Berita Borneotribun.com: Mahfud MD Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Mahfud MD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahfud MD. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Juni 2021

Mahfud MD: Keputusan RKUHP Tidak Mungkin Tunggu 270 Juta Orang

Mahfud MD: Keputusan RKUHP Tidak Mungkin Tunggu 270 Juta Orang
Menko Polhukam Mahfud MD saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/6). (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

BORNEOTRIBUN JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud Md menyerukan pembahasan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) agar segera diambil.

Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan hukum merupakan hasil kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda. Karena itu, ia menilai wajar jika terdapat perbedaan dalam penyusunan hukum. Namun, Mahfud menegaskan pemerintah telah bersikap demokratis dalam penyusunan RKUHP. Hanya ia menekankan tidak mungkin pemerintah harus menunggu kesepakatan semua warga dalam membuat KUHP.

"Keputusan harus segera diambil. Mau mencari kesepakatan dari 270 juta orang itu hampir tidak mungkin. Oleh sebab itu keputusan harus diambil melalui proses yang benar dan konstitusional," jelas Mahfud saat membuka diskusi "RKUHP" di Jakarta, Senin (14/6/2021).

Mahfud menambahkan pembahasan RKUHP sudah berlangsung sekitar 50 tahun. Menurutnya ada faktor-faktor yang membuat pembahasan tersebut berlangsung cukup lama. Antara lain karena keberagaman masyarakat dan perbedaan pandangan terhadap hukum pidana. Ada kelompok yang berpendapat hukum pidana harus bersikap universal, sementara kelompok lain menginginkan hukum pidana sesuai dengan kondisi masyarakat hukum tersebut berlaku.

Wamenkumham RI, Edward Omar Syarif Hiariej (Nurhadi/VOA)

Sementara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyoroti ketidakjelasan pemberlakuan KUHP. Ia beralasan hingga saat ini tidak ada satupun KUHP yang resmi disahkan pemerintah dan DPR.

Selain itu, terjemahan KUHP Soesilo dan Moeljatno juga terdapat perbedaan yang menyolok. Semisal Pasal 110 KUHP, menurut Moeljatno, permufakatan jahat untuk melakukan makar diancam sama dengan orang yang melakukan kejahatan itu, atau dapat diartikan ancaman pidana mati. Sedangkan Soesilo menerjemahkan perbuatan ini diancam dengan pidana penjara enam tahun.

"Jadi hal-hal kecil seperti ini, itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga kalau kita menunda KUHP untuk disahkan itu berarti suara-suara yang menginginkan status quo. Dan ingin kita tetap dalam ketidakpastian hukum," jelas Edward Omar Sharif Hiariej.

Omar menambahkan pemerintah juga telah menggelar sejumlah diskusi publik untuk mensosialisasikan RKUHP di sejumlah wilayah. Setidaknya ada tiga diskusi yang digelar pada 2021 yaitu Februari di Medan, Juni di Manado dan Jakarta.

ICJR Kritisi Sikap Pemerintah yang Terburu-buru

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritisi pemerintah yang terburu-buru dalam pembahasan RKUHP. Ia beralasan RKUHP tersebut baru dibahas secara serius dalam empat tahun terakhir. Sementara yang dimaksud Mahfud Md sekitar 50 tahun hanya berupa draf yang belum dibahas.

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. (Foto: Erasmus)

Ia juga menegaskan tidak menolak RKUHP, namun meminta pemerintah membahas RKUHP tersebut secara serius. Ia juga kecewa draf RKUHP yang disampaikan pemerintah tidak mengalami perubahan sejak ditunda pembahasan pada 2019 lalu.

"Pada 2020 kita sering diskusi dengan pemerintah dan ditunjukkan draf yang lebih progresif dari sebelumnya. Dan ternyata yang disebar kemarin itu draf yang sama dengan tahun 2019," jelas Erasmus kepada VOA, Senin (14/6/2021).

Erasmus berpendapat kekhawatiran pemerintah tentang ketiadaan terjemahan resmi KUHP juga tidak berdasar untuk dijadikan percepatan pengesahan RKUHP. Sebab, menurutnya, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR dengan memilih salah satu terjemahan.

Ia juga mengkritisi belasan diskusi publik yang digelar pemerintah terkait RKUHP. Sebab diskusi tersebut tidak melibatkan masyarakat sipil dan akademisi yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah dan DPR. [sm/em]

Oleh: VOA

Jumat, 16 April 2021

Pemerintah Siap Tagih Piutang Dana BLBI Rp110,454 Triliun

Pemerintah Siap Tagih Piutang Dana BLBI Rp110,454 Triliun
Menko Polhukam Mahfud MD, Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan keterangan pers usai rapat Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (15/4/2021). (Foto: Humas Kemenko Polhukam)

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah sudah menghitung angka paling aktual yang akan ditagih terkait aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hasil hitung terbaru menyatakan bahwa piutang itu berjumlah Rp110,454 triliun.

Hal tersebut disampaikannya dalam keterangan pers usai memimpin rapat Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (15/4/2021).

“Hitungan terakhir per hari ini, tadi, tagihan utang dari BLBI ini setelah menghitung sesuai dengan perkembangan jumlah kurs uang, kemudian pergerakan saham, dan nilai-nilai properti yang dijaminkan, per hari ini yang kemudian menjadi pedoman adalah sebesar Rp110.454.809.645.467,” ujarnya.

Mahfud menerangkan, total piutang Rp110,454 triliun tersebut terdiri dari enam macam tagihan, antara lain tagihan berbentuk kredit yang jumlahnya sekitar Rp101 triliun dan berbentuk properti bernilai lebih dari Rp 8 triliun.

“Lalu ada yang bentuknya rekening uang asing, kan itu bergerak terus angkanya. Ada yang berbentuk saham,” terangnya.

Dari berbagai jenis tagihan itu, ungkap Menko Polhukam, terdapat 12 permasalahan yang terjadi yang menghambat tuntasnya upaya penagihan. Kompleksitas permasalahan tersebut mulai dari properti yang dijaminkan sudah berpindah tangan karena digugat pihak ketiga hingga aset yang sudah berpindah ke luar negeri.

Mahfud menyebutkan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI sudah menyiapkan solusi untuk menjawab masing-masing permasalahan tersebut. “Ada aset yang sudah berpindah ke luar negeri. Apa yang akan dilakukan pemerintah? Ya kita antarnegara, bisa pakai interpol dan lain-lain, tadi Menkumham [Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia] sudah menyampaikan cara-cara itu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Mahfud meminta kesadaran para pemilik utang untuk menyelesaikan kewajiban mereka pada pemerintah. “Tentu diharapkan kepada mereka yang merasa punya utang, dan kami punya catatannya, akan sangat baik kalau secara sukarela, secara voluntary, datang ke pemerintah, ke Menteri Keuangan,” ujarnya.

Rapat tersebut antara lain dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Menkumham Yasonna H. Laoly, dan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Sebelumnya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada tanggal 6 April 2021

Dituangkan dalam Keppres 6/2021 yang dapat diakses pada laman JDIH Sekretariat Kabinet ini, pembentukan satgas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden ini bertujuan untuk melakukan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien, berupa upaya hukum dan/atau upaya lainnya di dalam atau di luar negeri, baik terhadap debitur, obligor, pemilik perusahaan serta ahli warisnya maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama dengannya, serta merekomendasikan perlakuan kebijakan terhadap penanganan dana BLBI.

Susunan organisasi Satgas ini terdiri dari pengarah dan pelaksana. Pengarah terdiri dari Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Marinves, Menkeu, Menkumham, Jaksa Agung, dan Kapolri. Sedangkan struktur pelaksana terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan tujuh orang anggota. 

(HUMAS KEMENKO POLHUKAM/UN)

Rabu, 10 Maret 2021

Presiden Jokowi Kedatangan Tujuh Anggota TP3 Enam Laskar FPI

Presiden Joko Widodo menerima kedatangan tujuh orang anggota TP3 Enam Laskar FPI, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (09/03/2021). (Foto: Biro Pers Setpres/Rusman)

BorneoTribun Jakarta - Presiden RI Jokowi menerima kedatangan tujuh orang anggota Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (09/03/2021).

“Ini tadi jam sepuluh, baru saja Presiden Republik Indonesia yang didampingi oleh Menko Polhukam (saya) dan Mensesneg menerima tujuh orang anggota TP3 yang kedatangannya dipimpin oleh Pak Amien Rais, tapi pimpinan TP3-nya itu sendiri adalah Abdullah Hehamahua,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam keterangan persnya, di Kantor Presiden, Jakarta, usai pertemuan.

Disampaikan Mahfud, dalam pertemuan yang berlangsung singkat tersebut anggota TP3 menyampaikan keyakinannya bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada peristiwa tewasnya enam laskar FPI dan meminta supaya perkara ini dibawa ke pengadilan HAM.

“Hanya itu yang disampaikan oleh mereka, bahwa mereka yakin telah terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara melanggar HAM berat, bukan pelanggaran HAM biasa, sehingga enam laskar FPI itu meninggal,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, terang Menko Polhukam, Presiden menyatakan sudah meminta Komisi Nasional (Komnas) HAM bekerja dengan penuh independen dan menyampaikan laporan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.

“Komnas HAM itu sudah memberikan laporan dan empat rekomendasi. Empat rekomendasi itu sepenuhnya sudah disampaikan kepada Presiden agar diproses secara transparan, adil, dan bisa dinilai oleh publik,” ungkap Mahfud.

Berdasarkan temuan Komnas HAM, Menko Polhukam mengatakan, peristiwa yang terjadi di Tol Cikampek KM50 yang mengakibatkan tewasnya enam laskar FPI adalah pelanggaran HAM biasa.

Menanggapi keyakinan TP3 yang disampaikan dalam pertemuan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, Mahfud menyatakan, pemerintah terbuka jika memang terdapat bukti adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Ditambahkannya, suatu peristiwa dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat jika memenuhi tiga unsur, yaitu sistematis, terstruktur, dan masif.

“Kita minta ke TP3 atau siapapun yang punya bukti-bukti lain dikemukakan di proses persidangan. Sampaikan melalui Komnas HAM, kalau ragu terhadap polisi atau kejaksaan, sampaikan di sana. Tapi kami melihat yang dari Komnas HAM itu sudah cukup lengkap,” pungkasnya.

Dalam pertemuan Presiden didampingi oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Hadir pada pertemuan Amien Rais, Abdullah Hehamahua, Muhyiddin Junaidi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Ahmad Wirawan Adnan, Mursalim, dan Ansufri Id Sambo.

Seusai pertemuan, Presiden Jokowi mengantar Amien Rais dan rombongan sampai ke pintu depan Istana Merdeka. (YK/ER)

Oleh: Humas Setkab

Selasa, 18 Agustus 2020

Mahfud Menilai Islam Wasathiyah Ini Cocok Di Indonesia

Foto: Dok. Istimewa


BORNEOTRIBUN | JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD perlunya pengetahuan terkait Islam Wasathiyah.Mahfud menilai Islam Wasathiyah ini cocok di Indonesia.


"Alhamdulillah buku Fikih Kebangsaan seri III diluncurkan. Isi buku ini, memaparkan hubungan Islam dan negara. Memang perlu disebarluaskan wacana keilmuwan Islam Wasathiyah. Islam jalan tengah, yang tidak ekstrim ke kanan dan ke kiri. Ya inilah yang cocok bagi bangsa Indonesia," ujar Mahfud dalam keterangan tertulis, Senin (17/8/2020).


Hal ini diungkap Mahfud saat memberi sambutan pada launching Buku Fikih Kebangsaan Jilid III secara virtual yang disiarkan langsung dari Ponpes Lirboyo, Senin (17/8). Selain Mahfud, hadir secara virtual Mendagri Tito Karnavian, Mustasyar PBNU K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), Rais Syuriah PCINU Australia dan New Zealand Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), Pegasuh Ponpes Lirboyo K.H. M Anwar Manshur dan K.H A. Kafabihi Mahrus dan sejumlah masayikh PBNU, serta tim penyusun buku.


Mahfud menilai Islam Wasathiyah, paling cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, sejak berdirinya republik, jalan tengah ini telah dirumuskan tokoh Islam yang tergabung dalam BPUPKI.


Selain itu Mahfud mengatakan, Islam dari waktu ke waktu mengalami kemajuan. Menurutnya, sebelum merdeka dan satu dasawarsa setelah merdeka, orang Islam masih disudutkan dan tidak banyak diberi peran. Namun, lambat laun, Islam mulai mendapat tempat.


"Awal kemerdekaan, mau jadi tentara nggak boleh. Tapi sekarang, semua berubah. Makanya salah kalau orang menyebut ada islamophobi. Pak Tito (Mendagri) ngajinya pinter. Jadi imam kelasnya bukan Qulhu. Surat panjang, beliau fasih. Tapi bisa jadi Kapolri, bisa jadi menteri," kata Mahfud.


Selain itu, perkembangan Islam juga dinilai telah maju pesat. Sehingga saat ini tak ada larangan kegiatan keagamaan.


"Di kantor polisi ada pengajian, Kapolresnya pintar ngaji, pintar dakwah. Di kantor TNI juga demikian. Di kampus-kampus, Islam sudah terang-terangan. Dulu sampai akhir 70-80 malu-malu, pakai jilbab jarang. Sekarang semua pakai jilbab. Tidak ada sekali lagi islamplophobi saat ini. Kalau ada yang bilang, itu pihak yang kalah saja. Karena yang diserang mereka juga memperjuangkan Islam," pungkasnya.(cnn/dw)

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno