat tubuh.

Nenek moyang kita hidup sederhana dan harmonis dengan alam, bekerja di alam, makan dan minum dari hasil alam yang diolah secara tradisional, serta menjaga kesehatan dengan memanfaatkan rempah-rempah untuk meramu jamu. 

Segala yang bersifat alami tentu diterima baik oleh tubuh, sehingga raga pun menua tanpa banyak penyakit.
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO
Budaya Sehat Jamu Mendunia: Dari Hari Jamu Nasional hingga Pengakuan UNESCO
Membangun budaya sehat jamu bukanlah perkara sulit, karena ini bukan sesuatu yang baru melainkan telah dicontohkan oleh leluhur. 

Kita memiliki modal dasar berupa warisan budaya, kearifan lokal, pengetahuan dan ramuan tradisional, potensi tanaman obat, dan sumber daya hayati lainnya.

Untuk menjaga ketersediaan bahan baku jamu, masyarakat dapat menanam tanaman obat di pekarangan rumah. 

Bila pekarangan tidak memadai, bisa membangun taman toga bersama di level desa, RW, atau RT. Jenis tanaman obat langka atau yang masih berada di alam liar bisa dikoleksi untuk menjaganya tetap tersedia dan lestari.

Pelajari berbagai resep ramuan jamu yang diwariskan secara turun-temurun dan tersedia dalam banyak referensi, baik manual maupun digital. 

Jika tidak ingin repot meracik jamu sendiri, penjaja jamu tradisional masih banyak ditemui berkeliling kampung atau di kompleks perumahan. 

Di kota-kota besar dan kota wisata, produk jamu telah naik kelas dan tersedia di kafe, kedai, dan toko swalayan.

Mengerti Sinyal Tubuh

Sebelum penyakit datang, tubuh sebenarnya sudah memberi sinyal bahwa ada yang tidak beres. Kita perlu peka terhadap sinyal-sinyal tersebut. 

Misalnya, rasa lapar saat perut kosong, haus saat tubuh membutuhkan hidrasi, dan kantuk saat tubuh butuh istirahat. 

Jika sinyal-sinyal ini diabaikan, penyakit akan datang.

Tubuh juga mengaduh ketika tersakiti, seperti kesemutan saat terlalu lama duduk bersila, memar setelah terbentur benda keras, atau cedera saat olahraga tanpa pemanasan. 

Tubuh selalu memberi “peringatan” ketika ada yang tidak beres, jadi jangan diabaikan.

Penyakit adalah pesan bahwa tubuh perlu perhatian. Tidak ada penyakit berat yang tiba-tiba hinggap kecuali kita menabung kebiasaan buruk dalam menganiaya tubuh dengan mengabaikan kebutuhan dan hak-haknya.

Tubuh adalah alam semesta mini yang dititipkan Tuhan untuk dirawat dengan sepenuh cinta. 

Cintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain sebagai manifestasi syukur kepada Tuhan yang menciptakan kita.

Adakalanya seseorang berusaha berbuat baik terhadap orang lain namun kejam terhadap diri sendiri. Bahkan, doktor filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fahruddin Faiz, dalam sebuah siniar mengungkapkan: “Kalau perlakuan kita terhadap diri kita, kita perlakukan juga terhadap orang lain, mungkin kita sudah masuk penjara”. 

Ungkapan ini menggambarkan betapa kerasnya kita pada diri sendiri, selalu mengharuskan diri melakukan tugas dan pekerjaan tak berkesudahan, dan tidak memenuhi hak-haknya kecuali sedikit, akhirnya membuat tubuh jatuh sakit.

Jika sudah telanjur sakit, jangan lagi menjejali tubuh dengan obat kimia yang hanya meredakan keluhan sesaat namun menimbulkan efek buruk dalam jangka panjang. 

Kembalilah ke alam sebagai penyedia obat terlengkap karena alam menyediakan obat untuk setiap penyakit. 

Barengi dengan afirmasi positif terhadap tubuh agar ia mampu mengeluarkan kekuatan untuk menyembuhkan diri. 

Memelihara suasana hati tetap gembira, memiliki kehidupan spiritual dan sosial yang sehat, juga berkontribusi besar pada kesehatan tubuh.

Bangsa yang kuat terbangun dari masyarakat yang sehat, bukan dari rakyat yang terpaksa membelanjakan triliunan rupiah untuk membeli obat.

Sabtu, 18 Mei 2024

Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital
Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA – Di era digital seperti sekarang, kita sering terhubung dengan berbagai informasi dan media sosial. 

Namun, keterhubungan yang berlebihan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental. 

Artikel ini akan memberikan panduan lengkap untuk menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus digitalisasi.

Mengapa Kesehatan Mental Penting?

Kesehatan mental adalah aspek penting yang memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. 

Kesehatan mental yang baik membantu kita dalam menangani stres, berhubungan baik dengan orang lain, dan membuat keputusan yang bijak.

Dampak Era Digital Terhadap Kesehatan Mental

Keterpaparan berlebihan pada media sosial dan informasi digital dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. 

Beberapa dampak negatif dari era digital terhadap kesehatan mental antara lain:

Seorang wanita mengalami stress. (Gambar ilustrasi)
Seorang wanita mengalami stress. (Gambar ilustrasi)
Stres dan Kecemasan: Terus-menerus memantau media sosial dapat meningkatkan perasaan cemas dan stres.

Gangguan Tidur: Paparan layar sebelum tidur dapat mengganggu pola tidur.

Perbandingan Sosial: Melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna di media sosial dapat menyebabkan perasaan tidak puas dengan diri sendiri.

Tips Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Gambar Ilustrasi melihat layar handphone. (Borneotribun/Stck)
Gambar Ilustrasi melihat layar handphone. (Borneotribun/Stck)
1. Batasi Waktu Layar: Tentukan batas waktu harian untuk penggunaan gadget dan media sosial.

2. Tetapkan Zona Bebas Gadget: Buatlah zona tertentu di rumah yang bebas dari gadget, seperti kamar tidur.

3. Aktivitas Fisik: Lakukan olahraga rutin untuk menjaga kesehatan fisik dan mental.

4. Terhubung dengan Orang Secara Langsung: Prioritaskan interaksi langsung dengan keluarga dan teman-teman.

5. Mindfulness dan Meditasi: Praktikkan mindfulness atau meditasi untuk menenangkan pikiran.

Mencari Bantuan Profesional

Gambar ilustrasi konsultasi kesehatan psikologi. (Borneotribun/Csd)
Gambar ilustrasi konsultasi kesehatan psikologi. (Borneotribun/Csd)
Jika merasa kesulitan mengatasi stres atau kecemasan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. 

Konsultasi dengan psikolog atau psikiater dapat memberikan dukungan yang Anda butuhkan.

Kesimpulan

Menjaga kesehatan mental di era digital memang menantang, namun sangat penting untuk dilakukan.

Dengan menerapkan tips di atas, Anda dapat mengurangi dampak negatif digitalisasi dan menjaga kesejahteraan mental Anda.

Ingatlah, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, jadi jangan abaikan.

Kehilangan Orang Tercinta: Psikolog Jelaskan Tahapan dan Cara Mengatasinya

Kehilangan Orang Tercinta: Psikolog Jelaskan Tahapan dan Cara Mengatasinya. (Gambar ilustrasi)
Kehilangan Orang Tercinta: Psikolog Jelaskan Tahapan dan Cara Mengatasinya. (Gambar ilustrasi)
JAKARTA - Psikolog anak dan keluarga, Sani B. Hermawan, menjelaskan bahwa kehilangan orang yang dicintai biasanya disertai dengan beragam emosi dan upaya untuk mengatasinya melibatkan tahapan yang kompleks.

"Mengatasi rasa kehilangan orang yang dicintai tidak mudah. Tentunya ada griefing process, ada pasca-kehilangan. Biasanya kehilangan itu disertai dengan rasa penyesalan, rasa bersalah, rasa tidak percaya, dan itu prosesnya maju mundur sampai ke tahap penerimaan," kata Sani pada Selasa.

Ia menyampaikan bahwa proses berduka setelah kehilangan orang yang dicintai mencakup beberapa tahapan, yang dimulai dari tahap tidak percaya, ketika seseorang mungkin bertanya-tanya, "Apakah benar ini terjadi?"

Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani itu menambahkan bahwa tahapan tersebut dapat berlanjut ke tahap rasionalisasi. Pada tahapan ini, orang berusaha mencari alasan atau memutarbalikkan kejadian.

"Tahap selanjutnya adalah kemarahan dan kesedihan, di mana perasaan marah dan sedih bercampur aduk," lanjut Sani. 

Menurutnya, tahapan-tahapan tersebut pada akhirnya akan menuju pada penerimaan, masa ketika orang mulai menerima kenyataan dan berdamai dengan keadaan.

Sani juga mengemukakan bahwa setiap individu dapat melalui proses berduka akibat kehilangan orang yang dicintai dengan cara yang berbeda.

"Faktor-faktor seperti spiritualitas, kekuatan internal, dukungan dari keluarga dan orang terdekat, serta bantuan dari profesional dapat memengaruhi bagaimana seseorang mengatasi rasa kehilangan," jelasnya.

"Yang utama di sini adalah mendekatkan diri pada Tuhan, memiliki pendampingan dari keluarga terdekat, dan berkonsultasi ke ahlinya, misal psikolog. Bahkan jika dibutuhkan, minum obat juga dari psikiater," pungkas Sani.

Rabu, 28 Februari 2024

Waspada! Kaheksia Kanker Bisa Jadi Penyebab Kematian Pasien

Waspada! Kaheksia Kanker Bisa Jadi Penyebab Kematian Pasien
Ilustrasi makanan sehat. (Pixabay/RitaE)
JAKARTA - Dokter Spesialis Gizi Klinik Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dr. Wiji Lestari, M.Gizi, Sp.GK(K) menyoroti pentingnya asupan makanan sehat bagi pasien kanker dalam upaya mencegah risiko malnutrisi. 

Dalam sebuah diskusi daring di Jakarta pada hari Rabu, beliau menjelaskan bahwa asupan nutrisi menjadi krusial bagi pasien kanker, baik yang baru saja didiagnosis maupun yang tengah menjalani terapi, karena kondisi tersebut meningkatkan risiko malnutrisi.

"Dalam kasus pasien kanker, nutrisi memiliki peran penting. Pasien kanker rentan mengalami malnutrisi karena sel kanker dapat melepaskan zat-zat pro-inflamasi yang mengganggu metabolisme zat gizi dalam tubuh. Semakin tinggi laju metabolisme tubuh, semakin besar pula kebutuhan nutrisi," ujar Wiji.

Selain itu, faktor seperti efek samping terapi kanker, komplikasi penyakit, masalah psikis, dan lainnya juga dapat meningkatkan risiko malnutrisi pada pasien kanker.

Wiji juga menyoroti risiko kaheksia kanker, sebuah kondisi yang ditandai oleh penurunan berat badan yang signifikan, kelelahan fisik atau mental, anoreksia, penurunan massa otot, dan tanda-tanda inflamasi yang meningkat. 

"Kaheksia kanker bisa menjadi penyebab kematian sekitar 20-30 persen pada penderita kanker," tambahnya.

Untuk mencegah risiko malnutrisi dan kaheksia kanker, Wiji menekankan pentingnya skrining risiko malnutrisi pada pasien kanker sedini mungkin setelah diagnosis. 

Hal ini memungkinkan dokter untuk memonitor status gizi pasien dan memberikan rekomendasi makanan yang tepat.

"Pasien kanker membutuhkan asupan nutrisi yang cukup, termasuk kalori, protein, lemak, karbohidrat, serta vitamin dan mineral. Asupan protein perlu diperhatikan dengan cermat karena berkaitan langsung dengan penurunan massa otot," jelas Wiji.

Selain itu, dia merekomendasikan makanan yang mengandung asam amino rantai cabang (BCAA) dan asam lemak omega-3 untuk membantu memperbaiki selera makan dan mempertahankan massa otot pasien.

Namun, Wiji juga mengingatkan agar pemberian vitamin dan mineral tidak berlebihan karena dapat berinteraksi dengan terapi pengobatan. 

Jika terjadi gangguan makan atau tanda-tanda malnutrisi, makanan sehat dapat dimodifikasi menjadi lebih lunak atau halus.

"Diperlukan kesadaran bahwa asupan makanan yang tepat dapat memengaruhi prognosis pasien kanker. Mitos atau informasi yang salah terkait dengan asupan makanan pada pasien kanker perlu dihindari," tegas Wiji.

Terakhir, Wiji menekankan pentingnya menjaga cairan tubuh dan kebersihan rongga mulut pada pasien kanker untuk mencegah dehidrasi dan memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pilkada 2024

Kalbar

Tekno