Berita Borneotribun.com: China Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label China. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label China. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Mei 2021

Blinken: China Bertindak 'Lebih Agresif di Luar Negeri'

Blinken: China Bertindak 'Lebih Agresif di Luar Negeri'
Menteri Luar Negeri Antony Blinken memberi keterangan pers kepada media setelah pembicaraan tertutup dengan delegasi China di Anchorage, Alaska, 19 Maret 2021.

BorneoTribun Amerika -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan dalam wawancara yang disiarkan pada Minggu (2/5) bahwa China belakangan ini bereaksi "lebih agresif di luar negeri" dan berperilaku dengan "cara yang semakin bermusuhan."

Ketika ditanya oleh CBS News, seperti dikutip Reuters, apakah Washington mengarah ke konfrontasi militer dengan Beijing, Blinken menjawab: "Sangat bertentangan dengan kepentingan China dan AS apabila sampai ke titik itu atau bahkan mengarah ke sana."

"Yang kami saksikan dalam beberapa tahun terakhir," tambahnya, "adalah China bertindak lebih represif di dalam negeri dan lebih agresif di luar negeri. Itu fakta."

Ditanya mengenai laporan pencurian ratusan miliar dolar atau lebih dalam bentuk rahasia dagang dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) AS oleh China, Blinken mengatakan pemerintahan Biden "sangat khawatir" akan isu HAKI.

Dia mengatakan itu seperti aksi "seseorang yang berusaha bersaing dengan tidak adil dan semakin bermusuhan. Tapi kami lebih efektif dan kuat ketika mengajak negara-negara yang sejalan dan sama-sama dirugikan, untuk mengatakan kepada Beijing: 'Ini tidak bisa dan tidak akan dibiarkan'".

Kedutaan China di Washington belum segera merespons permintaan Reuters untuk mengomentari wawancara Blinken itu. [vm/ft]

Oleh: VOA

Jumat, 30 April 2021

Menlu Taiwan: China Tampaknya Sedang Menyiapkan ‘Serangan’

Menlu Taiwan: China Tampaknya Sedang Menyiapkan ‘Serangan’
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu di Taipei, Taiwan, 7 April 2021. (AP Photo/Wu Taijing)

BorneoTribun Taiwan -- Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu, Kamis (29/4) mengatakan bahwa China tampaknya sedang mempersiapkan “serangan militer akhir’ terhadap Taiwan.

“Mereka telah melakukan kampanye disinformasi, perang hibrida dan baru-baru ini meningkatkan aktivitas agresif mereka terhadap Taiwan. Semua ini tampaknya adalah persiapan bagi serangan militer akhir mereka terhadap Taiwan,” kata Joseph Wu dalam wawancaranya dengan Sky News.

“Ini negara kami, ini rakyat kami dan ini cara hidup kami,” tegasnya.

Wu menambahkan bahwa pulau berpemerintahan sendiri itu akan membela diri “hingga akhir.”

Pesawat militer China hampir setiap hari masuk ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan belakangan ini, dengan April mencatat rekor penerbangan terbanyak.

China mengklaim Taiwan sebagai teritorinya dan telah bertekad untuk menguasainya secara damai atau dengan paksaan. [uh/ab]

Oleh: VOA

Minggu, 18 April 2021

Tahap ke-8, Enam Juta Bahan Baku Vaksin COVID-19 Tiba di Tanah Air

Tahap ke-8, Enam Juta Bahan Baku Vaksin COVID-19 Tiba di Tanah Air
Kedatangan 6 juta bahan baku vaksin di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (18/04/2021). (Sumber: Tangkapan Layar YouTube Sekretariat Presiden)

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Pemerintah kembali mendatangkan vaksin COVID-19 ke Tanah Air. Hari ini, Minggu (18/04/2021) siang, tiba sebanyak enam juta bahan baku (bulk) vaksin Sinovac, di Bandar Udara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.

“Hari ini, kami menerima kedatangan 6 juta bulk vaccine dari Sinovac, China, yang merupakan bagian dari pengiriman 140 juta bulk vaccine yang akan kita terima tahun ini,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi G. Sadikin dalam keterangan pers menyambut kedatangan vaksin di Bandara Soekarno Hatta, Minggu (18/04/2021).

Ini adalah kedatangan vaksin COVID-19 tahap ke-8 di Indonesia. Sebelumnya, vaksin COVID-19 tahap pertama tiba di Tanah Air pada 6 Desember 2020 berupa vaksin jadi produksi Sinovac sebanyak 1,2 juta dosis. Kemudian, pada 31 Desember 2020, pada tahap kedua, kembali didatangkan sebanyak 1,8 juta dosis vaksin jadi produksi Sinovac.

Kemudian, pada 12 Januari 2021 atau tahap ketiga, didatangkan sebanyak 15 juta bahan baku vaksin Sinovac. Pada tahap keempat, sebanyak 10 juta bahan baku vaksin Sinovac tiba pada tanggal 2 Februari 2021 .

Selanjutnya, pada 2 Maret 2021 lalu, pada tahap kelima, kembali tiba sebanyak 10 juta bahan baku vaksin COVID-19 produksi Sinovac. Kemudian, pada tahap keenam pada tanggal 8 Maret lalu tiba di Tanah Air sebanyak 1,1 juta dosis vaksin AstraZeneca dalam bentuk jadi.

Terakhir, pada 25 Maret 2021, tiba sebanyak 16 juta bahan baku vaksin produksi Sinovac.

Dengan kedatangan vaksin tahap ke-8 ini, disampaikan Menkes, Indonesia telah menerima 59,5 bahan baku vaksin dari Sinovac yang kemudian diproses lebih lanjut oleh BUMN Bio Farma menjadi vaksin jadi.

“Kalau sudah dikonversi menjadi dosis akan jadi sekitar 46-47 juta dosis. Dan, sampai sekarang sudah ada sekitar 22 juta dosis dari 46 juta [dosis] yang masuk, yang sudah kita terima dari Bio Farma dan sudah kita distribusikan ke seluruh daerah,” ujarnya.

Dalam satu bulan ke depan, ungkap Menkes, diharapkan akan diterima tambahan sekitar 20 juta dosis vaksin jadi hasil produksi Bio Farma. Dengan tambahan pasokan vaksin tersebut, Menkes berharap agar program vaksinasi yang dilakukan di seluruh Indonesia pada bulan April-Mei dapat berjalan lancar dan baik.

“Pesan saya kepada seluruh teman-teman di daerah, kepala daerah, gubernur, bupati, dan wali kota, terus jalankan program vaksinasi. MUI [Majelis Ulama Indonesia] sudah bilang bahwa selama bulan puasa vaksinasi tidak membatalkan puasa, jadi terus dijalankan,” pungkas Menkes. 

(TGH/UN)

Kamis, 15 April 2021

Tiga Mantan Pejabat AS Bertolak ke Taiwan, di Tengah Ketegangan dengan China

Tiga Mantan Pejabat AS Bertolak ke Taiwan, di Tengah Ketegangan dengan China
Dari kiri, mantan senator AS Chris Dodd, disambut oleh Brant Christensen direktur American Institute di Taiwan (tengah) dan Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu (kanan) setibanya di Taipei, Taiwan, Rabu, 14 April 2021. (Pool Photo via AP)

BorneoTribun Amerika -- Tiga veteran pembuat kebijakan AS dijadwalkan tiba di Taiwan hari Rabu (14/4), sementara ketegangan meningkat antara pulau berpemerintahan sendiri itu dan China.

Mantan senator Christopher Dodd dan mantan deputi menteri luar negeri, James Steinberg dan Richard Armitage termasuk bagian dari delegasi tidak resmi yang mengunjungi Taipei atas nama Presiden Joe Biden untuk menunjukkan dukungan bagi Taiwan dan demokrasinya, kata para pejabat senior.

Reuters menyatakan ketiga mantan pejabat AS itu akan bertemu Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada hari Kamis.

Kunjungan itu berlangsung sementara China meningkatkan kehadiran militernya di dekat Taiwan, termasuk banyak manuver angkatan laut dan udara. 

Kementerian pertahanan Taiwan Senin lalu menyatakan 25 pesawat tempur China memasuki zona pertahanan udara Taiwan di perbatasan selatannya, yang mencakup 15 jet tempur, empat bomber, dua pesawat perang antikapal selam dan satu pesawat pemberi peringatan dini.

Taiwan telah menanggapi sikap China yang kian agresif dengan memperkuat arsenal militernya sendiri, yang mencakup kapal transport amfibi baru berbobot 10 ribu ton yang diluncurkan Selasa di kota pelabuhan selatan Kaohsiung.

Beijing menganggap pulau itu sebagai bagian dari teritorinya meskipun Taiwan telah berpemerintahan sendiri sejak berakhirnya perang saudara China tahun 1949, sewaktu pasukan Nasionalis pimpinan Ching Kai-shek diusir keluar China daratan oleh pasukan Komunis pimpinan Mao Zedong. 

China telah bertekad akan membawa kembali pulau itu di bawah kendalinya dengan semua cara yang diperlukan, termasuk pengambilalihan oleh militer.

Washington secara resmi mengalihkan hubungan diplomatik resmi dari Taipei ke Beijing pada tahun 1979, tetapi pemerintahan mantan presiden Donald Trump telah membuat China berang karena semakin merangkul Taiwan, baik secara diplomatik maupun militer, setelah mulai menjabat pada tahun 2017 dan selama empat tahun masa jabatannya. [uh/ab]

Oleh: VOA

Minggu, 11 April 2021

Laporan Ungkap Kekhawatiran atas Praktik Pinjaman Luar Negeri China

Laporan Ungkap Kekhawatiran atas Praktik Pinjaman Luar Negeri China
Presiden Xi Jinping memberikan keterangan pers usai forum Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang diadakan di Beijing, China (foto: dok).

BorneoTribun China, Internasional -- Analisis baru terhadap 100 kontrak yang mencakup pengaturan pembiayaan China dengan negara-negara yang terkait inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) menunjukkan perjanjian pinjaman yang sangat rahasia, memrioritaskan pembayaran utang ke bank-bank milik negara dan dirancang untuk meningkatkan posisi China di negara peminjam.

Namun, menurut penulis “How China Lends”, “Bahkan ketika kami menemukan persyaratan yang mengganggu dalam kontrak utang antara negara peminjam dan entitas milik pemerintah China, kami tidak bisa menyimpulkan bahwa mereka melanggar standar internasional: dengan sedikit pengecualian, standar seperti itu tidak ada.”

Diluncurkan pada 2013, proyek BRI dirancang sebagai jaringan jalur perdagangan darat dan laut untuk meningkatkan hubungan China dengan Asia, Eropa dan Afrika. Pada 2019, China mengisyaratkan akan mengubah kesepakatan proyek BRI sebagai tanggapan atas kritik tentang risiko lingkungan, utang yang berlebihan, dan kurangnya transparansi dalam pembiayaan proyek infrastruktur.

Apa yang tampaknya baik - infrastruktur yang lebih baik dan janji manfaat ekonomi, membuat banyak negara tidak bisa membayar kembali utangnya kepada bank milik China dan tidak ada cara utang itu diakui perjanjian internasional agar direstrukturisasi. [ka/pp]

Oleh: VOA

Jumat, 09 April 2021

China Peringatkan AS agar Tidak Boikot Olimpiade Musim Dingin

China Peringatkan AS agar Tidak Boikot Olimpiade Musim Dingin
Logo Olimpiade di Jeongseon Alpine Center, Pyeongchang, Korea Selatan, 11 Februari 2018.

BorneoTribun Jakarta -- Pemerintah China memperingatkan Amerika Serikat (AS), Rabu (7/4), agar tidak memboikot Olimpiade musim dingin tahun depan di Beijing. China mengeluarkan pernyataan itu setelah pemerintahan Biden menyatakan sedang membahas dengan sekutu pendekatan gabungan untuk mengadukan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) di China.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China menolak tuduhan pelecehan terhadap minoritas etnis di kawasan Xinjiang. Akan ada “respons China yang tegas terhadap boikot semacam itu," katanya tanpa memperinci lebih jauh.

“Politisasi olahraga akan merusak semangat Piagam Olimpiade dan kepentingan para atlit dari semua negara,” kata juru bicara Zhao Li-jian. “Masyarakat internasional termasuk komite Olimpiade AS tidak bisa menerimanya.”

Organisasi HAM memprotes China sebagai penyelenggara Olimpiade musim dingin yang akan dimulai Februari 2022. Mereka mendesak boikot atau langkah lain guna memusatkan perhatian pada pelecehan China terhadap warga Uighur, Tibet, dan penduduk Hong Kong.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan memboikot Olimpiade adalah salah satu opsi, tetapi pejabat senior mengatakan pemboikotan tidak dibahas. Komite Olimpiade Internasional dan Komite Olimpiade dan Paralimpiade AS telah mengatakan menentang boikot.

Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, Rabu (7/4), mengatakan, Gedung Putih tidak mengkaji wacana pemboikotan Olimpiade 2022.

“Kami tidak membahas, dan tidak sedang membahas, boikot gabungan dengan sekutu dan mitra,” kata Psaki.

Ketika ditanya apakah pemerintah AS menganjurkan warganya tidak melakukan perjalanan ke China, Psaki mengatakan, pemerintahan Biden berharap saat pesta olahraga itu berlangsung, “kita sudah mencapai titik di mana cukup banyak orang di seluruh negara, dan juga di seluruh dunia telah divaksinasi” COVID-19. [jm/ka]

Oleh: VOA

Kamis, 08 April 2021

Menteri luar negeri Taiwan ungkap China Kirim Sinyal Tak Jelas ke Pulau yang Diklaim

Menteri luar negeri Taiwan ungkap China Kirim Sinyal Tak Jelas ke Pulau yang Diklaim
Menlu Taiwan Joseph Wu dalam konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri di Taipei, 7 April 2021. (AP Photo/Wu Taijing)

BorneoTribun Taiwan, Internasional -- Menteri luar negeri Taiwan mengatakan, Rabu (7/4), upaya China untuk melakukan konsiliasi dan intimidasi militer mengirimkan sinyal tidak jelas ke orang-orang di pulau yang diklaim China sebagai wilayahnya sendiri itu melalui jalan damai atau kekerasan.

Joseph Wu mencatat China menerbangkan 10 pesawat tempur ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan Senin lalu, dan baru-baru ini mengerahkan kelompok tempur dari kapal induknya untuk latihan di perairan dekat pulau itu, sementara Beijing juga menyatakan keprihatinan atas kecelakaan kereta api di Taiwan pekan lalu yang menewaskan 50 orang.

“Di satu sisi mereka ingin memikat rakyat Taiwan dengan mengirimkan ucapan belasungkawa tetapi di saat yang sama mereka juga mengirimkan pesawat militer dan kapal militer mereka lebih dekat ke Taiwan dengan tujuan untuk mengintimidasi rakyat Taiwan," kata Wu kepada wartawan pada sebuah konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri.

“China mengirimkan sinyal yang sangat tidak jelas ke Taiwan dan saya menggolongkannya sebagai sikap yang merugikan diri sendiri," imbuhnya.

China tidak mengakui pemerintah Taiwan yang terpilih secara demokratis, dan pemimpin China Xi Jinping mengatakan “penyatuan'' antara kedua belah pihak tidak dapat ditunda tanpa batas waktu.

Peningkatan besar kemampuan militer China dan peningkatan aktivitasnya di sekitar Taiwan telah menimbulkan kekhawatiran di AS, yang secara hukum terikat untuk memastikan Taiwan mampu mempertahankan diri dan menganggap semua ancaman terhadap keamanan pulau itu sebagai masalah keprihatinan serius.

Militer China, Senin (5/2), mengatakan bahwa latihan angkatan lautnya baru-baru ini dimaksudkan untuk membantu negara itu menjaga kedaulatan, keamanan dan kepentingan pembangunan nasionalnya -- istilah yang sering ditafsirkan sebagai peringatan kepada para pemimpin Taiwan yang menolak untuk menyerah pada tuntutan Beijing agar mengakui pulau itu sebagai bagian dari wilayah China.

Taiwan dan China terpisah di tengah perang saudara pada 1949, dan sebagian besar rakyat Taiwan mendukung status kemerdekaan de facto saat ini sementara menjalin kerja sama ekonomi yang kuat dengan China daratan.

China juga berusaha menciptakan integrasi ekonomi yang lebih besar, sementara juga menarget beberapa komunitas, seperti petani nanas, dengan harapan dapat melemahkan dukungan mereka terhadap pemerintah pulau itu.

Tekanan diplomatik China juga meningkat sehingga mengurangi jumlah sekutu diplomatik resmi Taiwan menjadi hanya 15 dan menutup perwakilannya dari Majelis Kesehatan Dunia dan forum-forum internasional besar lainnya. [ab/uh]

Oleh: VOA

Taiwan Bilang akan Berjuang Sampai Akhir Jika China Menyerang

Taiwan Bilang akan Berjuang Sampai Akhir Jika China Menyerang
Sebuah jet tempur RF-16 menjatuhkan suar selama latihan militer Han Kuang, yang mensimulasikan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) yang menyerang pulau itu, di Pingtung, Taiwan, 30 Mei 2019. (Foto: REUTERS/Tyrone Siu)

BorneoTribun Taiwan, Internasional -- Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu, Rabu (7/4), menegaskan negaranya akan berjuang sampai akhir jika China menyerang. Ia menambahkan bahwa Amerika Serikat melihat bahaya yang mungkin terjadi di tengah meningkatnya tekanan militer China, termasuk latihan kapal induk, di dekat pulau itu.

Taiwan, yang diklaim China, telah mengeluhkan aktivitas militer Beijing yang berulang kali dalam beberapa bulan terakhir. 

Angkatan Udara China hampir setiap hari memasuki zona identifikasi pertahanan udara Taiwan. Beijing, Senin (5/4), mengatakan sebuah kelompok kapal induk sedang berlatih di dekat pulau itu.

"Dari pemahaman saya yang terbatas tentang para pembuat keputusan Amerika yang mengamati perkembangan di wilayah ini, mereka dengan jelas melihat bahaya kemungkinan China melancarkan serangan terhadap Taiwan," kata Joseph Wu kepada wartawan di kementeriannya, sebagaimana dilansir dari Reuters, Rabu (7/4).

“Kami bersedia membela diri tanpa ragu dan kami akan berperang jika kami perlu berperang. Dan jika kami harus mempertahankan diri kami sendiri sampai hari terakhir, kami akan membela diri kami hingga hari paling akhir,” tegasnya.

Washington, pendukung dan pemasok senjata internasional terpenting Taiwan, telah mendorong Taipei untuk memodernisasi militernya sehingga bisa menjadi seperti "landak” yang sulit diserang China.

Wu mengatakan mereka bertekad untuk meningkatkan kemampuan militer mereka dan membelanjakan lebih banyak anggaran untuk pertahanan.

“Pertahanan Taiwan adalah tanggung jawab kami. Kami akan mencoba segala cara yang kami bisa untuk meningkatkan kemampuan pertahanan kami.”

Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan di kesempatan terpisah bahwa bulan ini, mereka akan menjalankan latihan perang selama delapan hari dengan bantuan komputer tentang penyerangan China ke Taiwan. Hal ini akan menjadi fase pertama latihan militar tahunan terbesar Taiwan, yang disebut latihan militer Han Kuang.

Fase kedua, termasuk latihan tembak-menembak langsung, yang akan dilakukan Juli.

"Latihan tersebut dirancang berdasarkan ancaman musuh terberat, yang menyimulasikan semua kemungkinan skenario invasi musuh di Taiwan," kata Mayor Jenderal Liu Yu-Ping kepada wartawan.

Fase kedua dari latihan perang Taiwan itu akan mencakup mobilisasi sekitar 8.000 tentara cadangan untuk mengikuti latihan tembak-menembak, latihan anti-pendaratan, dan rumah sakit mengadakan latihan untuk menangani korban dalam jumlah besar.

Ditanya apakah kedutaan de facto Washington, Institut Amerika di Taiwan, akan mengirim perwakilan ke Latihan tersebut, Liu mengatakan rencana seperti itu telah "dibahas" tetapi "tidak akan dilaksanakan", dengan alasan sensitivitas militer.

Berbicara di parlemen, Wakil Menteri Pertahanan Chang Che-ping mengatakan pergerakan kapal induk China dimonitor dengan seksama, dan latihan tersebut dilakukan secara rutin. [ah/au/ft]

Oleh: VOA

Jumat, 02 April 2021

China-Malaysia Sepakati Kerja Sama “Belt and Road”

China-Malaysia Sepakati Kerja Sama “Belt and Road”
Bendera Malaysia berkibar di sebelah bendera China (kiri) di Lapangan Tiananmen, saat kunjungan Perdana Menteri Mahathir Mohammad di Beijing, China, 19 Agustus 2018. (Foto: Stringer/Reuters)

BorneoTribun.com -- China dan Malaysia, Kamis (1/4), membuat konsensus kerja sama “Belt and Road,” atau Inisiatif Sabuk dan Jalan yang mendorong hubungan bilateral keduanya ke babak baru.

Perjanjian itu disepakati ketika Menteri Luar Negeri dan Penasihat Negara Wang Yi melangsungkan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein di Nanping City, di Provinsi Fujian.

Wang mengatakan China siap bekerja sama dengan Malaysia untuk melanjutkan promosi kerja sama “Belt and Road” guna membawa lebih banyak manfaat pada warga kedua negara pasca pandemi.

Ia juga menyampaikan kesediaan China untuk memperkuat kerja sama vaksin Covid-19 dan penelitian obat-obatan dengan Malaysia, dan menambahkan bahwa kedua negara seharusnya menyelaraskan strategi pembangunan dan memperkuat kerja sama di bidang-bidang seperti jaringan telekomunikasi 5G, ekonomi digital dan pertanian modern.

Hishammuddin Hussein menyampaikan penghargaan atas bantuan China dalam melawan pandemi virus corona, yang menurutnya telah menunjukkan kebenaran bahwa Malaysia dan China adalah keluarga.

Melihat kegagalan upaya yang dilakukan kekuatan-kekuatan luar yang ingin memecah-belah negara-negara di kawasan itu, Hishammuddin Hussein mengatakan Malaysia berharap dapat belajar dari pengalaman China dalam mencegah perebakan dan bagaimana mengendalikan pandemi, serta mendorong kerja sama bilateral di bidang energi, investasi, dan ketahanan pangan berdasarkan kerja sama “Belt and Road Initiative.”

Kedua pihak juga membahas upaya memfasilitasi perjalanan lintas-perbatasan dan pengakuan bersama tentang sertifikat kesehatan.

Dalam bidang ekonomi, selama 12 tahun berturut-turut, China masih menjadi mitra dagang terbesar Malaysia. Lebih dari 21 persen total impor Malaysia pada 2020, yang bernilai $41 miliar, berasal dari China.

Ekspor Malaysia ke China pada 2020 lalu juga mencapai rekor yang tinggi, yaitu hampir $40 miliar, yang utamanya didorong oleh produk besi baja, minyak kelapa sawit, karet, dan kertas.

Hishammuddin Hussein berharap memperluas ekspor minyak kelapa sawit Malaysia karena China merupakan pasar yang sangat penting bagi produk itu.

Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein adalah salah satu dari empat Menteri Luar Negeri Asia Tenggara yang datang ke China antara 31 Maret hingga 2 April atas undangan Menteri Luar Negeri Wang Yi. [em/jm/voa indonesia]

Jaringan televisi Hong Kong TVB Batalkan Liputan acara penghargaan perfilman Oscar

Jaringan televisi Hong Kong TVB Batalkan Liputan acara penghargaan perfilman Oscar
Seorang aktris berfoto bersama para fans di FILMART, pameran program televisi di Hong Kong, 14 Maret 2017. (Nov Povleakhena/VOA Khmer)

BorneoTribun China, Internasional -- Jaringan televisi Hong Kong Television Broadcasts (TVB), yang punya hubungan dengan “Rupert Murdoch of China,” untuk pertama kalinya sejak 1969 akan membatalkan liputan acara penghargaan perfilman, Oscar.

Stasiun TV itu memberi konfirmasi pada Senin (29/3) bahwa pihaknya tidak akan memperbarui kontraknya untuk acara itu yang biasanya disiarkan oleh Pearl, saluran bahasa Inggris TVB. Tidak ada bisnis penyiaran Hong Kong lainnya yang punya rencana untuk menyiarkan upacara itu. Namun, hingga Kamis (1/4), Pearl masih tercatat sebagai salah satu jaringan yang akan mengudarakan upacara tahun ini di situs resminya.

The Hollywood Reporter, mengutip sumber-sumber yang memahami dengan isu ini, pada awal Maret melaporkan bahwa pengamat media Beijing telah memerintahkan pers China untuk membatalkan liputan upacara Oscar ke-83 itu dan tidak melaporkan acara tersebut.

Dalam sebuah pernyataan kepada media Hong Kong, seorang juru bicara TVB mengatakan, “hal ini benar-benar murni sebuah keputusan komersial bahwa kami tidak akan meliput Oscar tahun ini.”

Namun, media resmi pemerintah China, Global Times, memberikan alasan berbeda. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Selasa (30/3), Global Times mengutip pakar film China, yang mengatakan, keputusan itu tidak mungkin merupakan keputusan komersial.

“Alasan sebenarnya adalah nominasi the Academy dari documenter pendek Do Not Split, yang merekam protes dan kekerasan di Hong Kong pada 2019, serta juga nominasi untuk sutradara China yang terkenal Chloe Zhao dengan filmnya Nomadland,” Global Times melaporkan.

Zhao telah menjadi sasaran kecaman di China setelah komentarnya yang kritis terhadap Beijing dari 2013 muncul.

Pada 2016, raja media China, Li Ruigang, yang dikenal sebagai “the Rupert Murdoch of China” membeli 26 persen saham TVB, dan menjadi pemegang saham terbesar dari jaringan televisi itu. Pada Februari 2020, dia bergabung ke dalam komite eksekutif dari Dewan Direktur TVB.

Menurut the Academy of Cinema Arts and Sciences, pengamat media Beijing kini berusaha untuk tidak membesar-besarkan dua film yang berpotensi hadiah Oscar dan menarik masyarakat penonton China.

Upacara Oscar akan ditunda sampai 25 April karena pandemi virus corona, tetapi akan disiarkan dari berbagai lokasi, termasuk dari Hollywood. [jm/em/voa indonesia]

Amerika Kecam China atas Vonis Bersalah Terhadap 7 Aktivis Pro-Demokrasi Hong Kong

Amerika Kecam China atas Vonis Bersalah Terhadap 7 Aktivis Pro-Demokrasi Hong Kong
Aktivis pro-demokrasi Lee Cheuk-yan berbicara kepada media setibanya di Pengadilan West Kowloon untuk pembacaan vonis terkait kasus demonstrasi, di Hong Kong, China, 1 April 2021. (Foto: REUTERS/Tyrone Siu)

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengecam pemerintah komunis China setelah tujuh aktivis pro-demokrasi terkemuka di Hong Kong divonis bersalah karena mengorganisasi dan ikut serta dalam demonstrasi anti-pemerintah besar-besaran pada 2019. Demonstrasi itu memicu penumpasan terhadap para pembangkang.

“Vonis hari ini di Hong Kong terhadap tujuh aktivis pro-demokrasi atas tuduhan-tuduhan bermotif politik sekali lagi menunjukkan bagaimana PRC dan otoritas Hong Kong berupaya menghancurkan seluruh bentuk perbedaan pendapat damai di kota itu,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Ned Price.

Putusan itu adalah pukulan terbaru bagi gerakan demokrasi setelah pemerintah di Hong Kong dan China memperketat aturan guna membesar kontrol terhadap wilayah semi-otonomi China itu.

Hong Kong telah menikmati budaya politik dan kebebasan yang dinamis, yang tidak terjadi di wilayah lain di China, ketika Hong Kong berada di bawah koloni Inggris.

China berjanji akan memperbolehkan kota itu mempertahankan kebebasan itu selama 50 tahun ketika menerima kembali wilayah itu dari Inggris pada 1997. Namun, China baru-baru ini mengambil sejumlah tindakan yang menimbulkan kekhawatiran banyak pihak bahwa hal ini akan membuat Hong Kong tidak berbeda dengan kota-kota lain di daratan China. [em/jm/voa indonesia]

Ratusan Akademisi dan Cendekiawan Bela Rekan Eropa yang Dikenai Sanksi oleh pemerintah China

Ratusan Akademisi dan Cendekiawan Bela Rekan Eropa yang Dikenai Sanksi oleh pemerintah China
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menjawab pertanyaan para wartawan di Beijing, 14 Desember 2020. Kementerian itu menjatuhkan sanksi kepada Mercator Institute for China Studies di Jerman, Alliance of Democracies Foundation di Denmark dan lainnya.

BorneoTribun.com -- Ratusan akademisi dan cendekiawan dari seluruh dunia menandatangani pernyataan bersama yang mendukung rekan-rekan Eropa yang dilarang oleh pemerintah China untuk datang ke negara itu, dan karya-karya mereka dikenai sanksi.

Kementerian Luar Negeri China mengumumkan sanksi-sanksi itu minggu lalu, antara lain terhadap Mercator Institute for China Studies di Jerman, the Alliance of Democracies Foundation di Denmark, serta berbagai lembaga dan individu lain. 

Mereka dituduh “melemahkan kedaulatan dan kepentingan China, serta menyebarkan kebohongan dan disinformasi secara jahat.”

Ketika mengumumkan langkah itu, Kementerian Luar Negeri China mengatakan sanksi-sanksi itu merupakan tanggapan terhadap sanksi-sanksi yang diumumkan Inggris dan Uni Eropa sebelumnya terkait sikap China terhadap minoritas Uighur di kawasan Xinjiang, di bagian barat negara itu.

Kini para akademisi di seluruh Amerika, Eropa, dan Asia menambahkan nama mereka sebuah daftar yang semakin panjang dibawah sebuah pernyataan solidaritas dengan rekan-rekan mereka yang diboikot pemerintah China itu. Sebuah pernyataan serupa telah ditandatangani oleh 37 direktur dari lembaga penelitian di Eropa.

“Cukup merisaukan bahwa pemerintah China di bawah Xi Jin Ping berusaha membungkam diskusi mengenai topik-topik yang mereka nilai kontroversial di kalangan akademisi di China, termasuk Xinjiang, dan sekarang Hong Kong,” kata Profesor Martin Flaherty di Princeton University, salah satu dari hampir 1.000 akademisi di Eropa, Amerika Utara, dan Asia yang menandatangani pernyataan ini.

Di antara mereka yang dikenai sanksi China ini adalah Jo Smith Finley, seorang antropolog dan ahli ilmu politik di Newcastle University di Inggris; Adrian Zenz, seorang akademisi Jerman di Victims of Communism Memorial Foundation; dan Björn Jerdén yang memimpin Pusat China Nasional di Swedia.

Di Washington, empat akademisi di salah satu lembaga kajian terkemuka Amerika, the Center for Strategic and International Studies (CSIS), ikut memberikan suara dengan pernyataan yang mendukung Mercator Institute.

“Kalau prasyarat China bagi hubungan yang stabil dengan Barat adalah semua akademisi setuju dengan posisi Beijing seputar Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, Tibet, dan ‘garis-garis merah’ lain dan naratifnya – terlepas di mana atau dalam bahasa apa opini itu disebarluaskan – China sayangnya telah menutup pintu bagi pertukaran intelektual yang sesungguhnya,” demikian bunyi pernyataan itu. [jm/em/Voa Indonesia]

Negara China Perintahkan Penutupan Kantor Pengacara Terkait Aktivis Hong Kong

Negara China Perintahkan Penutupan Kantor Pengacara Terkait Aktivis Hong Kong
Negara China Perintahkan Penutupan Kantor Pengacara Terkait Aktivis Hong Kong

BorneoTribun China, Internasional -- Sebuah biro pengacara hukum yang terkait pembelaan 12 aktivis pro-demokrasi yang dituduh berusaha melarikan diri dari Hong Kong ke Taiwan telah diperintahkan untuk tutup. Perkembangan itu mencerminkan pengetatan terhadap para pengacara hukum di China.

Pengacara hak-hak asasi manusia (HAM) Ren Quanniu yang mewakili para aktivis yang dijuluki “Hong Kong 12” memastikan kepada VOA bahwa pihak penguasa memberitahunya untuk menutup Kantor Pengacara Henan Guidao, yang berkantor di Provinsi Henan, di mana Quanniu menjadi mitranya.

Para aktivis Hong Kong berusaha berlayar pada Agustus lalu setelah Beijing memberlakukan Undang-undang (UU) keamanan nasional di Hong Kong pada Juni lalu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengirim cuitan, “Yang serius? Cek fakta: ke-12 orang yang ditangkap karena secara ilegal berusaha melintasi perbatasan di perairan. Mereka bukan aktivis demokrasi, tetapi unsur-unsur yang berusaha memisahkan Hong Kong dari China.”

Ren Quanniu disewa oleh salah satu keluarga “Hong Kong 12” yang ditahan di laut pada 23 Agustus oleh penjaga pantai China. Mereka kemudian dipenjara di China.

Pada Desember 2020, sepuluh dari 12 anggota kelompok itu dijatuhi hukuman oleh pengadilan China karena melintasi perbatasan Hong Kong dan China secara ilegal. Dua dari tahanan itu berusia di bawah 18 tahun dan dipulangkan ke Hong Kong.

Ren mengatakan, ia sudah berusaha mewakili kliennya tetapi tidak diberi akses oleh penguasa. [jm/em]

Rabu, 31 Maret 2021

WHO: Laporan Asal-usul Virus Corona Perlu Studi Lebih Dalam

WHO: Laporan Asal-usul Virus Corona Perlu Studi Lebih Dalam
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

BorneoTribun Internasional -- Sebuah laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO terkait dengan asal-usul virus corona yang menyebabkan COVID 19 membutuhkan studi lanjutan dan data lebih banyak.

Dalam komentarnya, yang dirilis kepada para reporter, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, meskipun laporan itu menyajikan kajian menyeluruh dari data yang tersedia, “kami belum menemukan sumber virus itu.”

Kata Tedros, tim WHO yang dikirim ke China untuk menyelidiki asal-usul virus corona mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi ketika mengakses data mentahnya.

Katanya, studi lanjutan dan lebih banyak data diperlukan untuk konfirmasi apakah virusnya disebarkan ke manusia lewat mata rantai makanan atau lewat hewan liar atau ternak.

Tedros mengatakan, sementara timnya telah menyimpulkan bahwa kebocoran laboratorium merupakan hipotesa yang kecil kemungkinannya, masalah ini butuh penyelidikan lebih jauh.

Tedros mengatakan sekali lagi, “sejauh itu menyangkut WHO, semua hipotesa tetap kami perhitungkan.”

Tahun ini WHO telah mengirim sebuah tim internasional ke Wuhan, China untuk melacak asal-usul virus tersebut. Akan tetapi kritik dari studi WHO tersebut menyatakan, pelacakan itu terbatas akibat pembatasan pemerintahan China atas apa yang boleh diselidiki tim itu.

Pemimpin tim WHO, Peter Ben Embarek, kepada para wartawan hari Selasa (30/3) mengemukakan “sangat mungkin kasus-kasus COVID 19 yang tersebar di sekitar Wuhan, China, sudah terjadi pada November atau Oktober 2019, berarti lebih awal dari apa yang didokumentasikan berkaitan dengan penyebaran virus itu. [jm/mg]

Oleh: VOA Indonesia

Kelompok HAM PBB 'Sangat Prihatin" atas Perlakuan China terhadap Muslim Uighur

Kelompok HAM PBB 'Sangat Prihatin" atas Perlakuan China terhadap Muslim Uighur
Kamp pendidikan ulang bagi Muslim Uighur di Hotan, Xinjiang, China (foto: dok).

BorneoTribun Internasional -- Sekelompok pakar hak asasi manusia PBB mengatakan "sangat prihatin" dengan tuduhan terkait perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur.

Kelompok Kerja Bisnis dan Hak Asasi Manusia mengatakan telah "menerima informasi yang mengaitkan 150 lebih perusahaan China dan perusahaan asing dengan tuduhan-tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap pekerja Uighur.

“Sebagai ahli independen yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia, di mana China menjadi negara anggota, kami menganggap bahwa kunjungan resmi ke China (termasuk wilayah Xinjiang) akan menjadi kesempatan ideal untuk dialog semacam itu dan menilai sendiri situasi berdasarkan akses bebas dan tanpa hambatan, ” kata kelompok itu.

Banyak perusahaan China serta perusahaan swasta di luar China dituduh menggunakan tenaga kerja budak atau memasukkan produk yang dibuat dengan kerja paksa ke dalam rantai pasokan mereka. Ini termasuk "merek global terkenal," kata kelompok itu.

Kelompok itu mendesak China agar segera menghentikan tindakan apa pun yang tidak sepenuhnya sesuai dengan hukum, norma, dan standar internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia, termasuk hak-hak minoritas.

China dituduh melakukan pelanggaran hak termasuk penahanan sewenang-wenang, sterilisasi paksa, dan penggunaan tenaga kerja budak dengan menggunakan warga Uighur. China membantah tuduhan tersebut dan mengatakan kebijakannya di Xinjiang, dimana Uighur terkonsentrasi, bertujuan memerangi ekstremisme Islam.

Inggris, Kanada, Uni Eropa, dan Amerika telah memberikan sanksi kepada beberapa anggota elit kekuatan politik dan ekonomi Xinjiang minggu ini atas tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang luas di sana. [my/jm]

Oleh: VOA Indonesia

Senin, 29 Maret 2021

China Jatuhkan Sanksi kepada Warga Amerika Serikat, Kanada

China Jatuhkan Sanksi kepada Warga Amerika Serikat, Kanada
Sejumlah petugas keamanan di depan Kedutaan Besar Kanada di Beijing, China, 20 Desember 2018. (Foto: Thomas Peter/Reuters)

BorneoTribun Internasional -- China mengumumkan sanksi terhadap dua warga Amerika Serikat (AS), seorang warga Kanada dan sebuah badan advokasi HAM pada Sabtu (27/3). Sanksi itu merupakan balasan atas sanksi yang diberlakukan pekan ini oleh AS dan Kanada terkait perlakuan Beijing terhadap warga Uighur.

Kementerian Luar Negeri China mengatakan, seperti dikutip kantor berita AFP, dua anggora Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS, Gayle Manchin dan Tony Perkins, serta anggota Parlemen Kanada Michael Chong, dan sebuah komite parlemen HAM Kanada, dilarang memasuki China daratan, Hong Kong dan Makau.

Chong menanggapi dengan menyebut sanksi itu sebagai "kehormatan."

"Kami berkewajiban untuk mengecam China karena penindakan keras di #HongKong & genosida #Uighurs," cuit Chong. "Kita yang tinggal dengan bebas di negara demokrasi di bawah supremasi hukum harus bersuara mewakili mereka yang tak punya suara."

Menurut kelompok-kelompok hak-hak asasi manusia (HAM) sedikitnya 1 juta warga Uighur dan orang-orang dari kelompok mayoritas Muslim telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang. Kelompok itu menuduh pihak berwenang melakukan sterilisasi paksa terhadap perempuan dan mewajibkan kerja paksa. [vm/ft]

Oleh: VOA Indonesia

Sabtu, 27 Maret 2021

Aktivis Perempuan Uighur Semakin Lantang di Tengah Serangan Beijing

Aktivis Perempuan Uighur Semakin Lantang di Tengah Serangan Beijing
Para perempuan etnis Uighur melakukan protes menentang penindasan China di Xinjiang, dalam aksi di Istanbul, Turki (foto: dok).

(BorneoTribun) -- Aktivis perempuan Uighur dan Kazakh yang berada di garis depan kritik internasional terhadap kebijakan penindasan Beijing di Xinjiang mengatakan, mereka tidak akan berhenti melakukan advokasi setelah para pejabat China secara terbuka mencemarkan citra mereka.

Beberapa perempuan telah menjadi aktivis yang lantang di pengasingan, dan mengungkapkan kepada media internasional bahwa mereka mengalami perkosaan, penyiksaan, sterilisasi paksa, serta indoktrinasi oleh penguasa China di dalam kamp.

Dalam minggu-minggu terakhir, para pejabat China menuduh para aktivis itu melakukan perselingkuhan, menularkan penyakit seksual, dan melakukan penipuan uang untuk menunjukkan bukti dari perilaku mereka yang buruk.

Usaha untuk dilakukan Beijing untuk melemahkan kesaksian para aktivis perempuan tersebut, sementara pemerintah China semakin menghadapi tekanan internasional terkait penumpasan selama empat tahun terakhir terhadap warga kelompok etnis Turk (Turkestan) ini.

Namun, bagi para perempuan ini, kecaman Beijing ini justru membangkitkan tekad mereka untuk berbicara lebih banyak tentang pelecehan-pelecehan yang mereka alami selama ini.

“Sulit untuk dipercaya bahwa untuk meluluhkan kesaksian saya tentang perkosaan, penyiksaan, dan sterilisasi paksa, pejabat China mengatakan saya tidak subur,” demikian kata Tursunay Ziyawudun, seorang perempuan berusia 42 tahun yang selamat dari kamp di Uighur.

Ziyawudun diizinkan oleh pemerintah China melakukan perjalanan selama satu bulan ke Kazakhstan untuk bertemu dengan suaminya pada September 2019, setelah dia dibebaskan dari kamp di Xinjiang. Dia berhasil pindah ke Virginia, AS satu tahun kemudian.

Dia memberitahu VOA bahwa rahimnya harus diangkat setelah tiba di AS karena luka-luka yang dialaminya akibat pelecehan selama di Xinjiang. [jm/pp]

Oleh: VOA Indonesia

Rabu, 24 Maret 2021

China dan Korut Kukuhkan Aliansi Bersama

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping selama kunjungan Xi di Pyongyang, Korea Utara dalam foto tak bertanggal yang dirilis pada 21 Juni 2019. (Foto: KCNA via REUTERS)

BorneoTribun Internasional -- Para pemimpin China dan Korea Utara menegaskan kembali aliansi tradisional mereka menyusul pembicaraan kontroversial antara para diplomat tertinggi Washington dan Beijing, isolasi diplomatik dan masalah-masalah ekonomi di Korea Utara yang membuatnya semakin bergantung pada China.

Kantor berita pemerintah Korea Utara, KCNA, mengatakan, Selasa (23/3), Kim Jong Un menyerukan persatuan dan kerja sama yang lebih kuat dengan China dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan bermusuhan saat ia bertukar pesan dengan Presiden China Xi Jinping.

Menurut KCNA dan kantor berita China Xinhua, Xi dalam pesannya sendiri kepada Kim menggambarkan hubungan bilateral sebagai aset berharga bagi kedua negara dan berjanji untuk memberikan kontribusi bagi perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.

KCNA mengatakan Xi juga menyatakan komitmennya untuk memberi rakyat kedua negara kehidupan yang lebih baik. Beberapa analis melihat ini sebagai indikasi bahwa China akan segera memberi Korea Utara pangan, pupuk, dan bantuan-bantuan lain yang sangat dibutuhkan tetapi selama ini jauh berkurang akibat penutupan perbatasan perbatasan terkait pandemi.

Xinhua mengatakan pesan-pesan para pemimpin itu dipertukarkan selama pertemuan antara diplomat senior China Song Tao dan Duta Besar Korea Utara untuk China Ri Ryong Nam selama pertemuan di Beijing pada hari Senin (22/3).

Pertukaran pesan antara kedua pemimpin terjadi ketika pemerintahan Biden meningkatkan upaya diplomatik untuk memperkuat kerja sama dengan sekutu-sekutu Asianya -- Korea Selatan dan Jepang -- untuk menangani ancaman nuklir Korea Utara dan pengaruh regional China yang semakin meningkat.

Sejumlah pejabat tinggi AS dan China saling melontarkan kritik tajam dan terbuka di Anchorage, Alaska, pada pekan lalu dalam pertemuan tatap muka pertama mereka sejak Presiden Joe Biden menjabat, di mana Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan Washington bersatu dengan para sekutunya dalam melawan otoritarianisme China.

Pembicaraan kontroversial di Anchorage terjadi setelah Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin melakukan perjalanan ke Jepang dan Korea Selatan untuk pembicaraan yang terutama berfokus pada Korea Utara dan China.

Selama kunjungannya ke Seoul, Blinken dengan keras mengkritik ambisi nuklir dan catatan HAM Korea Utara dan menekan China untuk menggunakan pengaruhnya yang besar untuk meyakinkan Korea Utara agar melakukan denuklirisasi.

Korea Utara sejauh ini mengabaikan upaya pemerintah Biden untuk menjangkau negara itu, dan mengatakan bahwa negara tersebut tidak akan terlibat dalam pembicaraan yang berarti dengan Amerika Serikat kecuali Washington meninggalkan apa yang dipandang Pyongyang sebagai kebijakan bermusuhan, yang dengan jelas mengacu pada sanksi-sanksi yang dipimpin AS dan tekanan terhadap program nuklirnya.

KCNA mengatakan Kim membicarakan situasi hubungan Korea Utara dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan, dan mengatakan bahwa komunikasi antara dirinya dan Xi diperlukan dalam menghadapi situasi dan kenyataan eksternal yang berubah – sebuah pernyataan yang tampaknya mengacu pada pemerintahan AS yang baru. [ab/uh]

Oleh: VOA Indonesia

Senin, 22 Maret 2021

Gubernur Kalbar Sebut Perdagangan China-Indonesia Perlu di Kaji Hukum

Gubernur Kalbar Sebut Perdagangan China-Indonesia Perlu di Kaji Hukum
Seminar Hukum Internasional yang mengusung tema “Inovasi Akdemik Hukum China-Indonesia dalam Konteks Belt and Road Initiative” yang diselenggarakan oleh Universitas Tanjungpura Pontianak.

BORNEOTRIBUN PONTIANAK, KALBAR -- Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji secara resmi membuka Seminar Hukum Internasional yang mengusung tema “Inovasi Akdemik Hukum China-Indonesia dalam Konteks Belt and Road Initiative” yang diselenggarakan oleh Universitas Tanjungpura Pontianak.

Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM di Kalbar dengan meningkatkan layanan pendidikan bermutu, salah satunya dengan memperkuat jalinan kerja sama internasional dengan membentuk pusat bahasa asing.

Dalam sambutannya, Gubernur Sutarmidji menyampaikan apresiasinya untuk seminar tersebut. Ia berharap seminar tersebut dapat menghasilkan manfaat besar bagi hubungan lebih luas antara Tiongkok dan Indonesia. Terlebih lagi perdagangan di Kalbar perdagangan atau ekspor yang paling besar adalah ke negara Tiongkok.

“Karena hubungan yang luas selama ini, maka dari sisi aspek hukum memang belum terlihat adanya perbedaan pandangan dari hubungan kedua negara, kemudian perdagangan antara Kalbar dan Tiongkok,” ungkapnya di Gedung Rektorat Untan Pontianak, Sabtu (20/3/2021).

Dengan semakin terbukanya satu negara di masa mendatang dan semakin banyak kebutuhan akan segala hal seperti mineral atau sebagainya, maka perlu kajian hukum untuk melindungi hubungan perdagangan dan hubungan-hubungan lainnya antardua negara.

“Jangan sampai terjadi baru kita repot untuk menyelesaikannya. Kita melihat dari dua sistem hukum antara Tiongkok dan Indonesia yang mungkin perlu kajian-kajian hukum untuk mengantisipasi. Jangan sampai terjadi masalah hukum di dalam hubungan dua negara,” tutur Gubernur Kalbar.

Di dalam sistem hukum Indonesia, masih mengedepankan adanya peran dari adat dan kebiasaan. Apabila dilihat sisi konteks investasi dari Tiongkok ke Kalbar sangat bersinggungan dari aspek masalah adat istiadat maupun hukum adat istiadat itu sendiri.

“Jadi masalahnya bukan hukum positif, tapi malah hukum kebiasaan adat itu sendiri. Saya sekadar mengingatkan kembali hal-hal ini, ke depannya pasti akan membawa pengaruh bagi kelanjutan, kelancaran perdagangan antara Kalbar dan Tiongkok pada umumnya,” tutur H.Sutarmidji.

Gubernur Kalbar berharap masa depan Kalbar dan Tiongkok akan semakin besar dalam hubungan di bidang perekonomian maupun budaya. Apalagi di Kalbar, Etnis Tionghoa ada sebanyak 8 persen.

“Mereka masih mempertahankan akar budayanya dan kemudian mereka juga pelaku perdagangan, baik lokal maupun internasional, sehingga dibutuhkan diskusi-diskusi seperti ini untuk mencegah hal-hal yang berhubungan dalam aspek hukumnya,” tutupnya.

Pada kesempatan yang sama Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. Garuda Wiko, S.H., M.Si., FCBArb., mengatakan terkait dengan dukungan-dukungan yang harus diantisipasi di bidang perdagangan, kebudayaan, dan yang lainnya, terutama pada aspek hukum yang harus dipersiapkan ahlinya.

“Kita ingin sepemahaman yang menyentuh masalah-masalah hukum, terutama mempersiapkan ahli hukum untuk memahami perbandingan atau perbandingan sistem hukum, sistem peradilan, cara penyelesaian sengketa, dan lain sebagainya,” jelasnya.

Dalam hal ini, Rektor Untan berencana akan mendorong lebih banyak pertukaran mahasiswa antara Universitas Guangzhi Tiongkok dan Universitas Tanjungpura Pontianak, agar sama-sama lebih memahami sistem hukum satu sama lain.

“Mungkin nanti akan mendorong lebih banyak pertukaran mahasiswa, kemudian dalam materi kurikulum, kita akan mencantumkan perbandingan hukum, sehingga kita dapat memahami mahasiswa yang dari Guangzhi maupun Untan juga bisa lebih mengenal masing-masing sistem hukum, sistem peradilan, dan tata cara penyelesaian sengketa,” tutupnya. (*)

Kamis, 11 Maret 2021

China Serius Soal Peran Media Internasional dalam Pernyataan Dubes Inggris

China Serius Soal Peran Media Internasional dalam Pernyataan Dubes Inggris
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian. (Foto: dok)

BorneoTribun China - Rabu (10/3) menuduh duta besar Inggris untuk Beijing menulis artikel membela kebebasan pers yang memuat “pernyataan tak bertanggung jawab mengenai media dan sistem China.”

Duta Besar Inggris untuk China Caroline Wilson, dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri China hari Selasa (9/3), terkait artikelnya yang diposting di platform media sosial China WeChat sepekan silam, yang membela peran media internasional di China sebagai “pengawas.”

Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan dalam pengarahan harian bahwa artikel itu mencampuri urusan dalam negeri China dan mengungkapkan “standar ganda yang konsisten dan bias ideologi yang mendalam” dari duta besar tersebut.

Zhao mengatakan para diplomat harus mematuhi prinsip “tidak mencampuri urusan internal negara-negara di mana mereka ditempatkan.”

Ini terjadi di tengah ketegangan hubungan antara China dan Inggris mengenai berbagai isu sekitar HAM, Hong Kong dan Media.

Zhao juga membalas pernyataan Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengenai Xinjiang, dengan mengatakan pernyataan itu “tidak berdasarkan fakta” dan akan “merusak kredibilitas dan citra” AS.

Price mengatakan pada hari Selasa bahwa AS belum melihat apapun yang akan mengubah keputusannya bahwa China melakukan genosida terhadap minoritas Uighur di Xinjiang, kawasan di China Barat.

Zhao juga bereaksi terhadap pernyataan Phil Davidson, Laksamana AS yang memimpin Komando Indo-Pasifik AS, yang diberitakan menyatakan ia meyakini Beijing dapat mengambil kendali atas Taiwan dalam enam tahun mendatang.

Ia mengatakan seseorang di AS menggunakan isu Taiwan sebagai “alasan” bagi negara itu untuk “meningkatkan belanja pertahanan, membangun kekuatan militer dan mencampuri urusan regional.” [uh/ab]

Oleh: VOA Indonesia

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pilkada 2024

Lifestyle

Tekno