Berita Borneotribun.com: Aceh Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Januari 2024

Korban Pembunuhan Penjual Ponsel Minta Utang Dibayar, Akhirnya Tewas

Satreskrim Polresta Banda Aceh saat menunjukkan barang bukti kasus pembunuhan penjual ponsel di Aceh Besar, di Mapolresta Banda Aceh, Selasa (30/1/2024) (ANTARA/HO/Humas Polresta Banda Aceh)
Satreskrim Polresta Banda Aceh saat menunjukkan barang bukti kasus pembunuhan penjual ponsel di Aceh Besar, di Mapolresta Banda Aceh, Selasa (30/1/2024) (ANTARA/HO/Humas Polresta Banda Aceh)
ACEH - Polisi dari Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh telah mengungkap motif di balik pembunuhan seorang penjual telepon seluler di Aceh Besar. 

Pembunuhan tersebut dilakukan oleh rekan kerjanya sendiri karena masalah utang yang mencapai Rp80 juta.

"Karena sakit hati dan diminta membayar utang Rp80 juta. Korban bulan depan akan melangsungkan pernikahan sehingga meminta utangnya dibayar," ujar Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Komisaris Polisi Fadillah Aditya Pratama di Banda Aceh pada Selasa kemarin.

Korban, yang diketahui bernama Fajarullah (25), ditemukan tewas di kawasan Gampong Gla Meunasah Baro, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, pada Senin (29/1) dini hari dan polisi menduga dia menjadi korban pembunuhan.

Tim Rimueng Polresta Banda Aceh berhasil menangkap seorang tersangka pembunuhan berinisial MRV (20) asal Kota Banda Aceh beberapa jam setelah penemuan jasad korban. Tersangka tersebut merupakan rekan kerja korban.

Fadillah menjelaskan bahwa penangkapan tersangka didasarkan pada keterangan beberapa saksi. 

Tersangka awalnya berusaha mengelabui petugas dengan memberikan keterangan palsu, namun setelah penyelidikan lebih lanjut, tersangka akhirnya mengaku telah membunuh teman kerjanya.

"Pelaku mengaku membawa senjata tajam pisau yang sudah dibuang di Batoh (daerah jauh dari TKP). Setelah kita dapatkan barang bukti senjata tajam, kita juga dapatkan mobil yang dibawa," jelasnya.

Menurut Fadillah, pelaku dan korban bekerja sama dalam membuka usaha toko penjualan ponsel dan memiliki kesepakatan pembagian hasil. 

Namun, dalam dua tahun terakhir, pelaku merasa tidak puas dengan pembagian hasil tersebut.

"Pelaku sering mengambil uang secara diam-diam di kios dengan besaran tidak menentu hingga mencapai sekitar Rp80 juta," ungkap Fadillah.

Korban, lanjut Fadillah, awalnya membiarkan pelaku mengambil uang usaha meskipun mengetahuinya. Namun, ketika jumlahnya sudah cukup besar, korban mulai menagih uang tersebut kepada pelaku dan memberi batas waktu pelunasan hingga 30 Januari 2024.

"Beberapa hari sudah kesal karena diberi waktu tanggal 30 (Januari), khawatir tidak bisa bayar dipecat. Tersangka juga merasa sakit hati karena ketika pelaku minta haknya, korban menjawab ngapain atur-atur aku," ujar Fadillah.

Dalam kasus ini, tersangka dijerat dengan pasal 340 juncto 338 KUHP tentang pembunuhan berencana, yang berpotensi menghadapi hukuman mati atau penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara.

Sumber: Antara/Rahmat Fajri
Editor: Yakop

Kamis, 09 November 2023

Tolak Raqan Penyiaran Aceh Sejumlah Radio Berhenti Siaran

Tolak Raqan Penyiaran Aceh Sejumlah Radio Berhenti Siaran
Tolak Raqan Penyiaran Aceh Sejumlah Radio Berhenti Siaran.
ACEH – Sejumlah lembaga penyiaran radio di Aceh menyatakan akan berhenti mengudara pada Kamis (9/11/2023) sebagai bentuk protes terhadap Rancangan Qanun Penyiaran Aceh yang dianggap memberatkan lembaga penyiaran.

CEO Radio Antero, Uzair mengatakan saat ini sebanyak 21 Radio di seluruh Aceh telah menyatakan bahwa akan melakukan protes dengan berhenti mengudara untuk sehari sebagai bentuk penolakan dan jumlah radio ini memungkinkan akan bertambah.


Kamis besok akan dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum Dewan Perwakilan Rakyat Aceh terkait rancangan Qanun Penyiaran Aceh, "dimana Pasal 16 sampai 18 dari peraturan daerah ini kami anggap sangat memberatkan dan tidak ada urgensinya,” ujarnya saat dikonfirmasi  Rabu (8/11/2023).

Menurutnya pasal-pasal harus ditinjau ulang karena sebagian yang disebutkan dalam pasal tersebut sudah tercantum dalam UU Penyiaran. Sementara kajian soal daftar inventaris masalah belum cukup komprehensif dilakukan.

“Nah jika ada kajian yang menemukan urgensi baru dibutuhkan qanun. Tapi itu kita juga lihat dalam pasal dimana sejumlah kewajiban produksi yang belum jelas anggaran siapa yang tanggung sedangkan kondisi radio saat ini sedang tidak stabil,” paparnya.

Adapun List radio yang akan off siaran Kamis 9 November 2023 yaitu :

1. Antero FM Banda Aceh 
2. Panglima Polem FM Aceh Besar 
3. Lima 7 FM Aceh Besar 
4. Three FM Banda Aceh 
5. Kluetezz FM Aceh Selatan 
6. Dalka FM Meulaboh 
7. Fatali FM Aceh Barat Daya
8. Radio Xtra FM Aceh Singkil
9. Megaphone FM Sigli
10. Hidayah FM
11. Urban FM Aceh Besar 
12. Toss FM Banda Aceh 
13. Muna FM Subulussalam 
14. Nikoya FM Banda Aceh 
15. Mutiara FM Pidie
16. ASFM Sigli 
17. Radio KIS FM Aceh Besar
18. Radio SLA FM Takengon
19. Kontiki FM Banda Aceh
20. Djati FM Banda Aceh
21. Amanda FM Takengon

Jumlah ini diperkirakan terus bertambah.

Sementara itu owner Three FM Wira Dharma menyebutkan bahwa radio memiliki segmentasi pendengar yang berbeda sehingga kalau konten siaran diseragamkan tidak akan menarik lagi. "Justru kalau konten program sejenis akan menciptakan persaingan tidak sehat", ungkap Wira.

Lembaga penyiaran radio di Aceh yang menolak Raqan Penyiaran Aceh ini akan melakukan langkah advokasi secara hukum. Penasehat hukum dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin SH telah menyatakan kesediaannya untuk memberikan pendampingan. 

Qanun yang merupakan peraturan daerah di Aceh didasarkan pada kekhususan dalam UUPA (Undang-undang Pemerintah Aceh). Dalam pasal 153 UUPA disebutkan pemerintah Aceh memiliki hak untuk mengatur pers dan penyiaran yang islami. Hal ini menjadi kontroversi dan mendapat sorotan banyak pihak. Menurut Safaruddin jika rancangan Qanun Penyiaran Aceh ini dikaitkan dengan pasal tersebut tidak ada korelasinya.

Minggu, 18 September 2022

Seorang Pelajar SMP di Aceh Meninggal Dunia Usai Kecelakaan di Jalan Raya

Diva Meliza (13), seorang pelajar SMP warga Desa Sawang Teubee, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat meninggal dunia usai mengalami kecelakaan di jalan raya.
Seorang Pelajar SMP di Aceh Meninggal Dunia Usai Mengalami Kecelakaan di Jalan Raya
Sebuah mobil penumpang jenis L-300 diamankan di Mapolsek Kaway XVI, Aceh Barat. (BorneoTribun/Antara)
BorneoTribun, Aceh - Petugas kepolisian dari Satuan Lalu Lintas Polres Aceh Barat menyelidiki kasus kecelakaan yang menyebabkan Diva Meliza (13), seorang pelajar SMP warga Desa Sawang Teubee, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat meninggal dunia usai mengalami kecelakaan di jalan raya.

“Kasus kecelakaan ini sedang kami selidiki,” kata Kasatlantas Polres Aceh Barat Iptu Sugeng Riyadi, di Meulaboh, Sabtu malam.

Ia menjelaskan, kasus kecelakaan yang menewaskan seorang pelajar SMP tersebut, setelah korban Diva Meliza, pengemudi sepeda motor jenis Honda Beat nomor polisi BL 4487 EAE mengalami kecelakaan di kawasan Sawang Teubee, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat.

Korban meninggal dunia dalam perjalanan menuju ke Puskesmas Kaway XVI, Aceh Barat, setelah mengalami luka lecet di wajah dan cedera kepala berat, setelah mengalami kecelakaan dengan sebuah mobil penumpang jenis L-300 nomor polisi 1108 VL.

Kendaraan penumpang tersebut dikemudikan oleh Aguswandi (28), warga Desa Kabu Tunong, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

Iptu Sugeng Riyadi menjelaskan sebelum terjadi kecelakaan, mobil penumpang yang dikemudikan oleh Aguswandi melaju dari arah Panton Reue menuju ke Meulaboh, ibu kota Kabupaten Aceh Barat.

Sedangkan korban Diva Meliza yang mengemudi kendaraan roda dua, juga melaju dengan arah yang sama dengan angkutan umum.

Ketika kedua kendaraan sedang melaju, kata Iptu Sugeng Riyadi, sepeda motor yang dikemudikan oleh korban Diva Meliza berbelok ke kanan tanpa menyalakan lampu isyarat dan memperhatikan arus lalu lintas.

Akibatnya, mobil penumpang yang dikemudikan oleh Aguswandi dan berada di belakang korban terkejut, sehingga menyebabkan terjadi kecelakaan, sehingga menyebabkan korban meninggal dunia dalam perjalanan menuju ke puskesmas.

“Kasus kecelakaan ini masih kami selidiki dan kedua kendaraan juga sudah kami amankan, untuk penyelidikan lebih lanjut,” kata Sugeng Riyadi.

(yk/ant)

Sabtu, 05 Februari 2022

Pemda Buang Sampah di Tanah Warga, Rosman Tidak Terima Lahannya jadi TPSA

Pemda Buang Sampah di Tanah Warga, Rosman Tidak Terima Lahannya jadi TPSA
Pemda Buang Sampah di Tanah Warga, Rosman Tidak Terima Lahannya jadi TPSA.


BorneoTribun Aceh - Lahan tanah milik warga masyarakat dijadikan sebuah ajang pembuangan sampah.


Salah seorang warga masyarakat Bernama Rosman manik, pemilik lahan tanah, Kamis (2/2/2022) lalu, mengatakan Dia merasa keberatan atas dijadikannya lahan di tanahnya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah.


Terlebih lagi Dia lahannya dikhususkan tempat sampah di kecamatan Gunung mariah kabubupaten aceh singkil.


Sampah yang di buang merupakan sampah pasar maupun sampah perkotaan kota rimo.


Rosman berharap kepada pemerintah daerah aceh singkil maupun dinas lingkungan hidup (DLH) Aceh singkil agar dapat mengkaji.


Selain itu, Pemerintah juga menyiapkan lahan lainnya untuk tempat pembuangan sampah Akhir (TPSA).


Menurut Dia, pemda telah sebena-benanya membuang sampah diatas hak alas milik warga.


"Ribuan kubik sampah di tanah saya dibuangkan perbuatan ini siapa dalang dibalik menjadikan pembuangan sampah pemda di tanah saya tutur Rosman manik," pungkasnya.


Yang sangat di sayangkan, kata Dia, pemerintah daerah seyogyanya mengkaji masalah tempat pembuangan sampah secara tertib demi kesehatan lingkungan masyarakat sehat.(*)

Kepsek Wirda: Jumlah Murid SMKN 1 Singkil Utara Terhitung Minim

Kepala Sekolah SMK Negeri Singkil 1 Utara, Wirda Hanim,S.Pd
Kepala Sekolah SMK Negeri Singkil 1 Utara, Wirda Hanim,S.Pd.


BorneoTribun Acerh - Kepala Sekolah SMK Negeri Singkil 1 Utara, Wirda Hanim,S.Pd, mengatakan jumlah murid di SMK Negeri 1 Singkil Utara terhitung minim, kurang lebih hanya 86 siswa dan jumlah guru 25 orang.


Ia menjelaskan ruang belajar mengajar yang terpakai hanya tujuh ruang, sedangkan delapan ruangan lainnya tidak digunakan.


Lebih lanjut, kata Wirda, proses Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dimasa Virus Corona Desease 2019 (Covid-19), proses pertemuan pembelajaran tetap mematuhi protokol kesehatan, dari pukul 8.00 wib – 12.00 wib.


Dikatakannya, pertemuan tatap Muka tetap mengedepankan protokol kesehatan ketat. 


Selain itu, kata Wirda, upacara bendera pada hari senin selalu selenggarakan dan Dirinya mengaku baru 2 minggu menjadi kepala sekolah di SMKN 1 Singkil Utara.


Pada lingkungan sekolah sendiri kata dia, terdapat perpustakaan sekolah dan laboratorium dan tempat parkir kendaraan roda dua.


Menurutnya, minimnya jumlah murid dikarenakan kurangnya minat anak dan masyarakat menuntut ilmu pendidikan di sekolah ini.


“Harapan saya, orang tua pelajar/pelajar sudi kiranya bersekolah di SMK N 1 Singkil Utara. Supaya sekolah ini lebih maju lagi. Dengan majunya sekolah serta banyaknya siswa, kualitas mutu pendidikan sekolah terjaga dan perkembangan sekolah menjadi prioritas,” kata Wirda, Sabtu (5/2/2022).


Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Singkil Utara menyebutkan,” sudi kiranya Kantor Cabang Dinas Pendidikan Aceh Singkil-Subulussalam memberikan perhatian, baik itu perkembangan sekolah, sarana dan prasarana sekolah,” pungkas Wirda Hanim.(yk/r)

Senin, 01 Februari 2021

Harimau Sumatera di Aceh yang Sempat Luka Parah Akibat Jerat Dilepasliarkan

Harimau Sumatera yang diberi nama Danau Putra saat dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, Sabtu 30 Januari 2021. (Foto: Courtesy/BKSDA Aceh)

BorneoTribun - Satu ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilepas ke habitat aslinya di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh. Sebelum dilepasliarkan, harimau itu sempat terluka parah akibat terjerat.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Aryanto mengatakan harimau Sumatera jantan yang diperkirakan berusia 1 sampai 1,5 tahun itu dilepasliarkan ke kawasan TNGL wilayah Desa Gulo, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, Sabtu (30/1).

Sebelum dilepaskan, harimau Sumatera yang diberi nama Danau Putra itu sempat terluka parah karena terjerat sling kawat di wilayah perkebunan masyarakat di kawasan Desa Gulo, 22 Januari 2021.

Harimau Sumatera yang diberi nama Danau Putra saat dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, Sabtu 30 Januari 2021. (Foto: Courtesy/BKSDA Aceh)

"Pada saat terjerat, kami temukan harimau tersebut kondisinya lemah dan terluka karena terjerat pada kaki kanan depan,” kata Agus kepada VOA, Minggu (31/1). Pada saat itu, katanya, BKSDA melakukan tindakan penyelamatan dan pemulihan luka.

“Kemudian, setelah tim medis menyatakan bahwa luka yang ada pada kaki depan sebelah kanan mulai membaik. Secara paralel kami juga menyiapkan lokasi alternatif yang akan menjadi tempat pelepasliaran," lanjut Agus.

Ia menjelaskan bahwa lokasi pelepasan yang dipilih merupakan habitat harimau yang juga berdekatan dengan tempat di mana Danau Putra pertama kali ditemukan dalam keadaan terluka. Penentuan lokasi pelepasan dilakukan berdasarkan survei lapangan dan hasil kajian teknis oleh tim, serta mendapatkan dukungan masyarakat Desa Gulo.

"Kami memperkirakan bahwa induknya masih ada di sekitar situ, karena itu memang teritorialnya. Kami juga menganalisis dari hasil camera trap, makanya kami survei lapangan kemudian menganalisa lokasi pelepasliaran. Kami temukan lokasinya memang itu wilayah teritorialnya, dan dikembalikan ke habitat alaminya," jelasnya.

Di sekitar lokasi yang menjadi tempat pelepasliaran juga telah dilakukan operasi sapu jerat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalisir harimau Sumatera terkena jerat.

"Kami juga melakukan kegiatan sapu jerat karena memang harimau itu diketahui terjerat yang dipasang oleh masyarakat. Di lokasi pelepasliaran terlebih dahulu kami bersihkan. Kemudian kami sosialisasikan ke masyarakat agar keberlangsungan hidup satwa liar terus terjaga," ungkap Agus.

BKSDA Aceh mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam, khususnya satwa liar harimau Sumatera. Salah satu caranya adalah dengan tidak merusak hutan yang merupakan habitat berbagai jenis satwa.

Masyarakat juga diminta untuk tidak menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati serta tidak memasang jerat dan racun.

Bangkai harimau Sumatra yang terlilit jerat sling ditemukan di hutan produksi di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kamis 27 Agustus 2020. (Courtesy: BBKSDA Riau)

"Komitmen kami bagaimana mempertahankan atau meningkatkan populasi keberadaan satwa liar yang ada di alam. Salah satunya menjaga satwa liar yang ada di alam agar tetap terpelihara dengan baik. Bagaimana kita mengedukasi masyarakat supaya bisa mendukung tujuan kami untuk meningkatkan populasi satwa liar yang ada di alam agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik," ujarnya.

Sementara, Kepala Bidang Teknis TNGL, Adhi Nurul Hadi, menuturkan harimau Sumatera yang masih anak sangat membutuhkan induk dalam pertumbuhannya, baik untuk berburu maupun mengeksplorasi wilayah jelajahnya. Besar kemungkinan harimau Sumatera yang dilepas itu akan dapat bertemu kembali dengan induknya.

"Pada saat terjerat dia sempat beberapa hari ditemani induk bersama satu saudaranya (harimau lainnya). Jadi yang terlihat ada tiga sebenarnya itu di lokasi.,” tuturnya.

“Selama Danau Putra dirawat beberapa kali terlihat dua harimau (di lokasi terjerat). Kemungkinan induknya masih menunggu dan mencari anaknya. Dokter hewan kemarin menyampaikan mereka memiliki insting untuk mencari saudaranya," lanjut Adhi.

Penetapan lokasi pelepasan harimau ke habitat itu juga berdasarkan pantauan petugas bahwa Danau Putra bersama induknya pernah terekam kamera pengintai di lokasi tersebut.

"Sebelumnya pada Juni 2020, tiga harimau itu terekam pernah berada di lokasi pelepasliaran. Makanya kami tetapkan lokasi pelepasliaran lokasinya di situ," ungkap Adhi.

Harimau Sumatera merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Penetapan tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi. Harimau Sumatera saat ini berstatus Critically Endangered atau spesies yang terancam kritis, berisiko tinggi punah di alam liar. [aa/ah]

Oleh: VOA Indonesia

Minggu, 31 Januari 2021

Aceh Rekrut Eksekutor Perempuan untuk Hukum Cambuk

Aceh Rekrut Eksekutor Perempuan untuk Hukum Cambuk
Perempuan pertama yang menjadi algojo hukum cambuk bersiap mencambuk seorang perempuan di Banda Aceh, 10 Desember 2019. (Foto: AFP)

BORNEOTRIBUN | ACEH - Perempuan bertopeng itu dengan gugup mendekati targetnya. Ia mengambil posisi, kemudian melepaskan cambukan demi cambukan – membuktikan dirinya sebagai anggota terbaru tim pencambuk perempuan di Provinsi Aceh.

Ia sebelumnya harus dibujuk untuk akhirnya mengeksekusi hukuman cambuk terhadap seorang warga yang dianggap bersalah – seorang perempuan lajang yang tepergok bersama seorang pria di kamar hotel.

Perilaku itu dikategorikan sebagai kejahatan moral di Aceh, satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan hukum syariah. Mereka yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran seringkali diberi hukuman cambuk di hadapan umum dengan menggunakan cambuk rotan.

Meskipun enggan, anggota tim cambuk perempuan itu pada akhirnya tetap maju dan mengeksekusi pencambukan pertamanya.

“Menurut saya dia melakukannya dengan baik. Tekniknya bagus,” kata Zakwan, Kepala Penyelidik Polisi Syariah Aceh, kepada Kantor Berita AFP.

Hukuman kontroversial itu memantik kemarahan aktivis hak asasi manusia dan memicu perdebatan di media massa, termasuk di kalangan para politikus.

Presiden Joko Widodo sebelumnya telah meminta aksi hukuman cambuk di depan umum untuk dihentikan, akan tetapi pada umumnya Jokowi jarang berkomentar akan apa yang terjadi di Aceh, yang merupakan kawasan sangat konservatif di Pulau Sumatera.

Perempuan pertama yang menjadi eksekutor hukuman cambuk tiba di lokasi pelaksanaan hukuman cambuk untuk seorang terpidana perempuan di Banda Aceh, 10 Desember 2019. (Foto: AFP)

Tidak seperti daerah lainnya, Aceh menerapkan hukum syariah sebagai salah satu hasil kesepakatan dengan pemerintah pusat pada 2005 terkait status otonomi bagi daerah itu, yang turut mengakhiri pemberontakan separatis yang telah berlangsung puluhan tahun.

Di Aceh, hukuman cambuk di depan umum merupakan jenis hukuman yang biasa diterima oleh para pelanggar hukum syariah untuk berbagai kasus, termasuk perjudian, perzinaan, minum minuman keras, berhubungan seks di luar nikah hingga hubungan sesame jenis.

Biasanya eksekutor hukuman cambuk adalah laki-laki, hingga akhirnya berubah sekarang.

‘Tiada ampun’

Semakin banyak perempuan yang dihukum atas kejahatan moral seperti bermesraan di tempat umum atau hubungan seks di luar nikah, kata pengamat, seiring derasnya arus internet dan globalisasi yang bertubrukan dengan budaya lokal dan norma agama.

Jumlah aparat penegak hukum syariah pun telah meningkat, dan kini Aceh mencoba mengikuti hukum Islam yang mensyaratkan perempuan untuk mencambuk pelaku perempuan. Itu adalah praktik yang sudah berlangsung di negara tetangga, Malaysia.

Namun meyakinkan perempuan untuk mau terlibat sebagai eksekutor bukanlah hal yang mudah, dan diperlukan waktu bertahun-tahun untuk akhirnya terbentuk tim pencambuk perempuan, menurut Safriadi yang mengepalai Unit Implementasi Syariah di ibu kota provinsi, Banda Aceh.

Delapan perempuan – semuanya adalah polisi syariah – setuju untuk menjadi eksekutor hukuman cambuk dan menjalani latihan untuk dapat mempraktikkan teknik yang tepat dan menyebabkan sesedikit mungkin luka.

Sebelumnya, selusin pria menjadi eksekutor seluruh hukuman cambuk di kota tersebut dengan bayaran yang tidak dirinci besarannya.

Seorang remaja perempuan dihukum cambuk di depan publik di Banda Aceh karena berduaan (berkhalwat) dengan pria yang bukan muhrimnya (foto: dok).

Untuk alasan keamanan, pejabat Provinsi Aceh menolak permintaan AFP untuk bisa berbincang dengan pencambuk perempuan yang mengenakan pakaian serba cokelat dengan topeng di wajah mereka untuk menyembunyikan identitas.

“Kami melatih mereka untuk memastikan kondisi fisik mereka agar bugar dan mengajari mereka bagaimana melakukan pencambukan yang baik,” kata Zakwan.

Akan tetapi, rahasia untuk bisa mengeksekusi hukuman cambuk adalah dengan melewati rintangan mental memukul sesama warga.

Karena itu, Anda harus memandang Tuhan, kata Zakwan.

“Ini semacam indoktrinasi yang kami berikan kepada mereka sehingga mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang peran mereka – jangan beri ampun pada mereka yang melanggar hukum Tuhan.” Tambahnya.

‘Terlalu lunak’

Pejabat Provinsi Aceh bersikeras menyatakan bahwa hukuman cambuk itu mencegah aksi kejahatan, di mana patroli polisi syariah kerap dilakukan di berbagai tempat umum dan lembaga – atau menindaklanjuti laporan – untuk mengawasi perilaku masyarakat.

Polisi syariah di Banda Aceh, kota yang berpenduduk 220.000 orang, berjaga di jalanan sepanjang hari dalam tiga jadwal kerja.

Dalam patroli baru-baru ini, sepasang warga yang duduk berdekatan di tepi pantai lolos dari hukuman dengan mendapatkan teguran.

Namun, sekelompok laki-laki dan perempuan yang kelihatan tengah berada di dalam sebuah kedai kopi pada jam tiga pagi tidak seberuntung pasangan tadi. Mereka ditangkap atas dugaan pelanggaran hukum syariah terkait interaksi antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah.

“Hal itu menunjukkan bahwa kami tidak pernah berhenti mencari pelanggaran hukum syariah (hukum Islam),” kata Safriadi.

Polisi Syariah berpatorli di sepanjang pinggiran pantai di Banda Aceh, 11 Desember 2019. (Foto: AFP)

Dari balik sel, salah satu laki-laki yang ditangkap mengatakan bahwa tidak ada hubungan mesra antara ia dan pengunjung kedai kopi lainnya.

“Kami bahkan tidak kenal perempuan-perempuan itu, dan kami duduk di meja yang berbeda,” katanya kepada AFP.

Para perempuan yang ditangkap kemudian dilepaskan dan diberi teguran, demikian juga para laki-laki. Namun, polisi mengatakan bahwa ketiga laki-laki yang ditangkap mungkin dikenai tuduhan lain, setelah dipastikan bahwa mereka adalah penyuka sesama jenis.

Hubungan sesama jenis, di bawah hukum syariah, akan dikenai hukuman cambuk di hadapan masyarakat yang mencemooh mereka yang jumlahnya bisa mencapai ratusan.

“Hukum syariah di Aceh masih lunak,” kata salah satu warga, Saiful Tengkuh.

“Aceh memerlukan hukuman yang lebih keras seperti rajam, bukan cuma cambuk. Seseorang yang melakukan perzinaan seharusnya dirajam 100 kali,” tambahnya.

‘Jangan ulangi lagi’

Aceh yang berpenduduk 5 juta orang, sebelumnya sempat mempertimbangkan hukuman penggal untuk kejahatan serius. Namun, pemerintah pusat langsung melarang hal itu.

Pertengahan tahun lalu, Aceh kembali menjadi perbincangan setelah sebuah fatwa dikeluarkan untuk melarang gim "PlayerUnknown’s Battlegrounds" (PUBG) dan menentang liga sepak bola perempuan nasional. Alasan penolakan adalah karena kompetisi itu tidak menyediakan stadion khusus untuk pemain perempuan, panitia pertandingan perempuan dan penonton perempuan.

Seorang perempuan Aceh (kiri), yang sedang mengendarai motor, ditahan oleh polisi syariah karena mengenakan celana ketat tanpa hijab di Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh, 7 Mei 2014. (Foto: AFP)

Namun demikian, eksekusi hukuman cambuk lah yang biasanya membuat Aceh jadi pemberitaan – hal yang dianggap pejabat setempat sebagai bentuk Islamofobia.

Aktivis menyebut banyak orang yang tepergok melakukan pelanggaran hukum syariah lebih memilih hukuman cambuk di hadapan publik yang dianggap lebih efisien, meskipun menyakitkan, daripada menjalani hukuman penjara.

Akan tetapi, hukuman cambuk bisa menimbulkan korban.

Pencambukan bisa berakibat parah hingga penerima hukuman pingsan atau dilarikan ke rumah sakit. Untuk kasus-kasus serius, antara lain hubungan sesama jenis dan hubungan dengan anak di bawah umur, penerima hukum bisa diganjar dengan 150 cambukan.

Banyak pelaku pelanggaran yang telah meninggalkan daerah Aceh karena malu atau karena masyarakat tidak lagi menggunakan jasa atau usaha mereka. Hanya sedikit yang bersedia membagikan pengalaman mereka.

Bagi perempuan, penangkapan untuk jenis pelanggaran ringan pun dapat berakibat buruk, termasuk pelecehan seksual dan pemerkosaan saat penangkapan, menurut riset Network for Civil Society Concerned with Sharia.

Melaporkan aksi pelecehan tersebut tanpa bukti pun bahkan bisa menyebabkan korban mendapatkan hukuman cambuk karena membuat tuduhan palsu, tambahnya.

Human Rights Watch dan Amnesty International mengutuk hukuman cambuk yang dianggap “barbar”, “tidak manusiawi” dan setara dengan penyiksaan.

Namun pejabat Provinsi Aceh bersikeras mengatakan bahwa hukum yang mereka terapkan “jauh lebih lunak” dibandingkan di negara ultra-konservatif, Arab Saudi, dan beberapa negara Islam lainnya.

“Kami tidak berniat menyakiti orang ketika kami mencambuk mereka,” kata Safriadi.

“Yang paling penting adalah efek memberi rasa malu terhadap pelaku dan masyarakat yang menonton sehingga mereka tidak akan mengulangi hal itu lagi.” [rd/pp]

Oleh: VOA Indonesia

Pasangan Homoseksual di Aceh di Hukum Cambuk

Aceh menerapkan Qanun Jinayat, yang mana hubungan seks sesama jenis dihukum cambuk. (Foto: Reuters/Beawiharta)

BorneoTribun | Aceh - Pihak berwenang di Aceh secara terbuka menghukum cambuk enam orang yang dituduh melanggar hukum Islam, termasuk dua pria yang menerima 77 cambukan karena melakukan hubungan sesama jenis. Hukuman tersebut disebut lembaga nirlaba Human Rights Watch sebagai "penyiksaan public.”

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Tanah Air yang menerapkan hukum Islam. Hukum cambuk kali ini adalah yang ketiga kalinya terjadi sejak Aceh melarang homoseksualitas pada tahun 2014. Aceh juga memberlakukan hukuman cambuk untuk kejahatan seperti pencurian, perjudian dan perzinahan.

Seorang petugas polisi syariah bertudung melakukan hukuman cambuk pada hari Kamis (28/1). Kejadian tersebut, sebagaimana dilansir dari Reuters, Sabtu (30/1), disaksikan oleh kerumunan masyarakat yang mengenakan masker. Salah satu pria itu meringis kesakitan saat menerima hukuman, yang menyebabkan ibunya pingsan.

Dua orang lainnya menerima 40 cambukan karena mengkonsumsi alkohol dan dua lainnya 17 cambukan karena perzinahan.

Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch Indonesia, mengutuk hukuman cambuk dan sikap homofobik yang ditunjukkan oleh beberapa orang di Aceh.

"Jika Indonesia ingin dianggap sebagai negara yang beradab, pemerintah harus menghentikan praktik penyiksaan di Aceh dan segera meninjau bagaimana hukum Islam telah diintegrasikan ke dalam peraturan daerah,” katanya.

Devi Arinah, seorang guru di Aceh yang berusia 53 tahun, mengatakan bahwa dia mendukung hukuman cambuk untuk tindakan homoseksual. Namun menurutnya, orang yang dihukum tersebut harus "diberi konseling agar mereka menyadari bahwa tindakan mereka tidak sesuai untuk kita sebagai orang beriman."

Warga lainnya, Teguh Khosul yang berusia 17 tahun, mengatakan bahwa jika hukuman cambuk tidak mengubah perilaku, maka seorang ulama harus membantu "merehabilitasi" kaum gay secara religius atau diusir dari masyarakat. [ah]

Oleh: VOA Indonesia

Minggu, 18 Oktober 2020

Pembunuh Rangga yang Mencegah Ibunya Diperkosa Meninggal di Sel

Pembunuh Rangga yang Mencegah Ibunya Diperkosa Meninggal di Sel
Ilustrasi. (Yakop/BorneoTribun.com)


BorneoTribun | Banda Aceh - Samsul Bahri (41) meninggal saat hendak dibawa ke rumah sakit. Samsul adalah pembunuh Rangga (9) yang mencegah pemerkosaan ibunya DA (28).


"Tadi malam sekitar pukul 12 dia meninggal di ruang sel," kata Kasat Reskrim Polres Langsa Iptu Arief Sukmo Wibowo, saat dimintai konfirmasi wartawan, Minggu (18/10/2020).


Polisi mengatakan, sehari sebelumnya, Samsul dibawa ke rumah sakit karena dehidrasi setelah tidak mau makan atau minum. Setelah menjalani perawatan, dokter mengizinkan Samsul untuk dibawa kembali ke penjara.


“Menurut teman satu selnya, dia memang tidak mau makan dan minum,” kata Arief.


Semalam Samsul dijadwalkan untuk dibawa kembali ke rumah sakit. Namun, polisi menemukan bahwa residivis kasus pembunuhan tersebut telah meninggal.


“Dokter belum memberikan informasi penyebab kematiannya. Kami ingin melakukan otopsi tapi pihak keluarga menolak,” kata Arief.


Sebelumnya, Samsul diduga membunuh Rangga karena teriakan agar ibu DA tidak diperkosa oleh pelaku. Peristiwa itu terjadi di Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur, Aceh, Sabtu (10/10) pagi. (red)

Selasa, 25 Agustus 2020

Presiden RI Resmikan Ruas Tol Pertama di Aceh


BORNEOTRIBUN I ACEH - Presiden RI, Joko Widodo melakukan kunjungan kerja sehari  ke Provinsi Aceh untuk meresmikan gerbang tol Blang Bintang di kecamatan Blang Bintang kabupaten aceh besar. Selasa, 25/8/20.

Bertolak dari Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, dengan Pesawat Kepresidenan Indonesia-1 dan mendarat di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Kepala Negara langsung menuju gerbang tol Blang Bintang, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar untuk melakukan peninjauan sekaligus peresmian jalan tol ruas Sigli-Banda Aceh Seksi 4 yang menghubungkan Indrapuri-Blang Bintang.

Dalam kunjungannya, Presiden juga diagendakan untuk menyerahkan Banpres Produktif Usaha Mikro kepada sejumlah perwakilan penerima untuk kemudian berlanjut pada acara pengarahan Presiden Republik Indonesia untuk penanganan Covid-19 secara terintegrasi di Provinsi Aceh.

Turut mendampingi Presiden dalam penerbangan menuju Provinsi Aceh di antaranya Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, Sekretaris Militer Presiden Majyen TNI Suharyanto, Komandan Paspampres Mayjen TNI Maruli Simanjuntak, serta Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin. 

Penulis : Rilis Biro Pers Kepresidenan
Editor    : Hermanto





Selasa, 18 Agustus 2020

Dua Jenazah Yang Meninggal Dunia Di Kapal Pedagangan Manusia Yang Berbendera China di Pulangkan

Ilustrasi. Dua jenazah yang diduga menjadi korban perdangangan manusia yang meninggal di kapal China dipulangkan (Istockphoto/Nito100)


BORNEOTRIBUN - Dua jenazah warga Aceh yang meninggal dunia di dalam kapal berbendera China di Perairan Batam beberapa waktu lalu dipulangkan ke kampung halaman.


Dua jenazah itu adalah warga Desa Pante Paku, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh. Kepala Dinas Sosial Aceh Alhudri mengatakan, keduanya bernama Musnan (26) dan Syakban (22).


Mereka diduga sebagai korban perdagangan manusia. Untuk itu pihaknya melalui Pemerintah Aceh meminta penegak hukum di Polda Kepulauan Riau untuk mengusut kasus ini hingga tuntas.


"Penyebab kematian belum bisa disimpulkan. Hasil otopsi juga belum ada informasi. Kita serahkan semuanya ke aparat penegak hukum," kata Alhudri kepada wartawan, Senin (17/08).


Pihak perusahaan tempat korban bekerja, kata dia agar dapat bertanggung jawab atas kejadian itu. Pihak perusahaan juga harus memperhatikan hak-hak korban selama bekerja.


"Karena pekerja ini legal, bukan ilegal, ini tenaga kerja legal. Tentu hak-haknya mohon diperhatikan," ujarnya Alhudri.


Jenazah dijadwalkan akan diterbangkan menggunakan pesawat dari Batam menuju Medan, Sumatera Utara pada hari ini dan diperkirakan akan tiba di Bireuen pada malam nanti.


Kedua jenazah tersebut diperkerjakan oleh perusahaan PT SMB. Diduga perusahaan tersebut tidak memiliki izin untuk merekrut Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk dipekerjakan ke luar negeri.


Perusahaan itu menggunakan modus yang sama dengan kasus perdagangan orang sebelumnya. PT SMB melakukan rekrutmen warga, termasuk tiga orang korban yang meninggal, dan menetapkan mereka sebagai pekerja migran Indonesia di kapal penangkap ikan berbendera asing.(cnn/dr/ek)

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno