Berita Borneotribun.com: PBB Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label PBB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PBB. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 April 2021

Jubir HAM PBB Komentari ‘Penangkapan’ Pangeran Hamzah

Jubir HAM PBB Komentari ‘Penangkapan’ Pangeran Hamzah
Pangeran Yordania Hamzah bin al-Hussein menghadiri acara pers di Amman, 9 September 2015. (Foto: AFP)

BorneoTribun.com -- Pejabat-pejabat PBB, Jumat (9/4), mengaku tidak tahu apakah Pangeran Hamzah dari Yordania secara de facto masih dalam tahanan rumah atau tidak. Penyelidikan sedang dilakukan atas hilangnya pangeran itu.

Juru bicara Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR) Marta Hurtado mengatakan "Kami mengikuti peristiwa yang berkaitan dengan Pangeran Hamzah bin Hussein, mantan Putra Mahkota Yordania, dan penangkapan serta penahanan setidaknya 16 pejabat senior dan pemimpin suku lainnya pada 3 April. 

Kami mengetahui bahwa ada penyelidikan yang sedang berlangsung tetapi masih tidak jelas bagi kami apakah setelah mediasi pada 5 April, Pangeran Hamzah masih dalam tahanan rumah secara de facto atau tidak."

Raja Yordania Abdullah II menahan adik tirinya itu pada 3 April atas tuduhan berkomplot dengan pendukung asing yang berusaha mengguncang Yordania. Hamzah membantah tuduhan tersebut.

Menurut OHCHR, penangkapan itu menunjukkan "pengamanan masyarakat yang semakin represif."

Hurtado juga mengomentari Putri Latifa Al Maktoum, putri penguasa Dubai. Ia mengatakan, OHCHR "belum mendapat bukti bahwa putri itu masih hidup" meskipun sudah memintanya dari pejabat Uni Emirat Arab dua minggu lalu.

Dilaporkan bahwa Putri Latifa berusaha melarikan diri dari Uni Emirat Arab pada 2018, tetapi kembali. [ka/ah]

Oleh: VOA

Jumat, 02 April 2021

Aktivis Myanmar Bakar Salinan Konstitusi, Utusan PBB Peringatkan Kemungkinan Pertumpahan Darah

Aktivis Myanmar Bakar Salinan Konstitusi, Utusan PBB Peringatkan Kemungkinan Pertumpahan Darah
Nyala api dan asap akibat ban yang dibakar, terlihat di tengah jalan saat berlangsungnya protes menentang kudeta militer, di Mandalay, Myanmar 1 April 2021. REUTERS / Stringer

BorneoTribun Myanmar, Internasional -- Sejumlah aktivis Myanmar, Kamis (1/4), membakar sejumlah salinan konstitusi hasil rancangan militer sebagai aksi protes, dua bulan setelah junta merebut kekuasaan. 

Sementara itu, utusan khusus PBB memperingatkan risiko terjadinya pertumpahan darah karena tindakan keras militer yang intensif terhadap para pengunjuk rasa anti-kudeta.

Myanmar telah diguncang oleh aksi-aksi protes sejak tentara menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari setelah mengklaim adanya penipuan pada pemilu parlemen November lalu.

Suu Kyi dan sejumlah anggota lain partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), ditahan. Junta menuduhnya melakukan beberapa kejahatan ringan termasuk secara ilegal mengimpor enam radio genggam dan melanggar protokol virus corona, tetapi media domestik melaporkan, 

Rabu bahwa Suu Kyi dapat didakwa melakukan pengkhianatan, yang dapat dijatuhi hukuman mati.

Salah seorang pengacara Suu Kyi, Min Min Soe, mengatakan, tidak ada dakwaan baru yang diajukan pada sidang kasus Suu Kyi, Kamis (1/4). Tim pengacara Suu Kyi mengatakan, tuduhan-tuduhan yang dihadapi perempuan peraih Nobel Perdamaian itu dibuat-buat.

Utusan PBB Peringatkan Kemungkinan Pertumpahan Darah
Konstitusi Myanmar 2008 dibakar di sebuah jalan di Yangon, Myanmar, saat berlangsungnya aksi protes menentang kudeta militer, 1 April 2021. (REUTERS / Stringer)

Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgene memperingatkan kemungkinan terjadinya pertumpahan darah menyusul gejolak dalam pertempuran antara militer dan kelompok-kelompok pemberontak etnis minoritas di daerah-daerah perbatasan.

Sedikitnya 20 tentara tewas dan empat truk militer hancur akibat bentrokan militer dengan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), salah satu kelompok pemberontak paling kuat di Myanmar, menurut laporan kantor berita DVB. 

Christine Schraner Burgener.

Reuters tidak dapat segera memverifikasi laporan itu dan juru bicara junta militer juga tidak menanggapi permintaaan komentar terkait laporan tersebut.

Militer Myanmar juga telah mulai membom posisi-posisi sebuah kelompok lainnya, Serikat Nasional Karen (KNU), untuk pertama kalinya waktu dalam lebih dari 20 tahun. Ribuan penduduk desa terpaksa mengungsi untuk menghindari kekerasan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke Thailand.

Di banyak kota di berbagai penjuru Myanmar, aksi-aksi protes kembali berlangsung, namun umumnya berlangsung pada malam hari atau fajar pada hari Kamis, menurut sejumlah media dan foto-foto yang diunggah di media-media sosial.

Christine Schraner Burgene, mengatakan kepada 15 anggota Dewan Keamanan PBB bahwa militer Myanmar tidak mampu mengelola negara, dan memperingatkan situasi di lapangan akan memburuk. 

Menurutnya, dewan itu harus mempertimbangkan tindakan yang berpotensi signifikan karena pertumpahan darah akan segera terjadi.

Dewan Keamanan telah menyatakan keprihatinan dan mengutuk kekerasan yang dialami para pengunjuk rasa. 

Tetapi, dewan itu gagal menyebut tindakan pengambilalihan kekuasaan di Myanmar sebagai kudeta dan gagal menyepakati kemungkinan untuk mengambil tindakan lebih lanjut karena adanya tentangan dari China, Rusia, India dan Vietnam.

Setidaknya 536 warga sipil tewas dalam aksi-aksi protes di Myanmar, dan 141 diantaranya terjadi Sabtu lalu, hari paling berdarah sejak kerusuhan berkecamuk, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). [ab/lt]

Oleh: VOA Indonesia

Rabu, 31 Maret 2021

Kelompok HAM PBB 'Sangat Prihatin" atas Perlakuan China terhadap Muslim Uighur

Kelompok HAM PBB 'Sangat Prihatin" atas Perlakuan China terhadap Muslim Uighur
Kamp pendidikan ulang bagi Muslim Uighur di Hotan, Xinjiang, China (foto: dok).

BorneoTribun Internasional -- Sekelompok pakar hak asasi manusia PBB mengatakan "sangat prihatin" dengan tuduhan terkait perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur.

Kelompok Kerja Bisnis dan Hak Asasi Manusia mengatakan telah "menerima informasi yang mengaitkan 150 lebih perusahaan China dan perusahaan asing dengan tuduhan-tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap pekerja Uighur.

“Sebagai ahli independen yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia, di mana China menjadi negara anggota, kami menganggap bahwa kunjungan resmi ke China (termasuk wilayah Xinjiang) akan menjadi kesempatan ideal untuk dialog semacam itu dan menilai sendiri situasi berdasarkan akses bebas dan tanpa hambatan, ” kata kelompok itu.

Banyak perusahaan China serta perusahaan swasta di luar China dituduh menggunakan tenaga kerja budak atau memasukkan produk yang dibuat dengan kerja paksa ke dalam rantai pasokan mereka. Ini termasuk "merek global terkenal," kata kelompok itu.

Kelompok itu mendesak China agar segera menghentikan tindakan apa pun yang tidak sepenuhnya sesuai dengan hukum, norma, dan standar internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia, termasuk hak-hak minoritas.

China dituduh melakukan pelanggaran hak termasuk penahanan sewenang-wenang, sterilisasi paksa, dan penggunaan tenaga kerja budak dengan menggunakan warga Uighur. China membantah tuduhan tersebut dan mengatakan kebijakannya di Xinjiang, dimana Uighur terkonsentrasi, bertujuan memerangi ekstremisme Islam.

Inggris, Kanada, Uni Eropa, dan Amerika telah memberikan sanksi kepada beberapa anggota elit kekuatan politik dan ekonomi Xinjiang minggu ini atas tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang luas di sana. [my/jm]

Oleh: VOA Indonesia

Selasa, 09 Maret 2021

Pekerjaan Perempuan Lebih Terdampak Pandemi Dibanding Pria

Pekerjaan Perempuan Lebih Terdampak Pandemi Dibanding Pria
Ilustrasi seorang perempuan membaca buku. Foto: GETTY IMAGES

BorneoTribun Jakarta -- Selama lebih dari 100 tahun, Hari Perempuan Internasional dirayakan dengan mengakui pencapaian perempuan di seluruh dunia.

Namun, tahun ini, karena hilangnya pekerjaan dan meningkatnya beban di rumah, kondisi ekonomi perempuan lebih buruk daripada laki-laki.

Menurut data Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO), perempuan di seluruh dunia kehilangan pekerjaan lebih banyak akibat pandemi dibandingkan laki-laki. Sekitar 5 persen perempuan pada 2020 kehilangan pekerjaan atau jam kerja dikurangi, sedangkanlaki-laki yang mengalami hal yang sama hanya 3,9 persen.

"Setiap kali sesuatu terjadi di dunia, perempuan mengalami dua kali lipat lebih buruk," kataAnchia Mulima, koordinator Lemusica, organisasi yang mendukung perempuan dan anak perempuan diMozambique, kepada VOA.

Selama pandemi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menekankan kesenjangan antara bagaimana perempuan terdampak krisis dibandingkan laki-laki.

"Ketimpangan gender telah meningkatkan secara drastis dalam setahun belakangan, sementara perempuan menopang beban penutupan sekolah dan bekerja dari rumah," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.

MenurutUNWomen, 58 persen dari perempuan bekerja di seluruh dunia, melakukan "pekerjaan informal" atau pekerjaan yang tidak terlalu diregulasi dan seringkali tanpa pajak atau tunjangan. Perempuan juga lebih cenderung bekerja dalam industri yang sangat terdampak pandemi, seperti pariwisata dan pengasuhan anak. [vm/ft]

Oleh: VOA Indonesia

Kamis, 04 Maret 2021

Siapa yang Akan Mewakili Myanmar di PBB?

Logo Perserikatan Bangsa-Bangsa di lorong yang tampak sepi dalam pelaksanaan Sidang Umum PBB ke-75 yang kebanyakan digelar secara virtual, di tengah pandemi COVID-19, 22 September 2020.

BorneoTribun Myanmar, Internasional -- Pemerintah Myanmar kini sedang bertarung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengklaim wakil mereka di badan dunia itu. Kemungkinan besar negara-negara anggota harus turun tangan untuk memutuskan duta besar mana yang akan diakui.

“Saya dapat mengukuhkan bahwa kami menerima dua surat,” ujar juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric pada wartawan. “Kedua surat ini sedang kami kaji,” tambahnya.

Dujarrin mengatakan, Senin (1/3), bahwa pihaknya telah menerima sepucuk surat dari Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar yang baru menjabat Oktober lalu dan memastikan bahwa ia masih menjadi wakil negara itu di PBB. Sementara itu komunikasi kedua diterima pada Selasa (2/3) dari Kementerian Luar Negeri Myanmar yang memberitahu Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres bahwa per 28 Februari, Wakil Duta Besar Myanmar untuk Misi PBB Tin Maung Naing telah ditunjuk sebagai kuasa usaha.

“Jujur saja, kami berada dalam situasi yang sangat unik yang sudah lama tidak terjadi,” kata Dujarric. “Kami mencoba memilah seluruh protokol hukum dan implikasi lainnya.”

Saling Klaim

Dalam sidang Majelis Umum PBB pada Jumat (26/2), Duta Besar Myanmar ntuk Misi PBB Kyaw Moe Tun menyampaikan seruan emosional kepada masyarakat internasional, menyerukan negara-negara untuk menolak kudeta militer 1 Februari lalu dan untuk “menggunakan segala cara yang diperlukan” untuk melindungi rakyat Myanmar.

Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun mengacungkan salam tiga jari untuk menutup pidatonya di hadapan Majelis Umum PBB memohon bantuan internasional untuk menindak kudeta militer di Myanmar, Februari 2021.

Stasiun televisi mengumumkan bahwa sehari setelah menyampaikan pernyataan itu, Kyaw Moe Tun dipecat.

Dalam surat kepada Presiden Majelis Umum PBB dan salinan surat pada Kantor Sekjen PBB, Kyaw Moe Tun mengatakan ia ditunjuk oleh Presiden U Win Myint, “presiden Myanmar yang dipilih secara sah” dan oleh Menteri Luar Negeri Aung San Suu Kyi.

Presiden U Win Myint dan Suu Kyi merupakan dua dari puluhan pejabat yang telah ditahan dalam pengambilalihan kekuasaan awal Februari itu.

Demonstrasi rakyat yang terjadi di seluruh Myanmar guna menentang kudeta militer itu telah bergulir menjadi aksi kekerasan yang menelan korban jiwa. Para diplomat mengatakan Dewan Keamanan PBB akan membahas situasi itu Jumat ini (5/3).

“Para pelaku kudeta yang tidak sah terhadap pemerintahan demokratis Myanmar tidak memiliki kewenangan untuk melawan otorita sah presiden negara saya,” demikian petikan surat Kyaw Moe Tun itu. “Oleh karena itu saya ingin mengukuhkan bahwa saya masih menjadi Perwakilan Tetap Myanmar Untuk PBB.”

Sementara itu komunikasi dari Kementerian Luar Negeri tidak ditandatangani, tetapi memiliki cap resmi dan mengumumkan bahwa “Dewan Administrasi Negara Republik Persatuan Myanmar menghentikan tugas dan tanggung jawab Duta Besar U Kyaw Moe Tun” pada 27 Februari, sehari setelah ia menyampaikan pidato mengecam kudeta itu.

“Untuk itu Kementerian Luar Negeri ingin meminta Kantor Eksekutif Sekjen PBB untuk menerima keputusan yang dibuat oleh Dewan Administrasi Negara Myanmar,” sebagaimana ditulis dalam surat itu.

Komite Kredensial PBB

Biasanya jika ada perselisihan tentang siapa utusan yang telah diakreditasi suatu negara, Komite Kredensial PBB – yang terdiri dari sembilan negara anggota – akan mengkaji hal itu dan memberikan rekomendasi.

Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield di Capitol Hill, Washington, 27 Januari 2021.

“Setelah itu tergantung pada Majelis Umum untuk mempertimbangkan rekomendasi dari komite kredensial itu,” ujar Brenden Varma, juru bicara Presiden Majelis Umum.

“Kita belum pernah melihat bukti resmi apapun – atau permintaan bahwa ia (Kyaw Moe Tun.red) dipecat dan untuk sementara waktu ia merupakan wakil pemerintah Myanmar,” ujar Duta Besar Amerika untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, Senin (1/3).

Thomas-Greenfield berbicara dalam konferensi pers tentang siapa yang akan diakui Amerika sebagai wakil Myanmar di PBB.

Sekjen PBB Antonio Guterres telah berulang kali menyerukan agar militer mengubah tindakannnya dan menghormati keinginan rakyat sebagaimana yang ditunjukkan dalam pemilu presiden November lalu, di mana Partai Liga Nasional Untuk Demorasi (NLD) menang telak dengan meraih 82 persen suara.Utusan Khusus PBB Untuk Myanmar Christine Schraner Burgener menyerukan kepada masyarakat internasional “untuk tidak memberi pengakuan atau legitimasi” pada rejim militer Myanmar.

Ia mengatakan sangat prihatin dengan terus terjadinya penangkapan pemimpin politik, termasuk anggota-anggota NLD; para pejabat pemerintah; masyarakat madani: dan wartawan. Ia mengecam keras penggunaan kekuatan mematikan terhadap demonstran damai dan meningkatnya jumlah korban tewas sebagai hal yang “tidak dapat diterima.” [em/pp]

Oleh: VOA Indonesia

Selasa, 02 Maret 2021

Dewan Hak Asasi Manusia PBB ‘Serang’ Negara-negara Kuat

Direktur eksekutif Human Rights Watch, Kenneth Roth

BorneoTribun Internasional - Dewan Hak Asasi Manusia PBB menuntut negara-negara kuat agar diperiksa dan bertanggung jawab atas pelanggaran berat yang telah mereka lakukan. Selama ini, ada ‘tembok’ yang melindungi negara-negara itu.

Direktur eksekutif Human Rights Watch, Kenneth Roth, menyebut mereka "tak tersentuh".

“Yang saya maksud dengan sebutan itu adalah pemerintah yang berhasil menghindari pengawasan melekat yang nyata dalam bentuk resolusi dewan. Yang paling tak tersentuh yang ada dalam benak saya adalah China, Arab Saudi, Mesir, dan Rusia," jelasnya.

Menghadapi negara-negara yang tak tersentuh ini, menurut Roth, bukan hanya tantangan terbesar yang dihadapi dewan, tetapi juga penting untuk kredibilitasnya. Ia mengungkapkan, upaya sedang dilakukan untuk menyusun pernyataan kritis tentang Mesir dan Arab Saudi. Tekanan semakin meningkat terhadap Rusia terkait dugaan peracunan aktivis oposisi Alexey Navalny.

Namun, yang paling menarik, kata Roth, adalah tanda-tanda yang muncul bahwa China mungkin tidak lagi tak tersentuh.

“Selama ini secara politik dipandang tidak mungkin mengatasi represi yang memburuk di Xinjiang, represi yang berkelanjutan di Tibet, penumpasan kebebasan di Hong Kong. Kita tahu, adalah tidak mungkin mengalahkan upaya diplomatik dan ekonomi China yang sangat besar supaya pengawasan melekat seperti itu tidak terjadi. Tetapi masa, kini berubah,” kata Roth.

Kritik internasional terhadap dugaan penahanan setidaknya 1 juta Muslim Uighur di China, dalam apa yang disebut kamp pendidikan kejuruan, semakin pedas pekan lalu dalam pertemuan Segmen Tingkat Tinggi dewan tersebut.

Dalam pernyataan yang keras, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut situasi di Xinjiang sudah di luar batas. “Pelanggaran yang dilaporkan, yang mencakup penyiksaan, kerja paksa, dan sterilisasi paksa terhadap perempuan, sangat ekstrem. Pelanggaran itu sangat luas dan terjadi dalam skala sangat besar. Seharusnya, menjadi tugas kita bersama untuk tidak membiarkan pelanggaran itu terus terjadi. Mekanisme PBB harus merespons."

Raab meminta dewan agar mengeluarkan resolusi yang memungkinkan akses mendesak dan tidak terbatas ke Xinjiang oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia atau tim pakar pencari fakta independen lainnya. Raab juga mengutuk pelanggaran yang sistematis terhadap hak-hak di Hong Kong dan pembatasan di Tibet.

Menlu China Wang Yi.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi membalas kritikan itu dengan keras. Ia meminta mereka agar tidak mencampuri urusan dalam negeri China dan berhenti menggunakan hak asasi manusia sebagai dalih untuk mencampuri urusan internal negara lain. Ia menyatakan bahwa pintu ke Xinjiang selalu terbuka dan mengundang Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia untuk berkunjung.

Dalam rapat rutin, Jumat, membahas situasi terbaru hak asasi manusia global, kepala kantor hak asasi manusia PBB Michele Bachelet menegaskan pentingnya kunjungan semacam itu. Ia menyatakan bahwa ia yakin pengaturan yang disepakati bersama akan memungkinkannya berkunjung ke China.

Hingga saat ini, upaya untuk mengatur kunjungan ke wilayah itu, yang dimulai sebelum Bachelet menjabat pada September 2018, tidak pernah terwujud. [ka/jm]

Oleh: VOA Indonesia

Sabtu, 30 Januari 2021

Sekjen PBB Desak Amerika, China Perbaiki Hubungan

Sekjen PBB Desak Amerika, China Perbaiki Hubungan
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berbicara kepada media. (Foto: AP)

BorneoTribun | Amerika - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Kamis (28/1), mendesak China dan Amerika Serikat untuk "menata ulang" hubungan dan menyarankan kedua negara bekerja sama untuk kepentingan bersama seperti memerangi perubahan iklim.

Guterres mengakui “Jelas bahwa dalam hak asasi manusia tidak ada ruang untuk kesepakatan atau kesamaan visi. Ada bidang di mana saya yakin ada perkembangan persamaan kepentingan dan saya menyerukan agar bidang itu menjadi tujuan bersama kedua pihak bersama seluruh komunitas internasional dan bidang itu adalah tindakan terkait iklim.”

Sejak pemerintahan Trump Juni 2017 mengumumkan Amerika Serikat mundur dari Perjanjian Iklim Paris, China terus mengurangi emisi.

Pada Sidang Umum virtual PBB, September lalu Presiden China Xi Jinping mengumumkan 2060 sebagai target Beijing untuk mencapai netralitas karbon.

Pemerintahan baru Presiden AS Joe Biden telah menjadikan tindakan iklim sebagai salah satu prioritas utamanya. Biden telah menunjuk mantan Menteri Luar Negeri John Kerry sebagai utusan kepresidenan AS pertama untuk bidang iklim dan menjadikan Kerry anggota tim keamanan nasionalnya.

Menanggapi pertanyaan wartawan pada konferensi pers langsung dan virtual, Sekjen PBB mengatakan "ada sejumlah alasan untuk berharap" bahwa Beijing dan Washington akan "terlibat secara serius" dalam persiapan konferensi peninjauan Perjanjian Paris yang dijadwalkan berlangsung di Skotlandia pada bulan November.

Gedung Putih mengatakan Washington sedang bersabar mencari "pendekatan baru" terkait hubungan dengan China ketika kedua negara masih dalam "persaingan strategis" yang serius.

Sekretaris Jenderal PBB mencatat masalah perdagangan dan teknologi antara kedua negara besar ini rumit dan bisa mengakibatkan "persaingan atau kerja sama." [my/pp]

Oleh: VOA Indonesia

Jumat, 29 Januari 2021

PBB Suarakan Keprihatinan Terkait Situasi Politik di Myanmar

PBB Suarakan Keprihatinan Terkait Situasi Politik di Myanmar
Pengungsi Rohingya membawa barang-barang miliknya untuk pindah ke pulau Bhasan Char, di Chattogram, Bangladesh, Jumat, 29 Januari 2021. (AP Photo/Azim Aunon)

BorneoTribun | Internasional - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, Jumat (29/1), ia mengamati perkembangan di Myanmar dengan keprihatinan besar karena munculnya ancaman militer dan kekhawatiran akan terjadinya kudeta menjelang pembukaan sidang parlemen.

Meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer yang berpengaruh telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kemungkinan kudeta menyusul hasil pemilu yang menurut militer telah dicurangi.

Militer mengatakan pihaknya berencana untuk mengambil tindakan jika keluhan mereka tentang pemilu tidak ditangani, sementara seorang juru bicara militer pekan ini menolak untuk mengesampingkan kemungkinan terjadinya perebutan kekuasaan.

Sekjen PBB Antonio Guterres. (Foto: dok).
Sekjen PBB Antonio Guterres. (Foto: dok).

Dalam sebuah pernyataan, Guterres meminta semua pihak berhenti mengeluarkan segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, mematuhi norma-norma demokrasi dan menghormati hasil pemilu 8 November. "Semua sengketa pemilu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang telah ditetapkan," tambahnya.

Dalam sebuah pernyataan terpisah, negara-negara Barat mengatakan bahwa mereka mengharapkan pembukaan sidang parlemen yang berlangsung damai pada Senin (1/2).

"Kami mendesak militer, dan semua pihak lain di negara ini mematuhi norma-norma demokrasi, dan kami menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghalangi transisi demokrasi di Myanmar," kata pernyataan yang ditandatangani antara lain oleh kedutaan besar Australia, Inggris, Kanada, Uni Eropa dan Amerika Serikat. [ab/uh]

Oleh: VOA Indonesia

Senin, 07 September 2020

PBB Serukan Dunia Tetap Prioritaskan Pendidikan di Tengah Pandemi

Seorang siswa yang memakai masker mengikuti ujian Diploma of Secondary Education (DSE) di sebuah sekolah di Hong Kong, Jumat, 24 April 2020. (Foto: AP)


BORNEOTRIBUN -- Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyerukan kepada pemerintahan di seluruh dunia agar memprioritaskan pendidikan, dan memperingatkan pandemi Covid-19 mempertaruhkan nasib masa depan dari sebuah generasi anak-anak.


Sebuah dana global (global fund) yang dibentuk untuk membantu anak-anak di masa krisis ini sebuah pendidikan, melaporkan lebih dari satu miliar orang muda tidak bersekolah sebagai akibat langsung dari pandemi.


Program "Education Cannot Wait", yang diselenggarakan oleh UNICEF, memperingatkan, banyak anak-anak kemungkinan tidak bisa kembali bersekolah. Tetapi ada juga yang bisa asalkan dibantu.


Direktur Eksekutif dari dana itu, Yasmin Sherif, mengatakan kepada VOA, program "Education Cannot Wait" ditujukan untuk membantu.


“Ini bukan lagi masalah bagaimana, karena kami sedang melakukannya. Ini berlangsung sementara kita bicara. Kami berusaha mengerahkan pendidikan dan itu kami lakukan dari sudut pandang sebuah krisis,” katanya.


Sherif menjelaskan, dana global dibentuk khususnya untuk berfungsi di dalam sebuah krisis dan situasi darurat.


“Program "Education Cannot Wait" sebagai bagian dari dana ini, dirancang untuk menanggapi bencana, eskalasi konflik, dan malahan juga pandemi,” kata Sherif.


Dana global ini dibentuk pada KTT Kemanusiaan Dunia di Istanbul pada 2016. Sejak itu 3,5 juta anak-anak yang terperangkap dalam konflik berhasil dibantu. Mereka hidup sebagai pengungsi, kehilangan tempat tinggal atau terkena bencana terkait iklim. Mereka yang tertolong adalah generasi muda di kawasan Sahel di Afrika Barat, sub sahara Afrika, Afghanistan, Bangladesh, dan Timur Tengah.


Sherif mengatakan, dana global kini beroperasi di 35 negara. Menurut ia pandemi telah memaksa perubahan yang radikal dalam cara PBB dan lembaga nirlaba untuk menyajikan pendidikan. Mereka harus menyesuaikannya dengan kenyataan perlunya untuk menjaga jarak sosial. Metode-metode baru diciptakan untuk menggantikan ketidakmampuan banyak siswa di negara berkembang dalam mengakses pembelajaran jarak jauh selama sekolah masih ditutup.

Siswa kelas satu berkumpul menandai dimulainya tahun ajaran baru. Sekolah dibuka kembali setelah liburan musim panas dan lockdown karena wabah Covid-19, di Moskow, Rusia 1 September 2020. (Foto: Reuters)


“Jadi kami menggunakan teknologi. Kami menggunakan radio. Kami menggunakan guru-guru. Kami menggunakan fasilitas sekolah untuk menanggapi kebersihan dan sanitasi, juga pemberian makanan, sehingga anak-anak tidak kehilangan kesempatan mendapat makanan sehari-hari yang sangat penting bagi mereka,” kata Sherif.


Sebelum pandemi, sekitar 75 juta anak-anak dan remaja di daerah yang dilanda krisis tidak bisa memperoleh pendidikan. Sherif mengatakan, angka itu semakin membesar sejak terjadi pandemi Covid-19.


"Education Cannot Wait", kata Sherif, membutuhkan dana sebesar $ 310 juta untuk bisa membantu perempuan dan laki-laki yang rentan dan berisiko tertinggal dalam pendidikan mereka.


Sumber: www.voaindonesia.com

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pemilu 2024

Lifestyle

Tekno